Cinta Dibalik Rasa

Reads
63
Votes
0
Parts
7
Vote
by Titikoma

Hilang

Soekarno Hatta International Airport, 4 Juni 2015 “Mbak… bangun, pesawat kita sudah mendarat di Soetta,” ujar penumpang yang duduk di sampingku. Aku tidak menyadari bahwa aku tertidur, seingatku tadi aku sedang membaca majalah yang diberi oleh pramugari sebelum pesawat take off satu jam yang lalu. Mungkin akibat semalam aku kesulitan tidur, memikirkan bagaimana nanti nasibku saat harus sendirian hidup di kota yang konon katanya sangat keras ini. Segera aku turun dan menuju tempat bagasi untuk mengambil koperku. Kali ini aku tidak ditemani orang tuaku, karena kebetulan sudah cukup sering bolak-balik Palembang-Jakarta menggunakan pesawat, sehingga mereka tidak terlalu mengkhawatirkan. Bus Damri tujuan Depok sudah menunggu di terminal depan. Aku baru menyadari ternyata melakukan perjalanan sendiri itu kurang mengasyikkan. Pikiranku liar membayangkan seandainya sahabatku, Martin memilih kuliah di UI, tentu aku bisa ditemani juga dijaganya. Apalagi, orang tuaku sangat memercayai dia. Ahh… sudahlah, mengkhayal sesuatu yang tidak mungkin terjadi itu tidak baik. Di dalam bis, aku menghidupkan Iphone-ku yang baru saja diberi orang tuaku, sekaligus sebagai hadiah karena bisa lulus di universitas negeri ternama di Indonesia. “Hallo teman-teman, aku sudah sampai di Soetta lho, sekarang lagi dalam perjalanan menuju Depok.” Begitulah bunyi pesan yang kukirim ke grup keluarga Candy. Sepuluh menit sudah pesan itu terkirim, namun tidak ada satu orang pun yang membaca pesanku. Semenjak merantau, grupku selalu sepi. Paling seminggu bisa dihitung jari berapa kali ramainya. Mungkin mereka lagi sibuk persiapan sebagai mahasiwa baru, pikirku. Ya sudahlah, aku menelepon bunda atau ayahku saja kalau begitu. ‘Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan’. “Sial! dua-duanya tidak bisa dihubungi,” ucapku kesal. Google maps memberikan informasi bahwa tiga puluh menit lagi aku akan tiba di Terminal Depok. Oh iya, sebenarnya aku memiliki saudara di Depok, tapi aku lebih memilih untuk tinggal sendiri saja, karena takut merepotkan bila ikut dengan suadara. Ayahku sudah membayar  apartemenku selama satu tahun di Margonda Residence. Ia berharap aku bisa nyaman ditempatkan di sana. Macet di Depok menjadikan perjalananku sedikit lebih lama dari apa yang diperkirakan oleh google maps. Aku sangat lelah dan lapar. Saat asyik membuka Instagram, aku menemukan foto pemuda yang sedang menggunakan seragam Akademi Militer, tiba-tiba ingatanku langsung tertuju kepada Martin. Di mana ya dia sekarang? Bagaimana kabarnya? Rasa penasaran ini membuatku ingin segera mencari informasinya. Alih-alih mendapatkan kabar terbarunya, foto terakhir di Instagram-nya pun foto jadul beberapa bulan lalu. Aku mencoba mencari informasi dari seluruh social media lain yang ia pakai. Tetap saja nihil. Belum puas aku men-stalk akun social media-nya, bus yang aku tumpangi sudah tiba di Terminal Depok. Pesan ayahku tadi, kalau sudah sampai di Terminal Depok, langsung cari taksi saja, biar langsung diantar ke Margonda Residence. Terik matahari yang panas membuat keringatku mengucur deras, bedak yang kupakai di wajah pun mulai luntur, namun taksi yang ditunggu tidak kunjung datang. Seorang supir angkot berwarna merah menghampiriku, “Mau ke mana, Neng?” tanyanya. Aku bertingkah seolah-olah berani dan paham dengan daerah ini, agar tidak ada yang mencurigai bahwa aku orang baru di sini. “Mau ke Mares, Pak.” teriakku. Mares adalah singkatan dari Margonda Residences. “Naik ini aja Neng, nanti dianter sampe masuk dalam Mares,” canda sang sopir. “Nggak usah deh Pak, gue mau naik taksi saja,” jawabku singkat. Setelah kupikir-pikir, ternyata jarak dari Terminal Depok ke Mares sangatlah dekat, hanya sepuluh menit. Namun, menunggu taksinya bisabisa setengah jam. Tiba di Mares aku langsung beristirahat sembari melanjutkan pencarianku akan Martin. Mataku memerah juga Iphone-ku memanas, namun tetap saja tidak ada hasil yang berarti. Satu minggu di Depok, aku betul-betul merasakan kehilangan akan sosok Martin. Biasanya diantar pulang dan pergi, kini aku harus berjalan sendiri menuju kampus. Memang dekat, tapi tetap saja lelah bila harus berjalan. Di sini aku memang tidak diberi kendaraan pribadi. Ini merupakan konsekuensi yang harus kujalani atas pilihanku sendiri. Tidak terlalu sulit bagiku mencari café untuk sekedar nongkrong di sini, mereka hadir seperti jamur yang tersebar di mana-mana. Bahkan di sekitar Jalan Margonda Raya saja, pusatnya Depok, terdapat puluhan café yang selalu ramai diisi oleh mahasiswa/i di sini. Wajar bila setiap hari, kemacetan kerap kali terjadi di Jalan Margonda. Ini baru di Depok, belum di Jakarta. Berada di sini seperti berada di surga bagiku. Asal uang memadai, aku bisa puas mengunjungi tempat-tempat ngopi di sini. Sore ini aku harus pulang ke Depok, usai seharian menikmati perjalanan ke Kota Tua, Jakarta Pusat. Kota tua adalah salah satu tempat wisata yang wajib masuk dalam list kunjungan bila sedang berlibur di Jakarta. Bangunan dan nuansa jadul menjadi daya tarik wisatawan lokal juga asing. Terdapat beberapa tempat ngopi yang asyik menurutku, salah satunya café Batavia yang terkenal itu. Turun dari Communiter Line (kereta listrik), pandanganku menjadi sayu. Kudapati langit di Depok mulai gelap dan mendung. Lima belas menit menunggu, akhirnya ia tiba. Mobil tua berukuran kecil berwarna biru menghampiriku. Ahhh, ternyata sudah penuh, gumamku dalam hati. Akhirnya aku harus menunggu lagi. Tiga puluh menit berlalu, dari kejauhan sorot mataku tajam melihat angka 128 terpampang di kaca itu. Yaa! mobil kecil itu datang lagi dan kali ini aku bisa naik. Konon katanya, angkutan umum rute Terminal Depok - Wr. Sila ini jumlahnya sangat minim, karenanya tak jarang ia selalu terisi penuh. Terlebih lagi jika jam sibuk tiba. Di dalamnya kudapati tiga orang mahasiswa yang sedang bercengkerama dengan asyiknya. “Dosen pembimbing itu gila! Masa gue hubungin susah banget, padahal lo tau sendiri kan gue harus sidang tahun ini!” ujar salah satu dari mereka dengan emosi. “Lo masih enak! Lah gue, bab satu saja belum kelar,” kata temannya yang duduk persis di sebelahku. Sang sopir pun terlihat risih akibat obrolan mereka yang semakin lama semakin keras juga menganggu, ditambah lagi riuhnya macet yang melanda Jalan Margonda Raya sore ini. 43 41 Tak selang berapa lama, sang sopir berambut pirang dan berbadan mungil itu sambil menikmati rokoknya menimpali, “Aduh Mas… kalian itu masih enak. Baru susah menghubungi dosen pembimbing saja sudah kayak mau mati!” Mereka diam, satu di antaranya berkata, “Lo gak tau Bang rasanya, kita itu udah lama jadi mahasiswa di kampus ini tapi gak lulus-lulus.” “Oh iya. Aku gak tau orang aku gak pernah kuliah, hehe…” katanya sambil tersenyum. “Makanya aku bilang masih enak, lha wong aku dulu pengen banget kuliah, merasakan menjadi mahasiswa/i seperti kalian dan pemuda lainnya. Tapi, ahhh sudahlah. Boro-boro harus kuliah, mau makan pun aku harus banting tulang setiap hari mengubah keringat ini menjadi sesuatu yang dapat menyambung nyawaku,” sambungnya lagi sambil mengelap lehernya dengan handuk kecil. Suasana pun menjadi hening. Dan seketika berubah mistis ketika sang sopir menunjukkan goresan tinta di sebuah kertas lusuh yang diambilnya dari tas yang ia kenakan. “Lihat ini, Boy Aditia, S.T. Itulah cita-citaku dulu menjadi seorang Sarjana Teknik. Tapi ternyata aku belum beruntung,” serunya sambil tersenyum. “Lho, kenapa lo belum beruntung, Bang?” kata mereka serentak. “Ayahku hanyalah seorang sopir, dan mobil inilah yang diberinya kepadaku satu tahun lalu sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya menyusul Ibuku yang lebih dulu meninggalkannya. Kini tinggallah aku sendiri menikmati dunia yang begitu indah bila disyukuri ini.” Dar! Suara petir menggelegar seolah-olah mewakili isi hati sang sopir itu. Suasana pun seketika berubah, mereka yang awalnya berisik dengan celotehan-celotehan seputar dunia kampusnya, pelan-pelan menundukkan kepala. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. “Mohon maaf, bukan bermaksud untuk menceramahi kalian. Di luar sana, banyak orang yang ingin seperti kalian. Hukan hanya aku yang ingin sekolah, ingin kuliah menjadi mahasiswa. Tapi apa daya cita-cita tak sampai. Jadi, manfaatkanlah kesempatan ini. Hingga pada akhirnya, kalian sendiri yang menikmati buah manis dari perjalanan ini.”  “Bang! Stop depan, Margonda Residence,” seruku sigap. Aku pun turun dari mobil tua itu. Dan tak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya. Namun, 10 menit mengamati obrolan mereka, aku mendapati pelajaran yang luar biasa sore ini. Menambah energi dan me re-charge gairahku lagi untuk menyelesaikan studiku di sini. Hingga pada akhirnya, aku dapat melihat raut haru kedua orang tuaku yang telah berjuang selama ini membesarkanku. Menjadi mahasiswa memang tidak selamanya mudah, banyak rintangan bebatuan, tantangan yang harus dilewati. Hal yang wajar bila terkadang mahasiswa menjadi emosi karena tak kunjung lulus. Mungkin itulah yang mendasari Martin tidak ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, dan memantapkan diri untuk terjun ke dunia Militer. Karena aku pikir, ia orang yang berada alias mampu untuk membayar administrasi selama perkuliahan. Tiba di kamar, aku langsung membuka laptop dan menceritakan keseruan yang kurasakan hari ini di blog pribadiku. Aku suka menulis karena aku menyadari bahwa aku tidak ingin hilang dari sejarah, seperti apa yang dikatakan penulis senior, Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, selama tidak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”. Belum mulai menulis, aku membuka notifikasi komentar di tulisanku beberapa tahun lalu dari salah satu pengunjung yang sontak membuatku hening sejenak. “Membaca kisah kalian, sungguh mengasyikkan. Mudah-mudahan kalian semakin akur, semakin bahagia ya di sana.”, begitulah bunyi komentarnya. Ia mengomentari tulisanku mengenai kedekatanku dengan Martin. Ahhh… dasar, perempuan ini selalu menggunakan perasannya, masa membaca komentar itu saja langsung terharu. Mudah-mudahan aku bisa dipertemukan lagi dengannya. Sudah ahh… nanti malah nggak jadi-jadi meng-upload tulisan sore ini, gumam hatiku. Selama perkuliahan, belum pernah aku mendapat pengganti sahabatsahabatku seperti keluarga Candy. Budaya dan suasana yang berbeda membuatku perlu beradaptasi. Memang benar kata orang bahwa masa yang paling indah adalah saat berseragam putih abu. Di sini persaingan begitu keras, semua berpacu pada nilai. Nilailah yang dikejar, tidak ada lagi  istilah silaturahmi. Semuanya masing-masing bahkan bila ada informasi yang berharga pun disimpan sendiri-sendiri. Kejam, memang kejam! Apalagi bila kita tidak segera menjalin keakraban bersama teman lainnya, bisa-bisa kita ditinggalkan. Bahkan, aku yang dulu jarang memperhatikan penampilan, saat ini aku mulai pelan-pelan mengenal alat make over, lipstick dan semacamnya. Setidaknya saat perkuliahan berlangsung, aku tidak terlihat pucat. Itu saja, tidak lebih. Gelisah hatiku tak menentu, untung bisa agak sedikit diredam oleh kopi hitam khas Lampung buatanku sendiri. Namun, tiba-tiba jantungku berdebar-debar, badanku semakin keringat dingin. Untuk pertama kalinya aku merasakan seperti ini. Dengan cepat aku mengambil Iphone di meja belajarku dan membuat pesan di grup keluarga Candy. “Apa kabar semuanya? Lama kita tidak berjumpa. Jujur aku rindu akan kehadiran kalian. Kalau kalian main ke Jakarta, bilang-bilang ya. Nanti kita ketemuan. With Love (May)”, begitulah isi pesan yang kukirim. “Hallo juga May. Oh iya, minggu depan aku ada jadwal libur. Rencananya aku mau main Ke Jakarta, nggak lama sih paling satu hari. Kemungkinan aku akan menginap di daerah Kemayoran, rumah saudaraku”, dibalas Martin dengan cepat. Melihat Martin langsung merespons pesanku, segera aku meneleponnya karena jarang-jarang ia bisa membalas pesan seperti ini. Belum sempat bicara, Martin langsung menimpaliku, “May, jangan nelpon dulu! Masih ada senior di sini,” telepon terputus seketika. Aku sangat menyayangkan hal ini ini. Mungkin memang di dunia militer seperti itu, pikirku. Rana, Rani dan Agnes hanya membalas, “Siap May!” Tidak pernah setiap detikpun aku melupakan sahabatku. Walau jarak yang memisahkan, namun rasa rindu dan kasih sayang ini semakin bertumbuh di dalam hati. Terlepas dari mereka merasakan hal yang sama atau tidak sepertiku, bagiku tidak jadi soal. Karena aku selalu yakin bahwa “Everyone has a unique individual”, aku memang merasa kehilangan mereka, namun inilah hidup. Terkadang kita tidak boleh merekat dengan suatu hal, tidak boleh terlalu fanatik dengan suatu hal, tidak boleh mengidentikkkan  diri dengan ke’aku’an, karena sejatinya semua akan kembali kepadanya. Guruku selalu bilang, hidup ini asyik, hidup ini seru, yang perlu kita lakukan adalah nikmati! Being with! Tidak terbawa oleh masa depan juga tidak terkukung oleh masa lalu! Datang dan menghilang ada seni dalam kehidupan, tinggal kita menambah warna dan rasa sesuai dengan apa yang ingin kita rasakan terhadapnya


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices