Cinta Dibalik Rasa

Reads
59
Votes
0
Parts
7
Vote
by Titikoma

Awalnya Hanya Bercanda

 Desiran angin malam ini membuat bulu kudukku merinding. Mata yang mulai melemah harus kutahan entah nggak tahu sampai jam berapa. Di luar sedang hujan gerimis dan malam ini adalah malam Sabtu. Seperti biasanya ritualku adalah nongkrong di café, namun bukan untuk menulis blog, bukan juga untuk me time. Kebetulan tadi sore aku dijemput Martin yang sudah tidak sabar mencicipi kopi di café yang baru menetas beberapa hari ini. Hal yang lumrah, setiap café baru, pasti selalu ramai pengunjung. Ditambah lagi diskon gratis satu cangkir Americano bila mengajak pasangan ke sini. Mungkin itulah niat Martin mengajakku ke sini, terbukti saat ditanya oleh receptionist ia langsung menjawab, “Iya, saya datang bersama pacar saya di sini.” Aku hanya diam mendengar jawaban Martin, karena tujuannya pasti untuk mendapat gratisan, hehehe. Sayangnya aku tidak membawa laptop, lumayan kan sembari menunggu hujan reda, aku menambah tulisan di blog-ku. Tapi, ya sudahlah, percuma untuk disesalkan. Tiba-tiba Martin bertanya, “Ehh May, minggu depan kita nonton yuk?” “Ayok, ajak keluarga Candy lainnya juga ya,” ucapku polos. Transisi ekspresi Martin cukup jelas kelihatan, terdapat raut kekecawaan saat aku mengatakan harus mengajak keluarga Candy. Sesungguhnya bukan aku terlalu percaya diri, namun pernah aku membaca buku tentang mikroekspresi, karangan salah satu pakar mikroekspresi di Indonesia menjadikanku paham maksud dari ekspresi-ekspresi atau respons yang muncul pada lawan bicara, walau terkadang masih salah mengartikannya. Aku tidak mau hanya berdua saja, aku takut bila aku jatuh hati kepadanya. Aku tidak mau jatuh hati kepada sahabatku sendiri. Konon kata orang, ‘Janganlah kau jatuh cinta dan menjalin hubungan pada sahabatmu sendiri. Bila kau tak mencintainya lagi, kau akan kehilangan dua orang sekaligus. Pacar juga sahabat’. Aku tidak tahu apakah ini benar atau tidak. Selama yang aku tahu bahwa tidak ada anak-anak SMA yang pacarannya bisa bertahan lama, paling enam bulan hingga satu tahun saja, itupun terlalu banyak cekcok. Aku ingin Martin biasa saja terhadapku, aku ingin kami tetap sebagai keluarga saja, tidak lebih. Karena aku juga menyayanginya sebagai keluarga. Martin tak tak terlalu mempermasalahkannya, ia memenuhi permintaanku untuk mengajak keluarga Candy lainnya. Namun, dewi fortuna berpihak  kepada Martin. Di saat yang sama, ternyata keluarga Candy lainnya tidak bisa ikut bersama kami, karena ada kesibukan masing-masing. Aku yang sudah berjanji, maka kutepatilah janjinya itu. Besok siang Martin sengaja menjemputku, pergilah kami ke bioskop untuk menonton film keluaran terbaru. Satu harian penuh kuhabiskan waktu bersama Martin. Martin orangnya sangat bertanggung jawab, pulang pun aku diantar lagi ke rumah dengan selamat. “Cieeeeeeeeeeee… gimana kemarin, asyik ya nonton berduaan aja?” teriak Agnes yang sontak membuat pipiku memerah. Terus terang, aku merasa biasa saja, cuman bila diperlakukan seperti ini, sudah kodrat perempuan bila ia malu. “Hmmmm… enak tuh,” sambung Rani. “Apaan, kalian sih diajak pada nggak bisa. Jadi berdua aja deh kami nonton. Kalo kalian ikut kan kita ramean,” ucapku. “Kami sengaja kok, sudah janjian hahahaha. Biar kalian bisa menikmati waktu berdua,” seru Rana. “Ya nggak, Tin?” celetuk Agnes melihat Martin yang baru saja masuk kelas. “Haaa? Ya… apaan, Nes?” tanya Martin bingung. “Diemin aja, Tin. Dia mah lagi sakit,” ujarku sambil tertawa. Sejak saat itu, semakin hari kami semakin dekat dan semakin di-bully oleh keluarga Candy. Aku menganggapnya ini hal yang biasa, namanya masih remaja masih suka bercanda. Sejak saat itu juga, Martin selalu menjemputku ke sekolah juga mengantarkanku pulang ke rumah. Kami semakin dekat, begitu pula hubungannya dengan orang tuaku. Ayah adalah orang yang perfeksionis, ia selalu menilai siapapun teman yang berkunjung ke rumah. Saat bertemu Martin untuk pertama kalinya, ayah sudah berkata padaku, “Martin ini anak baik-baik, ganteng. Kalau mau cari jodoh, carilah seperti dia. Ayah saat muda dulu mungkin mirip seperti Martin, karenanya bundamu tertarik pada ayah hehe”. Aku tidak mengerti maksud ayahku apa, yang pasti ayahku sendiri sudah membuat aturan kepada anaknya bahwa jangan pacaran sebelum lulus sekolah. Tapi, aku juga bingung dengan peraturan yang ia buat, seringkali  ia memperkenalkan aku dengan anak-anak rekan kerjanya. Terkadang aku malu sendiri, apalagi dikenalkan lewat social media. Misalnya, waktu itu ada seorang rekan kerja perempuan meng-upload foto anak lelakinya yang baru saja memenangkan pertandingan basket antar sekolah. Dengan polosnya sang ayah mengomentari foto tersebut, “Selamat Mbak atas prestasi anaknya, jodohin aja atuh sama anak saya, Mayusari”. Konyolnya lagi, ia sengaja men-tag akun Facebook-ku. Hingga besoknya langsung di add friend oleh teman ayahku tadi. Hello! sungguh aneh-aneh saja perbuatan ayahku ini. Sebentar lagi adalah hari ulang tahunku yang ke enam belas tahun. Seperti biasanya setiap ulang tahun, tanpa meminta, pasti orang tuaku selalu membuatkan acara untukku. Kali ini mereka mengonsep acara ulang tahunku di rumah saja, kebetulan aku memiliki taman yang cukup luas untuk menampung teman-temanku, they called “Garden Party.” Aku percaya saja sama orang tuaku. Pasti acara apapun yang mereka buat, itulah yang terbaik untukku. Aku sama sekali tidak terlibat dalam persiapan ini, semuanya diserahkan kepada ibuku, tugasku hanya memberi undangan kepada teman-temanku. Aku senang sekali hari ini, aku merasa seperti bidadari yang disukai banyak orang. Namun, yang kusesalkan acara ulang tahun kali ini tidak kudapati sedikitpun batang hidung Martin di barisan keluarga Candy. Aku harap-harap cemas bila ia tidak datang di acara yang mungkin saja akan menjadi acara terakhirku di Palembang, karena tahun depan aku sudah menargetkan untuk kuliah di Depok. Ayah sudah mengode ke MC agar acara bisa dimulai. Menyadarinya, segera aku mendekati ayah, “Ayah, nanti dulu. Martin belum datang,” ucapku. “Lho, ke mana dia? Tamu undanganmu sudah ramai lho, begitu pula teman-teman Ayah yang hadir. Pokoknya Ayah beri waktu lima menit lagi. Kita langsung mulai saja nanti!” terang ayah. Aku segera mengambil ponsel di kamar atas dan menghubungi Martin, namun tidak ada jawabannya. “Mayu...” teriak MC dari bawah, lantas membuatku langsung menuju ke bawah. Acara sudah dimulai, aku tidak bisa fokus dan tenang bila salah satu sahabat terbaikku tidak datang. Dari kejauhan ayah menangkap sinyal ketidaknyamananku. Lantas, ia langsung mendekatiku.  “Mana sahabatmu yang lain? Biar nanti mereka saja yang menghubungi Martin,” tanya ayah. “Itu… Yah,” sambil menunjuk ke arah kolam renang di mana persis sahabatku berdiri. Sebentar lagi acara puncak akan dimulai, Martin tak kunjung datang, padahal ia disiapkan untuk menjadi perwakilan dari keluarga Candy yang menerima suapan kueku, juga diberi kesempatan untuk pidato di acara ini. Aku masih berharap ia akan bergabung bersama kami, namun sayang aku harus mempasrahkannya kali ini. Aku sudah putus harapan menanti kehadirannya, hingga MC memanggil perwakilan dari keluarga Candy, Agnes lah yang maju menggantikannya. “Breeemmm... tin...” terdengar suara knalpot juga klakson dari sepeda motor yang lampunya menyorot persis ke arahku. Aku tidak bisa melihat siapakah orang itu, karena terhalang sinar lampu yang sangat menyakitkan mata itu. Sepertinya itu lelaki, tidak mungkin seorang perempuan mengendarai motor sedemikian seramnya. Ia mematikan lampu lalu membuka helmnya. Dan… ternyata itu Martin, ia langsung berlari menjumpaiku membawa satu buket bunga dan kado untukku. Agnes yang belum tiba di podium, lantas menghentikan langkah kakinya. MC yang kaget langsung berkata, “Selamat datang di acara ulang tahun Mayu, Martin. Akhirnya lelaki yang ditunggu-tunggu tiba juga. Tepuk tangan dong untuk semuanya,” seru MC yang kebetulan dia adalah bibiku sendiri, haha. Usai memberikanku kado dan buket bunga tersebut, Martin langsung memelukku sembari mengucapkan selamat ulang tahun. Tiba-tiba badanku seolah menjadi es “Freeze” tak berkutik, baru kali ini aku dipeluk oleh seorang lelaki. Aku lihat ayahku hanya tersenyum saja dengan ulah Martin. Puluhan mata tertuju kepada kami, dan setelahnya Martin langsung meraih mic untuk mengucapkan sambutan sebagai perwakilan keluarga Candy. Dalam sambutannya, ia menyatakan permohonan maaf atas keterlambatannya karena sore tadi ia harus mengantarkan ibunya yang sedang sakit k erumah sakit dulu, tidak lupa juga ia mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku, dan mengucapkan terima kasih kepada seluruh tamu undangan yang sudah hadir. Di akhir kata, ia ingin mengucapkan sesuatu, namun sangat berat diungkapkan menurutnya. Kami semua menunggu kira-kira apa yang akan diucapkannya, sampai  seluruh undangan memberinya tepuk tangan dan semangat agar ia berani mengungkapkan apa yang ingin ia katakan. “Jujur, sangat berat untuk menyatakan ini, saya rasa ini bukan waktu yang tepat untuk mengungkapkannya khususnya bagi sahabat-sahabat saya keluarga Candy, bahwa aku benar-benar mencintai Mayu dan bersedia untuk menjadi pacarnya,” tegas Martin. Semua tamu yang datang lantas terdiam atas pernyataannya itu. Sementara yang lain diam, ayahku langsung berdiri memberikan standing applause diikuti tamu undangan yang lain terhadap Martin. Aku tidak tahu, mengapa ayah melakukan itu. “Wahhhhh si ganteng akhirnya mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam sepertinya,” seru MC. “Gimana nih, Neng? Dia udah jujur di hadapan banyak orang,” sambung MC. Aku bingung mau berbuat apa di malam ulang tahunku ini, bundaku yang duduk di sebelah ayah pun mengedipkan mata yang aku sendiri tidak tahu artinya apa. “Terima kasih sudah datang di acara ulang tahunku, Martin. Sungguh kau membuatku shock malam ini. Aku juga sangat menyayangimu, juga dengan teman-teman yang lainnya. Karenanya aku tidak bisa menjawab hal ini sekarang. Mohon maaf Martin dan semuanya,” ucapku singkat. Aku melihat seluruh undangan kecewa akan jawabanku ini, begitu pula dengan Martin. Ayahku langsung mendekat dan meraih mic yang ada di tanganku, “Anakku Martin, Om tahu rasanya bila Om menjadi kamu. Om dulu pernah merasakan hal yang sama, juga pernah melakukan hal yang sama seperti ini. Bahkan Om nilai kamu lebih berani dan gila dibanding Om dulu yang masih lugu. Om sangat mengapresiasi perjuanganmu. Putri Om, Mayu, masih sangat kecil. Sekolah saja belum lulus. Kalau Om tidak terlalu mempermasalahkan itu karena Om cukup mengenalmu sebagai anak yang baik juga bertanggung jawab, namun tetap saja semuanya tergantung pada kalian terutama Mayu. Yang pasti Om berpesan kepadamu, jangan sesekali kau menyakiti perempuan, siapapun itu. Sejatinya mereka dilahirkan untuk dicintai, disayangi, bukan untuk disakiti!” ucap ayahku. Melihat drama ini, MC kemudian mengambil alih untuk kembali mencairkan suasana lagi. Terus terang aku tidak enak dengan Martin, bukan bermaksud menolaknya, karena aku sendiri belum siap untuk berpacaran dengan orang yang aku sayang, aku sangat takut bila nanti akan kehilangannya. Malam ini semua bernyanyi, berpesta merayakan ulang tahunku. Tapi tidak dengan Martin. Aku melihat ia duduk sendirian di pinggir kolam, lantas aku langsung menghampirinya. “Martin, kamu marah ya?” tanyaku pelan. “Enggak kok, May.” sambil tersenyum halus. “Kau membuatku kaget, dan aku jujur belum pernah kepikiran untuk berpacaran denganmu,” lanjutkku. “Iya nggak apa-apa kok, mungkin memang aku terlalu terburu-buru untuk menyatakan ini padamu.” “Ayokahh berdiri. Kita makan dulu,” sahutku sambil menarik tangan Martin. Akhirnya, kami semua menikmat pesta ulang tahunku malam ini. Palembang, 5 Mei 2015 Aku pikir ucapan Martin beberapa bulan dulu hanya candaan belaka, ternyata ia menyatakannya dengan jujur dan keren menurutku, karena jarang seorang lelaki yang berani seperti dia. Gara-gara itu setiap hari aku selalu kepikiran tentang Martin, “All about Martin”. Tidak terasa ini adalah hari terakhirku mengikuti ujian kelulusan, yang berarti hari ini pula terakhir mungkin aku bertemu dengan sahabat-sahabatku semua. Terlalu banyak kenangan yang terukir di sejarahku selama tiga tahun ini. Sedih, canda, tawa, suka, duka sudah kulalui bersama sahabat-sahabatku juga guruguruku. Mengapa rasa sedih ini baru terasa saat di akhir-akhir? tanyaku dalam hati. Apakah benar kata pepatah bahwa penyesalan selalu datang di akhir? Eitttss, tunggu dulu, tapi ini bukan penyesalan menurutku. Benar kata pepatah bahwa sebenarnya hidup adalah perjalanan “Life is Journey”. Dalam perjalanan senantiasa selalu terjadi perubahan. Mau tidak mau, siap tidak siap kita harus menghadapinya dengan lapang dada. Seperti kami ini, tiga tahun satu kelas tidak serasa akan berpisah, ada yang sudah diterima di Universitas Gadjah Mada, ada yang di Universitas  Sriwijaya, ada juga yang di Universitas Indonesia dan masih banyak yang diterima di perguruan tinggi lainnya. Bersyukurnya aku dapat di terima di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia sesuai impianku sejak kecil. Selain kuliah, ada juga teman-temanku yang sedang mengikuti tes Akademi Kepolisian, Akademi Militer, Dinas Perhubungan dan kedinasan lainnya. Martin, sahabatku saat ini sedang dalam mengikuti rangkaian seleksi masuk Akademi Militer, walaupun ia sudah dinyatakan lulus di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia juga. Aku berharap sih dia kuliah saja, biar aku ada temen di kota rantau. Eh sebenarnya tidak merantau karena dulu aku sempat tinggal di Jakarta Selatan, tidak jauh dari Depok. Ahhh sudahlah, aku selalu mendoakan yang terbaik apapun yang terjadi kepada sahabatku. Oh iya, kalo Rana-Rani mereka sudah dipastikan di Universitas Sriwjaya, sedangkan Agnes jauh terlempar ke Universitas Gadjah Mada. Kami semua harus dipisahkan oleh jarak. Ini semua demi masa depan yang cerah. Kami pun berjanji akan terus berhubungan walau jarak memisahkan. Sudah satu minggu kami tidak sekolah, akhirnya dipertemukan lagi di acara perpisahan yang dibuat oleh sekolahku “Farewell Party”. Hatiku sudah terkadung bahagia dengan adanya acara ini, apalagi bulan depan aku harus segera ke Depok untuk mengurus pendaftaran ulang di kampus baruku. Aku masih menunggu kabar Martin yang saat ini masih sulit dihubungi. Farewell Party kali ini setiap siswa/i terlihat cantik dan tampan. Fokus mataku langsung tertuju mencari keberadaan keluarga Candy, ke mana ya mereka? gumamku bingung. “Mayu!!!!” terdengar suara perempuan memanggil namaku, aku pun sudah tidak asing dengan suaranya. Yes! Akhirnya aku bertemu Agnes. Kami refleks langsung berpelukan melepas rindu. “Si kembar mana ya, Nes?” tanyaku. “Martin juga,” sambungku lagi. Kata orang, saat kita sedang membicarakan seseorang dan tiba-tiba ia muncul, berarti ia akan panjang umur. Tidak tahu teori dari mana namun aku cukup sering mendengarnya. Tibalah Rana dan Rani bergabung bersama kami. Tinggal Martin yang belum datang. Ehh tidak disangka lima menit kemudian kami dihampiri oleh lelaki botak yang tentu membuat kami pangling! Ya, bagaimana tidak pangling, biasanya klimis, sekarang  berubah menjadi plontos bak Mario Teguh, motivator kondang yang sedang naik daun di negeri ini. Siapa lagi dia kalo bukan Martin. Ternyata Martin diterima di Akademi Militer, dan akan memulai pendidikannya tidak lama lagi. Sedih bercampur bahagia mendengar kabar kelulusan Martin, sedih karena sudah dipastikan aku akan berpisah dengannya, bahagia karena dia adalah lelaki pertama yang berhasil lulus Akademi Militer semenjak lima tahun belakangan ini. Maklum pamor sekolahku lima tahun ini agak sedikit meredup, karena banyak dari mereka memang lebih memilih untuk melanjutkan ke perguruan tinggi ketimbang militer atau kepolisian. Kami sangat menikmati rangkaian acara kreatif yang dibuat oleh junior pengurus OSIS. Tak kuasa, air mataku menetes saat menyaksikan video dokumenter perjalanan kami selama tiga tahun mengemban ilmu di sekolah ini. Sulit bagiku membendung terpaan air mata yang terus mengalir ini. Martin menatapku dengan penuh arti, dengan menggunakan tisu ia mengelap air mata dan merangkul tubuhku. Aku sangat terhanyut dalam suasana ini. “Tenang May, aku akan selalu mencintaimu,” ucap Martin seolah mencuri kesempatan dalam kesempitan. Aku tidak merespons sepatah katapun apa yang dikatakan oleh Martin, namun aku merasakan kenyamanan bila berada di dekapannya. Kata bundaku dulu, bila kita nyaman dengan seorang lelaki, berarti kita menyayanginya. Hmmm… aku juga bingung dengan perasaanku ini. Aku tak mau terlalu memikirkannya. Usai foto bersama, Martin kembali menghampiriku, “May, aku membawakan sesuatu untukmu. Kuharap kau dapat menjaganya dengan baik. Oh iya, aku masih menanti jawaban yang kau janjikan saat hari ulang tahunmu itu lho,” ucapnya. “Terima kasih, Martin. Pasti kujaga dengan baik. Hmmm.. soal itu, aku belum bisa memutuskan, berikan aku waktu untuk menjawabnya.” “Tapi, sebentar lagi aku akan kesulitan menemuimu. Aku akan ke Magelang, kau juga akan ke luar kota,” ucapnya. Aku hanya tersenyum tak banyak komentar. Entah mengapa begitu sulit hatiku untuk menerimanya. Bukan karena aku tak cinta, bukan karena aku tak sayang, mungkin karena aku belum siap untuk menjadi kekasih hatinya.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices