cinta dibalik rasa
Cinta Dibalik Rasa

Cinta Dibalik Rasa

Reads
67
Votes
0
Parts
7
Vote
by Titikoma

Apakah Sudah Terlambat?

 Depok, 18 Agustus 2019 “I have died every day waiting for you Darlin’ don’t be afraid I have loved you for a Thousand years I’ll love you for a Thousand more” Blar! Tiba-tiba badanku menjadi kaku sesaat mendengar lagu dari seorang penyanyi tersohor Christina Perri itu. Jari yang semula asyik berselancar di keyboard pun ikut terdiam ketika playlist lagu di laptopku memutar lagu ini. “Ahhh... sial!” pikirku. Kenapa aku seolah terhipnotis oleh lirik lagu ini. Why?! Oh my God, apa yang harus aku lakukan? Seumur-umur belum pernah aku merasakan hal seperti ini. Empat tahun sudah aku mengenyam pendidikan Sarjana di Universitas Indonesia, dan sebentar lagi aku akan diwisuda. Momen inilah yang selalu kutunggu-tunggu, juga orang tuaku sejak pertama kali duduk di bangku perkuliahan. Aku ingat beberapa bulan lalu, ketika umat Islam sedang merayakan Hari Raya Idul Fitri, ada seorang saudara bertanya kepadaku, “Mbak, sebentar lagi kan wisuda ya? Habis wisuda berarti kuliahnya lulus dong. Kapan Mbak mau nikahnya?” Jujur, pertanyaan ini menurutku sudah masuk pada ranah pribadi, dan tidak seharusnya kita menanyakan hal ini ke orang-orang, walaupun keluarga kita sendiri. Sama seperti halnya, ‘Mbak kapan nambah anak lagi?’, ‘Mbak kok anaknya nakal ya.’ Memang terlihat sederhana, namun bagiku itu adalah masalah etika, dan tidak selayaknya orang menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi seperti itu. Lebih baik fokus membenahi kehidupan masing-masing terlebih dahulu. Karena tak ingin mengecewakan aku menjawab, “Tunggu saja undangannya,” singkatku. Bagaimanapun caranya, aku ingin saat wisuda nanti seluruh keluarga Candy datang ke Universitas Indonesia merayakan kelulusanku. Sebenarnya aku paling terlambat di antara mereka berempat. Martin sudah dilantik  beberapa bulan lalu dan sekarang sedang dinas di Bandung, Rani-Rana pun sudah bekerja di Jakarta, berbeda dengan Agnes yang saat ini sedang melanjutkan pendidikan Magister di UGM. Aku pikir jarak mereka tidak terlalu jauh untuk sekedar beberapa jam ke Depok, kecuali Agnes yang sedang berada di Jogja. Tetap saja, aku mewajibkan mereka untuk datang, hehe. Kalian juga harus tahu, bila saat wisuda nanti Martin mengulang tingkahnya seperti hari ulang tahunku dulu, aku tak sungkan-sungkan untuk menerimanya. Aku pikir bahwa aku sudah dewasa, orang tuaku pun pasti menyetujuinya! Ya, tapi kembali lagi kepada Martin, katanya dulu ia akan menungguku hingga aku siap. Namun, terkadang namanya perasaan selalu bisa berubah. Apalagi lelaki keren seperti Martin. Hari yang kutunggu-tunggu tiba, aku sangat bahagia mendapat kabar bahwa semua sahabatku akan datang, siang itu aku berpesan bila mereka sudah sampai, tunggu saja di Balairung, nanti aku yang akan menemuinya. Yups, dari kejauhan aku sudah melihat sahabatku yang sudah menunggu di luar. Suara dari mulutku langsung menggelagar saat secara refleks memanggilnya. Maklum, aku sangat merindukan kehadiran mereka. Aku langsung memeluk mereka, sambil meneteskan air mata haru. Ternyata, kami sekarang sudah kepala dua semua. Memori saat SMA-lah yang membuat air mataku menetes deras. Kami asyik bercerita panjang lebar satu sama lainnya. Orang tuaku pun memberikan waktu untuk berinteraksi dengan sahabat-sahabatku. Saat sedang asyik bercerita dan foto-foto. Martin mendekatiku, lantas membuatku gugup. Martin memang bertambah subur sekarang. Setelah dilantik, ia bertambah keren. Memang pangkatnya masih Letnan, tapi feeling-ku kariernya di militer akan cemerlang. Dengan pelan ia bertanya, “May, mana kalung yang dulu pernah aku titip ke kamu? Masih dijaga nggak?” “Dijaga dong,” jawabku sambil berusaha menunjukkan kalung yang sedang kupakai. Suasana tiba-tiba menjadi horor saat Martin mulai menatapku, tatapannya polos dan selalu penuh arti. Aku pun sulit untuk mendefinisikan maksud dari tatapannya itu. Sambil tersenyum, ia menyodorkan sebuah kertas untukku, “May, ini untukmu.”  “Apa ini?” tanyaku heran. Darahku tiba-tiba berdesis seakan jantung berhenti menjalankan fungsinya, juga mataku yang melotot melihat sebuah surat yang saat ini sudah berada di tanganku. “Kok aku gugup ya membukanya?” sahutku. Sahabat-sahabatku yang sedang sibuk berfoto, tidak terlalu memperhatikan kami. Apakah Martin akan melamarku, pikirku. “Undangan…” celetukku. “Hah!? Ini siapa yang menikah? Kakak perempuanmu ya?” tanyaku. “Bukan, tapi itu aku.” Jleb, mataku sulit berkedip saat mendengar jawaban dari Martin. Tanganku pun tak berhenti gemetar, ditambah lagi mulut yang menjadi kaku diam tak merespons bak mayat hidup. “May, kenapa kau diam saja?” tanya Martin. “Nggak papa kok. Semoga kau bahagia ya. Nanti aku akan datang di hari pernikahanmu,” jawabku tabah sambil meninggalkannya. Martin langsung menarik tanganku, “May… tunggu!” ucapnya. Sungguh, ini di luar ekspektasiku. Aku berharap dengan kedatangan para sahabat aku bisa jauh lebih bahagia di hari wisudaku. Namun, sepertinya Martin datang pada saat yang kurang tepat. “Ada apa lagi?” tanyaku. “Mengapa tiba-tiba ekspresimu berubah seperti ini?” tanyanya. “Karena kau tidak tahu apa yang sedang aku rasakan,” jawabku. “Ahh… sudahlah, aku rasa ini nggak perlu dibahas,” tambahku lagi. Rana, Rani, dan Agnes datang menghampiri kami. “May, ada apa? Yuk foto dulu!” seru mereka. Sulit bagiku untuk mencoba bahagia di saat hati sedang terpuruk, sehingga aku memilih diam saja. Benar kata guruku dulu, bahwa pikiran, tubuh dan 57 55 perasaan adalah satu kesatuan yang utuh. Karenanya tubuh boleh saja berbohong, namun perasaan tidak! “Ehh May!! Ayuk foto!” Belum sempat aku beranjak, orang tuaku datang menghampiri kami. “Ehhhh… Nak Martin, gimana kabarnya?” tegur ayahku. “Alhamdullilah baik Om. Oh iya, nanti datang di acara pernikahanku ya, Om?!” jawabnya. Sahabatku yang mendengarnya pun kaget karena memang Martin belum pernah menginformasikan tentang pernikahannya ke kami sebelumnya. “Lho, katanya dulu maunya sama May, Kok nikahnya sama orang lain?” celetuk Agnes. Ayahku tiba-tiba tertawa melihat celetukan Agnes, “Itulah Nak, cinta memang sulit didefinisikan. Bisa jadi kita menyukai seseorang namun sebenarnya kita tidak mencintainya. Cinta sejati tak lekang oleh waktu, tak kenal jarak juga tanpa alasan. Cinta sejati bukan hanya sekedar ucapan, bukan sekedar kata-kata, bukan sekedar ingin memiliki. Tapi ia berupa rasa. di mana di dalamnya ada sebuah tindakan, ada sebuah kekuatan bersama untuk saling menumbuhkan, untuk saling mengasihi, dan untuk saling menjaga,” ceramah ayahku. Kami semua terdiam mendengar ucapan ayah. Tumben sekali ayahku ini romantis, pikirku. Mungkin inilah yang menyebabkan bunda terpikat dengan ayah. “Bener banget tuh, Om!” celetuk Rana. “Untuk Martin, semoga pernikahannya nanti lancar. Om usahakan hadir nanti. Dan untuk anak ayah tersayang, seharusnya bila kita mencintai seseorang, ungkapkanlah! Ekspresikanlah! Tidak perlu kau menutup diri. Bukankah begitu, Nak Martin?” ujar ayahku. Martin hanya tersenyum tanpa mengucap sepatah kata pun. Memang sulit bagiku harus menerima kenyataan seperti ini. Terlalu banyak kenangan yang senantiasa merekat di pikiranku Tapi, aku harus ikhlas menerimanya. Hidup adalah pembelajaran, melalui kejadian ini aku  banyak belajar apa itu arti cinta sesungguhnya. Kini Martin sudah menikah, aku ikut bahagia saat melihat pancaran wajah indah dari kedua pasangan di hari pernikahannya. Aku yakin, kali ini pilihan Martin tidak salah. Aku pun sekarang sudah menjalin hubungan bersama seorang lelaki yang juga adalah teman semasa kuliahku sendiri. Bila sudah tepat waktunya nanti, aku akan menyusul Martin yang sudah duluan meninggalkan masa perjakanya


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices