
by Titikoma

Petualangan Demi Petualangan
Dengan restu bunda maka Renata tidak perlu sembunyi-sembunyi untuk bisa setiap saat pergi bersama Mas Rama. Seminggu kemudian Renata mulai masuk kerja sebagai tenaga keuangan di sebuah tempat karaoke. Renata menikmati rutinitas berangkat pukul 08.00 dan sampai kantor pukul 09.00, terus bekerja seharian mengalkulasi pemasukan juga pengeluaran menjadi profit. Ada Mbak Ira teman dalam administrasi sekaligus keuangan, tapi sayang kurang bersahabat dengan Renata. Mbak Ira takut Renata akan menjadi saingannya. Memang begitu nyatanya, Renata yang bawaan Pak Rama segala sesuatunya selalu penuh keistimewaan dan toleransi, membuat Ira iri dan kesal. Kadang Renata tidak masuk bila ada job nyanyi di hari kerja dan dapat izin dengan mudah. Wajah Mba Ira semakin jutek saja dengan adanya Renata. Renata berusaha tetap baik selama sebulan walau kerap diperlakukan kasar oleh Mbak Ira. “Ternyata persiangan kerja sangat kejam ya Mas Rama...” Renata mengeluhkan rekan kerjanya, Mbak Ira yang suka meremehkan dan tidak mau mengajarinya. Tapi Mas Rama dan Mas Deny, dua owner bisnis karaoke ini tidak mungkin memecatnya karena Mba Ira sudah bekerja lama dan segala keuangan dipegang dia selama bertahun-tahun, laporannya bagus dan jujur. “Iya sabarlah, nanti Ira juga lama-lama bosen memusuhi kamu Sayang...” Mas Rama kali ini mengajak Rena ke mal yang menjual barang-barang kebanyakan impor. Mall Pasific Place membuat Renata ingin sekali membeli sebuah tas dan sepatu yang sedikit demi sedikit mulai dikoleksi sejak Pak Fadlan sering memberi uang lebih kalau bersedia menemani berjam-jam ngopi. Mata Renata berpendar dan Rama tersenyum tahu kalau Renata menginginkan sesuatu. “Sudahlah kamu lupakan saja perlakuan Ira, sekarang Mas mau traktir apa saja yang kau inginkan Cantik,” Rama menggandeng tangan Renata dan perlahan tapi pasti Renata membimbing Mas Rama ke sebuah toko sepatu dan tas yang bermerek luar negeri. Rama membiarkan Renata memilih apa yang dia suka dan cukup lumayan beberapa puluh juta melayang hanya untuk sebuah tas dan sepatu high heel bermerek internasional. Renata girang bukan main sampai dia terdiam saat Rama menyetir mobilnya bukan ke arah rumahnya, tapi ke sebuah apartemen. “Rena kamu keberatan kalau aku ajak ke apartemenku?” “Eeeh tidak, aku harus tahu malah di mana Mas Rama tinggal,” kata Renata tak lepas dari senyum bahagia. Akhirnya terkabul memiliki tas dan sepatu asli yang sangat mahal. Sesuatu yang seumur hidup baru dimiliki. Apartemen milik Mas Rama di bilangan Sudirman merupakan hunian yang nyaman. Saat masuk terasa dingin karena AC yang entah sengaja dinyalakan atau lupa dimatikan. Sebuah ruangan yang minimalis ada ruang tamu, tempat tidur king size dengan pemandangan sebuah LED lengkap dengan seperangkat home theater dan dapur simple sangat minimalis. Yang istimewa adalah rak buku yang unik penuh dengan buku-buku financial planner dan banyak tropi, piagam penghargaan terbingkai rapi di sisi tembok. Dari jendela kamar yang menghadap jalan utama Sudirman tampak kemacetan jalan tol dalam kota, apalagi baru saja hujan turun deras. Renata bisa memandang bayangan wajahnya di antara titik hujan yang melekat pada jendela dan tiba-tiba tampak bayangan Mas Rama yang memeluk pinggangnya dari belakang. Hatinya berdebar, pelukan yang semakin erat dan tidak ada penolakan lagi, semuanya harus terulang saat untuk pertama kali Dito bersama seutuhnya. Renata terbangun ternyata sudah menunjukkan pukul 22.00, dia bergegas ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Sejenak ingatannya berloncatan akan barusan yang dia alami, tapi sepertinya memang inilah jalan yang harus dia tempuh. Rama adalah orang kaya raya yang membutuhkan seorang wanita di sisinya, tingkat stres pekerjaan dia didukung perceraiannya maka tepat kalau dirinya sekarang menempati sebagai wanita yang menggantikan mantan istrinya. “Rena... Rena... sudah mandinya Sayang?” “Iya sudah, sebentar.” Renata segera menyelesaikan mandi dan berpakaian. Tadi dia sempat membuka almari Rama dan menemukan beberapa potong baju wanita rumahan, mungkin milik mantan istrinya yang tersisa. Saat keluar Rama agak tercengang tapi kemudian diam saja atas kelancangan Rena memakai baju yang ada di almarinya. Rena teringat belum mengabari bundanya kalau tidak bisa pulang malam ini dan harus berbohong apa? “Bunda maaf Rena malam ini harus menemani Mas Rama di kantor untuk menyiapkan presentasi besok. Bunda tidak usah khawatir, Rena baik-baik saja. Semuanya terjamin kok makannya dan lumayan honor yang nanti Rena terima bisa buat beli susu Nathan beberapa kardus.” Bunda Nurul mengiyakan dan berpesan, “Rena hati-hati dan ingat jaga diri, belajar dari pengalaman lalu ya.” “Iya Bunda...” Renata menjawab pendek, jelas dirinya memang tidak bisa memegang janji seperti harapan bundanya untuk mencari segala sesuatu yang halal dengan bekerja keras, bukan menjual diri. “Maafkan Renata Bunda... semua Renata lakukan untuk masa depan kita, walau jalan ini yang harus Renata tempuh saat ini,” laras batin Renata. Dan malam terasa panjang menjelang pagi, Renata tidak bisa memejamkan mata dengan sisa malam hingga pagi menjelang, sementara Rama di samping tidur sangat lelap. Pagi subuh baru Renata bisa memejamkan mata dan tertidur lelap. Saat bangun sudah pukul 10.00, Renata kaget harusnya dia masuk kerja tapi siapa yang antar? Jarak Sudirman – Cibubur juga bukan jarak dekat. Ternyata Rama juga sudah tidak ada di samping tidurnya. Hanya sebuah pesan tertulis: “Rena sayang, Mas pergi dulu ada urusan penting masalah road show mulai akhir bulan sampai pertengahan yang harus dimatengin, di kulkas ada stok sayuran, telor terserah mau kamu apain... have fun on your new home... i love you...” Rena memutuskan mandi dan berkutat di dapur memasak mi rebus telor campur kornet. Sembari menatap balik jendela kepadatan lalu lintas Jakarta, Renata menikmati sarapan yang bukan pagi lagi karena jam sudah menunjukkan pukul 12.00 Seharian Rena membersihkan apartemen milik Rama dan sisanya membaca berbagai artikel yang Rama tulis di berbagai media dalam sebuah kliping yang sepertinya sengaja Rama kumpulkan. SMS Rama: “Sabar ya Sayang, jam 5 aku pulang. Kamu dandan yang cantik ya, aku udah belikan sebuah gaun, kita akan ke resepsi seorang rekan.” Rana tersenyum senang, “Ah sangat membosankan tinggal di apartemen, baru sehari rasanya panjang banget! Aku sih kalau punya uang mending beli rumah saja!” Renata bicara sendiri. Renata berdandan agak tebal karena mau diajak ke sebuah resepsi dan Rama pulang sambil membawa jinjingan. Saat dibuka, sebuah gaun malam berwarna emas yang cantik sepadan dengan sepatu yang dibeli kemarin. “Wah keren banget gaunnya?” Rena menatap tanpa berkedip. “Iya itu dari butik teman jadi lumayan harga tidak semestinya, kamu suka Sayang?” Rama mencium Renata yang sudah ingin mencobanya. “Cantik dan pas dengan badan kamu, sebentar aku juga siap-siap. Tunggu ya acara sampai pukul 21.00, dekat kok nggak ada satu jam kita akan sampai di gedung Balai Sudirman,” kata Rama bergegas menuju kamar mandi. Renata masih tidak percaya dengan tampilannya yang glamour elegan. Rambut merahnya pas sekali dengan gaunnya. Acara resepsi sahabat Rama terlihat sangat meriah, Balai Sudirman dipenuhi dengan mobil mewah dan tamu-tamu yang tampak glamour. Malam Jumat lalu lintas padat merayap karena bersamaan pulang jam kantor, tapi tidak menghalangi resepsi yang digelar kamis malam yang sepi tamu. Renata menikmati setiap hidangan dan mencicipinya, sementara membiarkan Mas Rama yang asyik berbincang bisnis dan perencanaan keuangan entah dengan siapa saja yang Renata tidak mengenalnya. Bagi Renata nggak penting juga tahu terlalu banyak. Sesekali dia dikenalkan dan berlalu sendiri. Tiba-tiba ada suara lembut memanggilnya, yang jelas Renata tidak bisa lupa. “Renata...” “Pak Fadlan?” “Kamu diundang menyanyi?” tanya Pak Fadlan dengan batik dan celana hitam. “Nggak Pak... saya dengan teman...” Jantung Renata berdegup kencang, tampaknya Pak Fadlan menyiratkan rasa kecewa ketika Renata berkata ‘datang dengan teman’. “Oh siapa? cewek atau cowok?” ada nada curiga sekaligus cemburu, apalagi penampilan Renata sangat mewah. Belum sempat Renata jawab, tiba-tiba Mas Rama muncul dan langsung menggandeng mesra tangannya. “Oh ini teman istimewanya. Baiklah Renata, jangan lupa besok Sabtu dan Minggu tugas kamu menyanyi di resto Bintang,” nadanya seperti memerintah bawahan. “Iya Pak Fadlan saya tahu,” Renata menjawab tenang walau hatinya juga kesal diperlakukan seperti itu. “Dasar lelaki pura-pura baik! Gatel juga sebenarnya!” rutuk hati Renata. “Siapa laki-laki tadi Renata?” Rama berkata dingin. “Manajer restoran sea food Bintang, Mas, tempat aku Sabtu Minggu nyanyi. Mas Rama ingat kan kita juga berkenalan waktu itu?” “Oh, kalau dia macem-macem kamu nggak usah kerja lagi jadi penyanyi di restorannya.” Rama memandang tajam dari jauh Pak Fadlan yang ternyata juga menatap tajam Pak Rama. Renata paham ada persaingan tidak jelas laki-laki, padahal dirinya sendiri santai saja karena memang tidak ada cinta buat keduanya. Renata hanya ingin mendapatkan harta dan harta untuk memuaskan balas dendam dan meraih kekayaan perlahan-lahan. Malam Minggu seperti biasa Renata menyanyi di restoran sea food Bintang, tidak seperti biasanya Pak Fadlan nampak murung di mobilnya saat mengantar pulang Renata. “Rena sepertinya kamu menyukai laki-laki kemarin ya? Aku baru sadar kalau dia itu salah satu pembicara perancang keuangan yang seperti selebritis.” “Oh Pak Rama, iya dia sangat baik pada saya dan serius akan hubungan kami, tapi saya masih ragu juga Pak Fadlan,” Renata berkata lembut. “Sedih aku Renata, sepertinya kamu tidak bisa aku miliki seutuhnya, sudah hampir tiga bulan kedekatan kita sayang sekali kedatangan orang ketiga,” Pak Fadlan yang biasanya ceria bila sudah didekat Renata, tidak dengan malam ini. Renata tersenyum mengejek dalam hati, “Yah nyesel deh udah banyak kasih aku uang dan berbagai macam barang ternyata aku bisa saja punya teman pria lain, aduh maaf ya Pak Fadlan… hari gini ngendelin suami orang yang hanya bisa ketemu Sabtu Minggu. No way!” “Renata sejujurnya aku ingin menikahi kamu, tapi berhubung aku mempunyai istri tentu saja kita nikah diam-diam. Nikah siri saja! Aku janji akan menafkahi kamu dan Nathan seperti aku menafkahi keluargaku.” “Ihhhh males deh! Ogah!” kembali Renata merutuk dalam hati. “Hmmm maaf Pak Fadlan, selama ini aku rasa hubungan kita take and give. Saya bersedia mendengar menemani Bapak berjam-jam berberkeluh kesah, ngobrol, dan belanja juga untuk kebutuhan keluarga Bapak. Lalu Bapak memberikan imbalan pada saya yang memang saya butuh. Bukankah ini lebih enak! Tanpa harus terikat pernikahan.” Renata mencoba rasional akan hubungan mereka tiga bulan ini yang tidak lebih Renata anggap hanya pertemanan biasa, walau tidak dipungkiri setiap Minggu selama tiga bulan uang yang diberikan Pak Fadlan bukan juga uang recehan. “Tapi Rena semakin kemari aku semakin mencintai kamu! Dan aku butuh kamu lebih! Tidak lagi hanya sekedar teman ngobrol! Kamu pasti tahulah apa yang dibutuhkan lelaki.” Renata bergidik, apalagi fisik Pak Fadlan yang sudah kaya om banget membuat Renata mau muntah. Tentu saja sangat berbeda dengan Rama yang masih muda, ganteng, dan romantis. Wow tentu saja berduit. “Aduh Pak Fadlan saya sudah anggap sahabat baik sekaligus seperti bapak terhadap anaknya. Maaf saya jelas tidak mau menikah dengan Bapak, apalagi Bapak mempunyai istri. Saat ini saja saya merasa sudah berdosa terhadap istri Bapak. Maaf Pak Fadlan, dengan segala kerendahan hati saya meminta maaf.” Renata menatap Pak Fadlan yang tampak sedih dan terpukul atas penolakan barusan. “Renata apa kurang yang aku kasih setiap Minggu selama ini? Berapa sih Rama pacar barumu membayar dirimu?” tiba-tiba nada Pak Fadlan sangat tidak enak didengar di telinga. Membuat Renata tersengat. “Baiklah kalau Bapak memaksa! Maaf, jelas Mas Rama memberikan berlipat-lipat dari Bapak, mau dibayar atau tidak itu bukan urusan Bapak! Lagi pula mengaca deh kalau saya dan Mas Rama masih cocok karena usia kita terpaut sedikit. Nah kalau dengan Bapak! Saya lebih pantas jadi anak,” Renata nyolot. Sekarang tidak peduli jaga perasaan Pak Fadlan yang tengah merengekrengek seperti anak kecil meminta dirinya bersedia menjadi istri simpanan. Otak Renata sudah berputar, selain tidak ingin menyakiti wanita yang sudah mendampingi perkawinan Pak Fadlan sampai tiga puluh tahun lamanya, kedekatan dengan Mas Rama yang terpenting direstui bundanya yang membuat Renata yakin melepaskan diri dari orang yang menopang ekonominya tiga bulan ke belakang ini. “Tapi Rena saya tidak bisa hidup tanpa kamu, please .. kembalilah ke saya?” Pak Fadlan memohon. “Saya hanya bisa menjadi teman curhat sebatas itu, tapi kalau lebih apalagi menjadi istri simpanan… maaf hubungan kita sampai di sini dan saya juga mengundurkan diri jadi penyanyi tetap di restoran Bapak,” Renata berkata tegas. Rena bergegas memegang tas bawaannya, dia yakin sekali akan diturunkan di tengah jalan. Apalagi lihat wajah Pak Fadlan yang tegang, Rena yakin dia pasti sedang memikirkan tidak hanya perasaan tapi untung rugi melepaskan dirinya. Rugi karena sudah cukup banyak uang dan barangbarang dibeli untuk memenuhi kesenangan Renata, depositonya sebagian sudah mengalir ke rekening Renata juga. Jujur! Buat Renata ini adalah waktu yang tepat untuk pergi dari kehidupan Pak Fadlan juga pekerjaan Sabtu Minggu sebagai penyanyi, karena sekarang sudah ada Mas Rama yang akan menjamin semuanya. “Baiklah kalau itu yang kamu mau, tapi malam ini temani saya sekali ini saja untuk bersama kamu!” Pak Fadlan ngomong dengan nada dingin. Renata tidak ada pilihan dan hanya menunggu apa yang Pak Fadlan mau darinya. Mobil sedan berhenti pada sebuah hotel dan jantung Renata berdetak melihat gelagat tidak beres dari Pak Fadlan yang berubah meminta lebih. Tiga bulan ke belakang, Sabtu dan Minggu menghabiskan waktu bersamanya terasa nyaman karena tidak ada unsur mengarah ke aktivitas yang lebih dari sekedar mendengarkan cerita, sampai kadang Pak Fadlan menangis menceritakan kondisi rumah tangganya. Menurut Renata itu hal tercengeng dan tidak semestinya dia cari pelarian dengan bercurhat di luar rumah, tapi sudahlah dia tidak bisa menghakimi karena dirinya sendiri juga tidak kalah miris kondisi kehidupannya. “Malam ini saja temani saya ya Rena, setelah ini kita akhiri semua yang pernah aku curahkan padamu! Anggap itu hanya cerita penghantar tidurmu,” Pak Fadlan menggenggam tangan Renata. Otak Renata berpikir cepat, dia bukan lagi gadis ingusan yang bisa dibodohin seperti saat ABG bersama Dito. Renata sudah tahu apa yang Pak Fadlan inginkan, adalah fisiknya. “Maaf saya tidak mau masuk ke hotel itu karena tidak perlu harus di hotel kalau Bapak mau, masih butuh bercerita apa saja tentang kehidupan Bapak dan keluarga Bapak?” “Sekali ini saja Rena, please...” Pak Fadlan mulai dengan sikap manja yang membuat Rena semakin sebal. “Maaf Pak kalau begitu saya turun saja di sini!” Renata tidak mau berkompromi lagi. Dan memilih kabur walau hujan deras mengguyur tubuhnya. Kini Pak Fadlan hanya terbengong-bengong dan baru sadar kebodohan tiga bulan ke belakang dia tidak dapat apa-apa dari Renata yang dari awal niatnya mendekati dan berpura-pura baik akan menjadikannya istri simpanan. Di tengah guyuran hujan Renata tidak merasa sedih, tapi sebaliknya, “Gila saja, dasar bandot tua! Mau ngakalin aja kerjaannya! Cari mangsa jangan yang pintar dong!”