
by Titikoma

Langit Yang Sama
Nampaknya pemandangan ini begitu mendamaikan, bias hujan menjelang senja menebar warna-warni surga. Titik airnya menguarkan petrichor[1] yang nyaman bila kita menghidunya. Hujan tak kunjung reda. Rinai air yang mengalir selaksa embusan napas kerinduannya. Di Januari ini ia menemukan cinta baru, rasa yang tumbuh begitu saja tanpa adanya pertemuan secara nyata. Yah, dia merindukan teman dunia mayanya, Vara. Gejolak hati itu terbersit di benaknya, kembali dia memaki dirinya sendiri. ‘Apa yang kamu takutkan, Am?’ “Am, dipanggil Kyai Irsyad, kayaknya beliau mau menyampaikan hal penting sama kamu,” Furqon memudarkan imaji Amri. Degg, nampaknya dia melakukan kesalahan sehingga Kyai Irsyad memanggilnya. Namun, jika diingat-ingat sepertinya dia sudah berusaha menjadi santri yang patuh selama akhir-akhir tahun dia berada di pondok pesantren Al-Ihya ini. Perasaan takut tentu saja ada, namun sebagai santri yang patuh dan bertanggung jawab, tentunya ia harus siap apa pun yang akan ia terima. “Beliau bilang gimana, Fur?” “Beliau hanya bilang, suruh kamu ke ndalem[2]-nya.” Ada perasaan gusar yang dipendamnya saat berjalan menuju ndalem Kyai yang jaraknya hanya 100 m dari kompleksnya. Miris jika dia selalu mengulangi kesalahan yang sama, mengecewakan kedua orang tuanya yang berada di seberang sana, sebuah kota di Pulau Sumatera, Bandar Lampung. Padahal dia yang dulu bersikukuh ingin menunaikan tugas sebagai santri dan merantau ke tanah Jawa. ‘Sungguh jika kali ini aku dihukum kembali atas kelalaianku, ingin rasanya aku pulang dan meminta maaf kepada Ayah-Ibu yang sudah membiayaiku hingga kini. Ya Rabb, betapa besar aku menafikan cinta dari-Mu.’ Sambil berjalan ia bermonolog dalam hati. Perlahan Amri mengetuk pintu. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam, masuk Amri.” Amri pun duduk di samping Kyai Irsyad. Ta’dzim[3]. Nampak ada wajah tegang saat ini, ia takut apabila melakukan kesalahan lagi. “Am, kamu mengerti kan dengan aturan di pondok pesantren kamu ini?” “Mengerti, Kyai.” “Lantas, mengapa sering sekali kamu melanggar? Saya pun sebenarnya sudah tidak ingin memperingatkan kamu, karena kamu sudah senior di sini. Ingatlah kamu sudah semester akhir di Al-Ghazali,” lagi-lagi Amri pun hanya diam mendengar teguran dari sang Kyai untuk kesekian kalinya. “Abah, sudahlah. Kesalahan Akhi[4] Amri juga tidak begitu fatal, ‘kan? Jangan bebani dia lagi karena skripsinya juga belum selesai,” tiba-tiba Annisa, putri Kyai Irsyad muncul di ruang tamu. “Maaf, Bah, Nisa ikut bicara. Bukan untuk membantah Abah, namun ingat janji Abah pada Nisa tiga tahun lalu?” Dada Amri sesak mendengarnya, ‘Kenapa kamu muncul di saat yang tidak tepat begini, Nis?’ Amri menggumam menautkan kelopak matanya. Ada bening yang siap menetes atas peradilan ini. “Saya berjanji Kyai, tidak akan mengulangi kesalahan yang puluhan kali saya lakukan.” “Saya harap janji ini benar-benar kamu pegang, Am. Karena jika sekali lagi kamu mengulanginya, kamu pasti tahu konsekuensi yang harus kamu tanggung.” Amri bergidik ngeri, ada sesal, namun pastinya sudah terlanjur apabila dia membela diri. Sia-sia. Sore yang begitu memesona. Langit senja masih menjadi hal menarik untuk Vara. Dalam diam ia mengguman nama Amri dalam hati, sedangkan Mita sejak tadi memperhatikannya diam-diam, mengulas senyum karena sepupunya sedang jatuh cinta. “Auw…” jari Vara tertusuk jarum sulamnya. “Kenapa, Ra? Hati-hati, kayaknya kamu kurang sehat ya, istirahat dulu gih!” “Aku harus menyelesaikannya, Ta. Tinggal beberapa bulan lagi kan Lebaran, aku ingin sorban ini menjadi kado buat Kak Amri.” “Masih enam bulan lagi, Ra. Kesehatan kamu jauh lebih penting daripada kado itu,” Mita menutup majalah yang dibacanya. “Orang yang akan menerima sorban ini lebih penting daripada aku sendiri, Ta. Kamu tahu, ‘kan, aku mencintainya.” “Oh, sudahlah. Kayaknya emang susah ngalahin kekuatan cinta kamu itu,” Mita agak kesal karena sarannya tidak digubris sedikit pun oleh Vara, yang masih teliti menyulam benang. Sementara itu hati Vara seketika gundah, ada resah yang tersirat di hati itu. ‘Kamu nggak apa-apa kan, Kak?’ Dipandangnya langit merah saga, mengulas mendung layaknya hati yang merindukan kabar dari yang terkasih. ‘Kak, pandanglah langit yang sama, aku merindukanmu. Tataplah walau sekejap.’ Vara tak mungkin mengatakan kerinduannya, dia masih malu-malu mengakuinya. Sekelebat ada bayangan Amri tersenyum ke arahnya, saat ini dia sibuk memperhatikan rintik yang turun perlahan dari balik jendela. Ceklek… Dibukanya jendela, jemarinya meraih tetesan air di hadapannya. ‘Sentuhlah air hujan yang sama, suasana hati kita akan menyatu. Kutahu kamu juga merinduiku, langit telah mengabarkannya saat ini, Lelaki Hujanku.’ Sorban yang setengah jadi itu didekapnya dengan penuh kasih. Setiap rajutan benang itu ada cinta yang tak bisa diucapkan dan dijabarkan oleh 15 13 aritmatika ataupun aljabar, apalagi logika. Ketulusan itu sebening embun pagi yang menyegarkan hari, walaupun ia akan hilang karena menguap, dia akan setia datang keesokan harinya. Begitulah cinta Vara terhadap Amri. [1] Petrichor = wangi sisa hujan. [2] Kediaman Kyai [3] Ta’dzim = hormat [4] Akhi = panggilan untuk laki-laki