
by Titikoma

Tentang Rindu
Vara tenggelam dalam tangis, dia terpaku menatap kaca di depannya. Bening, tembus pandang pemandangan di halaman depan rumahnya. Taiwan, indah dan serba mewah. Kebetulan musim semi sedang menyapa di awal kedatangannya. ‘Bagaimana kabarmu, Kak Am?’ Suara hati itu menderu dalam laju waktu yang kian mengadu rindu. Amri mulai jarang menghubunginya, Vara sudah lelah menghubungi Amri terlebih dulu tiap harinya. Tapi bukan berarti cintanya telah pergi, malah kini hatinya sangat membutuhkan perhatian Amri, dan jika bisa, dia ingin pulang hanya sekadar menemuinya. Taiwan, musim semi kala merindu hadirmu. Mungkinkah masih ada ragu di hati itu? Sebentuk hati yang kini kaujerat telah mengadu rindu pada jejak waktu. Sedang apa kamu di sana? Apa kamu mengingatku? Coretan itu ditulis pada lembar diary ungu, tangannya menggenggam erat pena berwarna biru, dibukanya lembar pertama buku diary itu. Masih sama seperti dulu, foto Amri tersimpan rapih di tiap lembar curahan hati Vara. ‘Kak, aku tak mengerti hari ini kenapa kamu beda sekali dengan harihari lalu. Apa cintamu hanyut di lautan yang memisahkan kita?’ dia bercengkerama memandang foto Amri, tak sedikit pun kedip di matanya. Berharap Amri mengerti apa yang dia inginkan, apa yang dia butuhkan saat ini. ‘Kak, dua minggu lagi aku harus dirawat, apa kakak nggak bisa luangin waktu barang satu atau dua jam buat aku?’ Lagi-lagi hati itu panas, ada cemburu yang mesti disiram dengan dinginnya air mata cinta. Sebuah kesucian hati yang dapat menjawab semuanya. Senja menjemput malam, hingga Vara terlelap di meja editornya. Masih digenggamnya pena dan diary dengan foto Amri yang masih terbuka. Semilir angin dibiarkan masuk dari jendela. Khas musim semi yang menyejukkan, ataukah rasa dingin itu kalah dengan api yang membakar hatinya? Dalam tidur pun dia masih sempat mengigau nama Amri. Pemandangan ini membuat Ibu Vara tak tega untuk membangunkan Vara. Diam-diam bersijingkat ibunya menutup tirai jendela. Di saat yang sama, Amri tengah menatap kegelapan malam dari balik jendela. Dilihatnya rimbun pepohonan yang menaungi atap pondoknya. Gelap, pekat layaknya hati itu. Ya, hatinya yang juga merindukan kehadiran kekasihnya seperti dulu. Dibukanya pesan masuk yang dibacanya siang tadi, yang tidak lain adalah dari Imran, teman lamanya yang esok akan berkunjung ke tempatnya. Send by Imran: Hey, Am. Gimana hubunganmu dengan Nela, lancar kan? Aku kangen sama kamu, oh iya apa kamu tahu kabar Vara? Aku sangat kehilangan dia, aku ingin kami kembali seperti dulu, Am. Menurutmu? Helaan napas panjang terdengar berat di malam sunyi, untuk ke sekian kali dia merasa ada yang salah dengan hatinya. ‘Ikhlas atau pertahankan, Am?’ Amri melemparkan handphone-nya ke tempat tidur. Disusul dirinya menghempas tanpa daya, sesak rasa di dada. Langit-langit kamarnya seakan mau runtuh dan seperti ada bintang yang mengelilingi kepalanya. Dia mencoba memejamkan mata, terlihat wajah Vara di pelupuk matanya. ‘Tunggu aku pulang, Sayang.’ Begitu pesan kekasihnya beberapa hari lalu masih tersimpan manis di inbox handphone-nya. ‘Vara, aku ingin kamu ada di sini.’ Lirih dia membisikkan rindu pada angin lalu, berharap ia menyampaikannya pada Vara. Maret menjelang. Siang ini hangat menyelimuti hati. Menjalar ke imajinya tentang musim kemarau. Vara kembali teringat Amri, siang menyergap rindu. Mengumpulkannya di ruangan ini. Tepatnya di hati yang hanya terukir satu nama. Amri. “Assalamu’alaikum,” suara yang telah lama dirindukan akhirnya ada waktu untuk meneleponnya. “Wa’alaikumsalam, Kak…” Vara menjawab salam itu antusias. “Lagi apa, Dik?” Degg. Vara hampir tak percaya Amri memanggilnya dengan sebutan ‘Dik’, ke mana sayang itu? “Tiduran aja Kak, mau ngedit naskah tapi masih cape, ada apa?” “Aku kangen,” Amri jujur dengan perkataannya. Ada renjana[1] yang disulamnya tiap malam menjelang, apalagi saat senja ditemani rintik hujan yang merupakan aroma khas yang sangat disukainya. “Aku juga, kangen... Kak.” “Kapan pulang? Atau aku harus menyusul ke sana?” “Aku belum bisa janji, jika aku bisa, aku pasti pulang saat ini juga,” terdengar isak khas Vara, suaranya yang manja membuat Amri semakin rindu ingin berjumpa. ‘Kamu tak tahu, aku sangat merindukanmu saat ini. Dan tak mungkin bilang, jika Imran menanyakan kabarmu. Karena aku takut akan kehilanganmu, namun jika ia lebih dapat membuatmu bahagia. Aku akan ikhlaskan cintaku, asal kamu bahagia, Vara.’ Kata hati itu meluluhlantahkan rasanya. Terombang-ambing perasaan yang tak seharusnya ada, Vara adalah perempuan yang teramat setia. ‘Apa aku harus mengembalikanmu ke masa lalumu?’ Arti persahabatan itu apa? Orang bilang mantan kekasih itu ada, sahabat abadi selamanya. Satu kalimat yang terus membayangi benaknya. “Sayang, kok diem?” “Eh, nggak apa-apa kok, aku cuma lagi mikirin skripsi yang ndak selesaiselesai... hehe...” Vara tahu Amri sedang berbohong. Hatinya yang mengatakan, ada sesuatu yang disembunyikan darinya. “Oh. Aku yakin Kakak bisa,” Vara meyakinkan kekasihnya. “Vara, aku mau tanya sesuatu.” “Iya, tanya apa?” “Jika misal ada yang mencintaimu lebih dari aku, yang lebih perhatian dari aku, apa kamu akan pergi?” Vara terdiam. Hening tiba-tiba terjadi di tengah rindu yang kian membuncah. “Aku... Aku nggak akan pergi ke mana-mana. Apa Kakak mau ninggalin aku? Aku nggak mau dengar kata ‘pisah’, aku nggak mau, Kak,” isakan itu terdengar lemah dalam suaranya yang lembut, namun terdengar tegas, desahan takut itu terngiang di ruang dengar Amri. “Bukan begitu, Sa…” Klik. Vara memutuskan telepon. Dia menangis sejadi-jadinya namun tanpa suara. Sungguh, hati itu teramat takut kehilangan kekasih yang dicintainya. Dia mematikan handphone-nya. Memilih diam dan ingin mengendalikan api yang kini membakar hatinya. ‘Kenapa kamu tanyakan hal itu, Kak? Aku takkan meninggalkanmu, apalagi berpikir menduakanmu. Akan ada waktu, ada masa di mana aku melupakanmu, dan di saat itulah nadi ini terhenti. [1] Perasaan rindu