di bawah langit al-ihya
Di Bawah Langit Al-ihya

Di Bawah Langit Al-ihya

Reads
113
Votes
0
Parts
19
Vote
by Titikoma

Rintik Cinta

Gerimis masih membasahi pelataran Pesantren, lantunan ayat suci AlQur’an terdengar menyejukkan hati. Satu bulan lagi, akan diadakan haul yang rutin dilaksanakan tiap tahunnya, dan tentu saja Amri terlibat, bahkan menjadi panitia. Saat ini Amri tengah mendata nama-nama santri yang mengikuti kegiatan khataman, tugasnya sebagai sekretaris di kompleks putra ini memang lumayan menguras waktu dan pikiran, apalagi sekarang ia resah karena perkataannya tempo hari pada Vara. Konsentrasinya agak terhambat karena rasa gelisah yang ada. Bahkan berulang kali dia mendapat teguran dari panitia lain atas kurang kedisiplinannya mengerjakan tugas. “Kamu mikirin apa sih? Aku lihat dari tadi kamu ngelamun terus, Am,” tanya Hafiz, teman sekamarnya. “Ah, nggak apa-apa, cuma agak pusing aja kok,” terpaksa Amri berdalih karena memang hanya itulah yang bisa dia lakukan saat ini. Ia berkonsentrasi kembali pada lembar data di layar monitor komputer, berusaha menepis rasa gelisah yang semakin menggelayuti hatinya. ‘Yaa Rabb, maafkan hamba karena memiliki rasa ini.’ Kembali suasana hening, karena rekan panitianya sedang mencari makanan untuk mereka lembur malam ini. Amri mengedarkan pandangannya, melihat situasi sekitar. Sepi. Kemudian ia mengeluarkan handphonenya. ‘Kenapa tidak ada satu pesan pun? Apa kamu marah sama aku, Ra?’ pikirannya melayang. Tanpa sadar ia menggumam nama Vara berulang. “Astaghfirullah, apa yang kupikirkan?” ia mengingatkan hatinya sendiri, untuk segera tersadar dari lamunan tanpa arah. Segera ia merapal Asma’ul Husna dalam hati.  ‘Sayang, kenapa pertanyaanmu begitu membuatku takut? Sepertinya ada perasaan yang tak dapat kumengerti, aku takut kehilangan. Mengertilah.’ Vara takut hujan akan menghilang dari kehidupannya, kemarau ada di depan mata. Dia telah kembali ke Indonesia, namun membawa rasa kecewa yang sangat menyiksa hatinya. “Ra, kamu kan udah balik ke Indonesia, kenapa malah sedih kayak gitu sih?” “Nggak apa-apa, Ta, aku cuma kangen aja sama Amri, udah beberapa hari ini aku diemin dia.” “Kalian berantem?” Vara mengangguk seadanya. “Masalahnya apa? Dia nyakitin kamu? Dia selingkuh?” “Ngaco, bukanlah Ta. Dia itu orang yang paling baik dan ngertiin aku, dan juga perhatian, dia itu alim, mana mungkin kayak gitu.” “Lantas, kenapa kamu diemin dia?” Vara pun menceritakan apa yang menjadi beban di hatinya. “Ya Allah, Ra… Dia itu nanya kayak gitu berarti dia itu sayang sama kamu, bukan mau lepasin kamu, dia lagi ngetes tahu nggak!” “Ngetes?” Vara bingung. “Iya, kalau kamu setia, kamu pasti jawab yang sesuai dengan keinginan dia.” “Kenapa kamu yakin gitu, Ta?” “Kamu kan bilang, dia itu baik bahkan yang paling baik, alim, dan mengerti kamu, makanya aku bisa bilang kayak gitu.” “Emmm…” “Mending kamu sekarang minta maaf ya sama dia, sebelum dia benerbener ngambek sama kamu.” Vara masih diam, beralih menuju ke kamarnya, ada foto Amri di sana.  Terpajang manis di meja kerja bersanding dengan novel-novelnya. Mengambil handphone, di sana ada foto Amri yang dijadikan wallpaper tetap di layar menu utama. Membuka menu list call di phonebook-nya, dicarinya nama ‘Am Qu’ itu nama Amri di kontak handphone-nya. Calling Am Qu… Tersambung. “Assalamu’alaikum….” “Wa’alaikumsalam,” jawab Amri di seberang sana. “Alhamdulillah, Kakak mau jawab telepon. Aku kira, Kakak marah sama aku…” “Nggak, kok, jangan bilang gitu lagi ya.” “Ya Kakak janji juga, jangan tanya kayak kemarin-kemarin lagi. Apa pun yang terjadi, aku tetap sayang sama Kakak…” suara itu terdengar berat, bening itu menetes kembali. “Kakak minta maaf lagi ya, Kakak juga nggak mau kehilangan kamu.” “Ya udah Kak, Kakak mau latihan lagi kan, jangan capek-capek ya. Jangan lupa istirahat. Assalamu’alaikum…” “Wa’alaikumsalam,” klik. Vara merasa bersalah dengan semua prasangka dan rasa cemburunya yang mengira Amri tak lagi menyayanginya. Terkadang cemburu membuat orang tertutup mata hatinya. Dan membuat apa yang di hadapannya itu salah di matanya. Mulai sekarang, dia pun berjanji akan belajar mengendalikan rasa cemburu, dan juga belajar khusnudzan[1] terhadap siapa saja. Jam menunjukkan pukul 8 malam. Hujan merintik di luar sana, angin membelai rambutnya yang dibiarkan tergerai lepas. Kling kling… From: Am Qu Tenang sayang, setelah wisuda, aku akan menemuimu. Mimpi indah ya, jangan khawatirkan apa yang belum terjadi, percayakan hujan akan selalu datang saat kamu membutuhkannya.  Senyum simpul terulas sempurna di lengkung bibir merah muda itu. Vara mulai memejamkan mata berharap bertemu dengan Amri secepatnya, walau dalam mimpi. ‘Aku pasti menunggumu’ gumamnya, dipeluknya erat foto Amri.  “Ra… Vara…” terdengar suara teriakan Mita dari arah teras rumah Vara. “Iya, Ta, bentar…” “Ada kiriman paket buat kamu, Ra.” Dengan sedikit berlari, Vara menghampiri Mita di teras rumahnya. “Hah, dari Imran?” Mita merasa terkejut dengan nama pengirim paket yang dibawanya. “Kenapa, Ta? Dari siapa?” “Ini lihat,” Mita menyerahkan paket untuk Vara, kotak warna cokelat bertuliskan nama Imran Hidayatullah di nama pengirim paket tersebut. “Imran?” Vara menatap Mita, tertegun. Segera ia masuk menarik tangan Mita untuk ikut serta ke kamarnya. “Boneka?” Ada surat di sana dengan amplop warna ungu, warna kesayangan Vara. Bertuliskan ‘Teruntuk mantan kekasihku yang tercinta.’ Vara menahan napas membaca lima kata yang tertulis manis tersebut. Bismillahirahmanirahiiim. . . Bagaimana kabarmu? Surat ini untukmu. Inilah aku manusia yang sangat lemah dengan segala kelemahan ini berharap hanya Allah yang selalu menolongku. Inilah aku yang mencoba menggapai mimpi mesti dengan tertatih mendapatkannya. Inilah aku yang hidup dalam kesendirian. Inilah aku yang hidup kian senja. Inilah aku dalam pagiku berdoa pada Allah lapangkanlah rizqiku hari ini, mudahkanlah segala urusanku.. Betapa dilemanya hidup ini, tapi ini semua harus dijalani. Berat ketika harus maju. Berat ketika harus melangkah. Kalau memang tidak setia maka akulah orangnya. Kalau memang ada kata munafik, diri inilah orang yang paling munafik. Aku sadar, kau boleh membenciku. Maafkan aku. Aku hanya ingin memberikan kado yang terindah dalam hidupku, dalam hidupmu. Aku ada dan akan selalu ada, selama napas ini berhembus meski  dalam kesakitanku. Aku ada dan selalu ada, meskipun jarak yang akan memisahkan kita. Maafin aku ya... Aku inget ketika awal-awal kita berjuang bersama. Kamu ada di masa-masa sulitku. Kamu luar biasa. Mengerti diri ini, mengerti tugas ini. Hingga keringat kamu harus cucurkan. Selama 2 tahun itu kamu ada. Menemani amanah ini. Kamu itu orang yang terlalu sulit aku lupakan. Kamu itu selalu membuatku tersenyum. Meskipun hatiku menangis dan kamu selalu ada di belakangku. Kamu selalu ada di pundakku yang lemah ini.. Maafkan aku, pengorbanan, pengertian sudah kamu berikan. Aku sadar aku yang salah karena aku tak bisa memilihmu atau dirinya. Namun, mengertilah ,aku sangat mencintaimu. Kini aku telah melepaskannya. Kamu tahu, aku akan lakukan apa pun demi orang yang aku cintai, kamu tahu hatiku bukan? Aku inginkan kita kembali seperti dulu. Salam cinta Imran Hidayatullah Dengan mata berkaca-kaca diremasnya surat itu, dan dibuangnya ke tempat sampah kamarnya. “Bagaimana ini bisa terjadi, Ta? Imran minta kembali sama aku,” Vara memeluk Mita, menyandarkan seluruh kesahnya yang mendalam, beban hati itu jelas terpagut di raut wajah Vara. “Kamu mencintai Amri, kan?” Vara mengangguk. “Lalu apa yang kamu takutkan? Jawablah surat itu dan katakan kamu nggak bisa kembali karena kamu sudah memiliki kekasih, jangan kecewakan Amri yang benar-benar tulus denganmu.” Sesungguhnya setelah sulit itu ada kemudahan, ‘Apa ini masa sulitku ya Rabbi? Mengapa ia kembali di saat aku sudah memiliki Amri?’ Vara menangis di hatinya, bercengkerama dengan naluri serta intuisi. Berharap dia temukan jawaban serta obat untuk sesak yang ia rasakan atas situasi ini. [1] Berprasangka baik.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices