di bawah langit al-ihya
Di Bawah Langit Al-ihya

Di Bawah Langit Al-ihya

Reads
107
Votes
0
Parts
19
Vote
by Titikoma

Berlalu Atau Berlabuh?

“Sebuah keraguan dan ketidakmampuan bertemu.” Ini tentang cinta sejati, ini tentang cinta yang penuh dengan ujian dan harapan dari kedua insan yang tengah menyatukan hati walau belum pernah bertatap muka secara langsung, hanya lewat tulisan dan juga suara. Amri teringat dengan novel ‘Ketika Cinta Bertasbih’ karangan penulis megabestseller Asia Tenggara; Habiburrahman El-Shirazy, di mana Fadhil harus merelakan Tiara untuk sahabatnya sendiri, apa itu juga yang harus ia lakukan untuk Imran, sahabatnya. Ketika Fadhil dengan ikhlas melepaskan yang dicintainya, meski dirinya pun tahu perasaan Tiara juga teramat mendalam, apa itu juga yang harus dilakukan atas cinta Vara terhadapnya? Vara tak bersalah atas perasaannya, karena cinta takkan pernah salah, bukan cinta yang membuat satu rencana, tetapi Allah yang telah mengaturnya. Allah Allah Allahu Rabbi Aku cinta dirimu wahai bidadari Tapi aku lebih cinta Tuhanku, Ilahi, Rabbi Amri menyukai kalimat dari penggalan lagu ini, sebuah keikhlasan yang teramat sulit dia lakukan, ia takut menyakiti Vara. ‘Aku mencintaimu, tapi Imran sahabatku.’ “Assalamu’alaikum…” “Wa’alaikumsalam,” Amri agak terkejut oleh salam yang tiba-tiba itu. “Sepertinya kamu sedang bingung, Am?” Ustadz Nur Cholis menegur Amri yang sedang merenung di depan Masjid Al-Ihya. “Ustadz, Am sedang memikirkan materi untuk buletin Inspirasi besok,” Amri berusaha mengelabuhi Ustadznya. Mendengar itu, Ustadz Nur Cholis hanya tersenyum kemudian menepuk bahu Amri dan merangkulnya. “Sejak kapan Amri pintar berbohong sama Ustadznya?” “Maksud Ustadz?”  “Apa kamu ingat, Am? Dulu waktu kamu melakukan kesalahan, melanggar aturan pondok kali terakhir, saya sendiri yang waktu itu menghukummu, kan? Yang dengan tegas kamu memilih hukumanmu sendiri, membersihkan seluruh kamar mandi putra?” “Am masih belum mengerti, Ustadz?” “Amri yang saya kenal itu adalah pribadi yang jujur dan apa adanya, mengapa kamu berbohong dengan orang yang kamu anggap ayahmu sendiri, Am?” Amri tersipu malu, dan membenarkan lengan bajunya. Tanda ia salah tingkah. “Ada yang Amri pikirkan, tentang seseorang yang Amri cintai di luar pondok ini, jauh, Ustadz.” “Astaghfirullah.” “Maaf Ustadz, tapi Amri sedang berusaha jujur.” “Bukan salahmu jika cinta itu ada di hatimu, siapa nama gadis itu, Am? Boleh saya tahu?” “Namanya Vara Isnaini Fauziah, Ustadz. Dia teman Am yang ada di Blora, tapi kami sama sekali belum pernah bertemu.” “Loh, kamu juga sama toh kayak saya dulu?” Ustadz Nur Cholis merasa heran, karena apa yang dialaminya sama persis seperti apa yang dia alami. “Sama dalam hal apa, Tadz?” “Dulu saya mencintai seorang gadis yang berasal dari Kebumen, kami ya sama sepertimu saat ini, setiap rindu kami hanya bisa berkirim surat, sampai suatu ketika dia dijodohkan oleh orang tuanya…” “Lalu Ustadz?” Nampak Amri antusias mendengarkan kisah ustadznya, yang kurang lebih sama, namun soal perjodohan itu, Amri sedikit bergidik ngeri jika itu benar-benar terjadi padanya dan juga Vara. Kini ia sangat takut untuk melukai Vara. “Saya tidak bisa apa-apa, Am. Pasrahkan saja sama Allah, itulah kesalahan  terbesar yang saya ingat sampai saat ini. Sekarang saya tidak tahu kabarnya lagi.” “Ustadz selalu berkata, semua urusanmu telah diatur oleh Allah, ‘kan? Apa Ustadz sedang menyalahkan takdir-Nya?” Mendengar perkataan ini, ustadz Nur Cholis hanya bisa menahan tawa, sungguh Amri sangat polos dan lugu. “Apa yang akan dilakukan jika semuanya sudah terlanjur, Am? Saya tidak sedang menyalahkan takdir, namun ini adalah pelajaran kamu, apabila kamu sangat mencintainya dan yakin dia diciptakan dari tulang rusukmu, maka pertahankanlah dia semampumu, berusahalah dalam hal apa pun, baik itu cinta ataupun cita-cita.” Amri masih menyimak nasihat Ustadz Nur Cholis. “Paling tidak, jaga kepercayaannya untuk menunggu, buatlah dia yakin, jangan sia-siakan kepercayaannya itu, jaga pula hatimu.” “Tapi, ada yang mencintainya, Ustadz…” “Apa kamu yakin yang mencintainya itu dapat menjaga gadis yang kamu cintai? Siapa dia?” Amri menggeleng. “Mantan kekasihnya, Tadz. Namanya Imran, dia telah meninggalkan Vara dan menyakitinya, sampai akhirnya Am datang dan berhasil membuatnya semangat lagi.” “Lalu, apa masalahnya?” “Antara teman dan kekasih, Imran adalah teman bahkan sahabat Amri, Ustadz. Apa ada yang namanya mantan sahabat?” “Pilihlah sesuai hatimu, ketahuilah wanita itu lebih setia dan kuat pendiriannya, mereka akan selalu mengingat semua kebaikan laki-laki yang dicintainya, dan juga sama saja, mereka tidak akan pernah lupa, apabila mereka disakiti. Pertahankan cintamu, Am. Jangan sampai menyesal di akhirnya.” Amri masih merenunginya. Terdiam dalam bisu, padahal di dalam hati itu ada ribuan pertanyaan akan masa depan, dan tentang apa yang akan terjadi esok. 35 33 “Sudahlah Am, jangan melamun seperti itu. Sekarang sudah masuk waktu asar, salatlah. Tenangkan hatimu. Saya mau siap-siap dulu, Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam, Ustadz.” Amri terdiam. “Ustadz!” Amri sedikit berteriak. Ustadz Nur Cholis pun menoleh ke arahnya. “Ada apa lagi, Am...?” “Kapan-kapan boleh ngobrol lagi ya, Tadz, tentang yang tadi?” “Bisa saja. Jika ada waktu, mainlah ke tempatku. Kamu pasti tahu, kamu harus ke mana.” Amri tak menjawab, hanya memberikan senyuman tanda ia mengerti dan menyetujui. Kemudian segera mengambil air wudu dan menjalankan salat asar berjamaah. Dalam hatinya ada keinginan yang lebih untuk meminang Vara, menjadikannya satu-satunya bidadari yang ia tempatkan di singgasana cintanya. Suatu saat, suatu waktu, suatu masa, jawaban itu akan didapatnya bersama tafsir kuasa-Nya. Takdir-Nya sedang berjalan dan takdir itu adalah berlabuh di hati gadis Blora. ‘Sayang, aku akan menemuimu. Bersabarlah.’ Ia menggumam di bawah langit biru yang sebentar lagi berubah menjadi merah keemasan karena senja menjelang, lengkap dengan senyum di bibirnya ia kembali ke kamarnya. ‘Ini kehendak-Mu, yaa Rabbi. Izinkan aku menyimpan rasa ini’ Langkah kakinya mengharap sebuah rindu yang bertaut antara waktu yang kian bergulir, berharap lekas ia wisuda. Dirasakannya gerimis mengiringi langkahnya, ‘Ah, hujan selalu mengerti bila aku sedang merindukannya’ Ia menatap lazuardi yang membentang. Terbias cahaya jingga yang terbatasi garis cakrawala.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices