di bawah langit al-ihya
Di Bawah Langit Al-ihya

Di Bawah Langit Al-ihya

Reads
114
Votes
0
Parts
19
Vote
by Titikoma

Pesinggahan Suci

Sekilas tentang Pondok Pesantren Al-Ihya Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin berlokasi di Desa Kesugihan Kidul, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, di atas areal tanah seluas 4 Ha. Kehadiran Pondok Pesantren ini dilandasi dengan semangat keagamaan untuk berdakwah yang bertujuan ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang ditindas oleh penjajah Belanda pada saat itu. Tepatnya 24 November 1925/1344 H, seorang tokoh ulama bernama KH. Badawi Hanafi mendirikan pondok pesantren di desa Kesugihan, ia memanfaatkan mushola peninggalan ayahnya, yakni KH. Fadil untuk mengawali perintisan pesantren. Mushola atau langgar tersebut dikenal dengan nama “Langgar Duwur”[1]. Pada awalnya, pondok pesantren ini dikenal dengan nama “Pondok Pesantren Kesugihan”. Pada tahun 1961, pondok pesantren ini berubah nama menjadi Pendidikan dan Pengajaran Agama Islam (PPAI); kemudian tahun 1983, namanya diubah menjadi “Pondok Pesantren AlIhya ‘Ulumaddin”. Perubahan nama dilakukan oleh KH. Mustolih Badawi, Putra KH. Badawi Hanafi. Perubahan itu dilakukan untuk mengenang almarhum ayahnya yang sangat mengagumi karya monumental Imam Al-Ghazali, yakni kitab Ihya’ ‘Ulumaddin, tentang pembaharuan Islam. PP. Al-Ihya ‘Ulumaddin, secara ekonomi berada pada masyarakat plural (beragam) yang terdiri dari nelayan, pedagang, petani, wiraswasta, dan pegawai negeri. Dari segi geografis, lokasi pesantren dekat dengan pusat Kota Cilacap. Kondisi ini sedikit banyak memengaruhi proses perkembangan pesantren dalam upaya menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur tradisi keagamaan. Keseimbangan tersebut dapat tercipta karena masih adanya pengaruh kharismatik para kyai di wilayah Kesugihan, yang kemudian identik dengan kota santri. Letak geografis semacam itu, memberikan inspirasi PP. Al-Ihya ‘Ulumaddin dalam ikut memberdayakan masyarakat sekitar, cenderung menggunakan pendekatan agraris dan kelautan. Hal ini dimaksudkan agar kehadiran pesantren lebih nyata dalam memainkan peran sebagai agen perubahan (agent of change). Dan di sanalah Amri menuntut ilmu, dia telah berada di semester terakhir yang berarti masa pertanggungjawaban atas semua pembelajaran serta  pembekalan materi harus segera dituntaskan. Target selanjutnya ialah skripsi. Sekarang adalah bulan April, bulan ini di Pondok Pesantren Al-Ihya akan diadakan Haul pondok ke-55, dan Ulang Tahun Pondok Pesantren Al-Ihya yang ke-89. Amri sendiri pun tentu saja ikut terlibat sebagai panitia Haul. Manual Acara Haul Tahun 2014 

Kamis, 24 April 2014 

08.00 Bahtsul Masail Tahunan ke VI Putra Ponpes se-Karesidenan Banyumas 

dan Workshop UNU Al Ghazali Cilacap 

19.30 Pembacaan Shalawat Simtuddura 

Jumat, 25 April 2014 

08.00 Bahtsul Masail Tahunan ke III Putri Ponpes se-Karesidenan Banyumas dan Pendadaran Khatmil Quran Bil Ghaib 

Sabtu, 26 April 2014 

08.00 Sema’an Al Quran 55 Majelis dan Sosialisasi Undang Undang De 

11.00 Pertemuan keluarga dan ziarah keluarga 

19.00 Rapat dan silaturrahim Alumni dan Khataman Juz ‘Amma Bil Ghaib, 30 

Juz Al Quran bin Nadzri dan bil Ghaib 

21.00 Tahlil Akbar dan Pengajian Haul ke 55 Simbah KH. Badawi hanafi dan Masyayikh Ma’had 

Ahad Legi, 27 April 2014 

07.30 Rapat Wali Santri 

09.30 Pengajian Ziarah Kubur oleh KH Chaudil ‘Ulum (Bendo, Pare)  

11.00 Ziarah Kubur 

13.00 Pidato pengarahan pejabat Negara 

14.00 Pertemuan Ikhwan Thariqah dan Pawai Taaruf 

16.00 Khitan Masal 

19.00 Khataman Kitab Niat Ingsun Ngaji, Imrithi, Alfiyyah I.M. 

21.00 Pengajian dalam rangka Ultah Ponpes ke 89 oleh KH. Said Aqil Siradj, MA Itu adalah susunan acara yang sedang diketik Amri di lembar undangan online. Dia berharap Vara bisa datang dalam acara tersebut. “Kamu lagi mikirin apa? Udah selesai ngetiknya?” “Eh, Fiz… nggak, aku cuma kepikiran ngundang Vara datang ke sini.” “Coba saja, itu pun jika orang tuanya mengizinkan, anak perempuan Jawa itu nggak boleh menemui laki-lakinya terlebih dulu.” Kembali harapan itu pupus, namun masih yakin di dalam hatinya akan menemui Vara setelah ia wisuda nanti. Ini janjinya dan ketentuan-Nya, yang tidak bisa dilanggar. “Aku hanya ingin bertemu dengannya…” Amri tak mendapat jawaban apa pun, Hafiz berlalu meninggalkannya. Tatapannya masih tertuju pada layar laptop Acer dengan lembar kerja Microsoft Word, tugas selanjutnya editing naskah Ihya Magazine edisi Ulang Tahun pesantren.  Sabtu, 26 April 2014 Jam menunjukkan pukul 14.00 WIB, Cilacap sungguh panas siang ini. Waktu istirahat digunakan Amri untuk melakukan latihan akhir di Perpustakaan Dar Al-Hikmah untuk acara pentingnya nanti malam. Khataman Juz ‘Amma Bil Ghaib, 30 Juz Al Quran bin Nadzri dan bil Ghaib, menurut jadwal haul pondok yang akan dilaksanakan nanti malam pukul 19.00 WIB. “Ternyata Akhi Amri sekarang jauh lebih rajin, ya?” Mendengarnya tentu konsentrasi Amri buyar. Annisa, putri Kyai Irsyad ada di hadapannya. Amri membalas dengan senyuman. “Assalamu’alaikum, Ning.” “Wa’alaikumsalam.” “Ada yang mau dibicarakan, Ning?” jantung Amri berdegub cepat. “Nggak ada kok, cuma kebetulan ke perpustakaan dan ketemu Akhi di sini, jika mengganggu aku bisa pergi,” Annisa beranjak hendak meninggalkan kursinya. “Tunggu…” kata-katanya terhenti. “Bagaimana bisa saya mengusir putri Kyai?” Annisa tertawa mendengar kata-kata Amri yang teramat lugu. “Kenapa pindah ke sini lagi? Bukannya di IAIN itu adalah impian Ukhti sejak di Aliyah?” “Di sana, mungkin bukan tempat saya, semua terasa asing. Jadi saya memutuskan kembali ke Al-Ghazali, menemui impian,” mata itu jelas tertuju pada Amri. Tajam. “Impian?” “Ya, ada seseorang yang sangat berarti dan seseorang itu adalah Akhi Amri.” Degg, seperti tersambar petir hati itu mendengar namanya disebut. “Apa maksud Ukhti?”  “Saya mempunyai perasaan yang lebih dari sekadar sahabat terhadap Akhi, apa ini kedengarannya aneh?” “Astaghfirullah, katakan ini semua bohong dan hanya mimpi,” keringat dingin seketika menyergap wajah itu. “Apa Akhi marah sama saya?” “Bukan Ning, bukan begitu. Namun Ning Annisa tahu sendiri saya hanya santri di sini, dan masa pembelajaran saya belumlah usai, saya belum terpikir untuk hal semacam itu,” Amri terpaksa berdalih, dia teringat Vara yang ada di Blora, bukankah Vara telah menanti kedatangannya setelah wisuda nanti? ‘Tuhan, katakan ini hanya badai yang pasti berlalu. Maafkan hamba-Mu sedang berbohong, karena hamba tak bisa membiarkannya mencintai hamba. Ada seorang wanita yang cintanya teramat luas melebihi samudera, yang sayangnya teramat besar melebihi dunia, sungguh aku tak bisa menyakitinya.’ ‘Aku pasti menunggumu pulang, Mas.’ Kata-kata Vara masih terngiang jelas di ruang dengarnya. “Apa ada seseorang di sana?” Annisa menyelidik ke dalam mata itu, ke kedalaman jiwa dan mencari ruang kebohongan. Amri sekejap memejamkan matanya, “Bukan itu, Ning. Maafkan saya,” tanpa mengucap salam, Amri segera meninggalkan perpustakaan. Tentu saja Annisa merasa kesal karena ditinggalkan begitu saja oleh impiannya. Tak ada alasan dia kembali ke tempatnya sekarang berpijak, selain Amri. Tanpa tahu ada sepasang mata yang sedang memperhatikannya, Hafiz. Sungguh, cemburu sedang menggelayuti hatinya. Udara semakin panas, suhu semakin naik oleh panasnya api cinta. [1] Dikenal langgar duwur karena Mushola (langgar dalam bahasa jawa) tersebut menggunakan konstruksi panggung.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices