di bawah langit al-ihya
Di Bawah Langit Al-ihya

Di Bawah Langit Al-ihya

Reads
105
Votes
0
Parts
19
Vote
by Titikoma

Senja Diteluk Penyu

 “Setidaknya Allah masih menaungi kalian dengan langit yang sama, dan menatap matahari yang sama juga, ‘kan, Am?” “Bukan soal itu, Fiz. Aku hanya sedang memikirkan apa yang harus kulakukan. Tak mungkin menunggu lama,” Hafiz menghela napas dalamdalam, sedang Amri hanya menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Tak ada kata ‘lama’ bagi cinta, saatnya nanti akan tiba dan akan lebih indah dari yang kamu kira.” Al-Ihya Ulumaddin masih lengang, hanya suara dedaunan yang berserak tertiup angin. Fajar menyepuh rindu. ‘Kuharap angin selalu berpihak padaku, dan bukan untuk kulawan namun kujadikan teman.’ “Kamu menolak Annisa untuk Vara, kan?” “Maksudnya apa, Fiz?” ia hanya bisa menatap tajam ke arah teman sekamarnya yang terlihat serius kali ini. “Aku melihatmu di perpustakaan dengan Annisa tempo hari, dia menyatakan perasaannya padamu, dan kamu berdalih ingin berkonsentrasi dengan kuliahmu, dari sini aku tenang, tapi melihatmu seperti ini, aku ragu dengan kesetiaanmu.” Serasa ada belati yang terselip dari kata-kata manisnya. Amri menepuk pundak sahabatnya, lalu memeluknya. “Tenang saja, aku masih setia sampai kapan pun dengan Vara.” Cinta mungkin obat bagiku, tapi dalam waktu bersamaan ia bisa saja menjadi racun yang mematikan sendi-sendi kehidupan. Sebagaimana Romeo menganggap Juliet adalah nyawa baginya, seperti itu pula aku memperlakukanmu. Kamu yang membuatku jatuh cinta pada hujan, kamu juga yang memaksa hati itu untuk membencinya.  Semburat jingga menyapanya, gemuruh ombak terdengar membahana, sore menjelang. Amri masih berdiri tegap menatap langit merah saga, menghampar samudera yang luasnya tak terkira. Ia sedang menunggu Imran yang ingin menemuinya, ini ke sekian kali ia melanggar aturan pondok, keluar bukan pada jamnya. Ah sudahlah, pesantren masih sepi karena sebagian santri ikut acara ziarah Walisongo. Tiba-tiba bayangan Vara mengusiknya, ‘Apa kamu mau menyerahkanku ke masa laluku lagi, Kak? Demi Allah, aku tak ingin jauh darimu.’ Seketika Amri menutup matanya. “Hei, Am…” “Eh iya, Im…” “Ada apa, kok kayaknya kamu terkejut melihatku? Apa yang sedang kamu pikirkan?” “Rasanya aku sedikit jenuh aja, Im. Kamu tahu kan aku sudah berapa lama di pondok?” “Emm, ya aku tahu itu, aku ke sini mau minta pendapatmu, Am. Aku mau melamar Vara.” Duaaar… percikan api seketika terbias di mata Amri. “Me-la-mar Vara?” “Iya, kenapa kamu terkejut begitu? Apa ideku terlalu luar biasa? Aku sadar Am, dia adalah wanita yang teramat setia pada satu cinta. Dan kesalahanku, adalah menyia-nyiakannya dulu…” Amri tergugu, badannya menggigil kedinginan, sepertinya angin pantai ini mulai mengusiknya untuk segera kembali ke pondok. ‘Katakan aku milikmu, Sayang.’ Sekelebat bayangan Vara kembali muncul memenuhi benaknya. “Kapan kamu akan melamarnya?” “Secepatnya, mungkin setelah aku menemuinya dulu bulan depan atau minggu depan.” “Oh…”  “Doakan aku ya, agar dia menerimaku nanti, dan juga keluarganya.” Amri tersenyum, “Dia pasti menerimamu, dia mungkin masih mencintaimu. Asal kamu tulus mencintai dia, apa kamu serius?” “Apa kamu melihat sahabatmu ini sedang berpura-pura, Am?” Amri menunduk dan menggeleng. “Imran…” “Ya, Am… Kenapa?” “Jaga dia ya, jangan kecewakan ia lagi, aku mau titip sesuatu untuk dia, dulu pernah dia minta kado, tapi belum sempat aku kirim, kamu mau kan menyampaikannya, Sobat?” “Tentu Am, apa itu?” “Tunggu aku di sini ya, sebentar aku akan kembali!” Dia pun pamit pulang ke pondoknya. Langkahnya gontai, menapak bumi dengan lunglai, selayu hati itu. Haruskah ia yang mundur dari hubungan ini? Bukankah hati Vara telah memilihnya, bukan Imran? Segala rasa berkecamuk dalam dadanya, sesak ia rasakan, ada bening yang hampir jatuh namun ditahannya. Dalam perjalanannya ia berharap segera terbangun dari mimpi buruk ini, jarak pondok dan pantai lumayan dekat, namun serasa begitu jauh baginya. Kakinya terasa berat untuk melangkah, sesekali ia menengok ke belakang, memastikan Imran masih ada di sana menunggunya. Lima belas menit, ia sampai di pondok dan masuk ke kamarnya. Dicarinya liontin hati bertuliskan namanya dan Vara. Meletakkannya di kotak persegi, menulis surat sekadarnya dan membungkusnya rapi memakai kertas kado warna ungu. ‘Jaga hatiku dan hatimu, Sayang. Maafkan aku.’ Hatinya menggumam. Hafiz yang sedari tadi memperhatikan Amri pun bingung dengan sahabatnya. “Mau ke mana lagi, Am?” “Aku, ingin menyerahkan cintaku, Fiz. Mungkin dia akan lebih bahagia, sebentar lagi Vara akan dilamar sama Imran, sahabatku sendiri.”  “Hah? Apa kamu bilang? Kamu merelakan kekasihmu untuk yang belum tentu mencintainya secara tulus? Kamu bercanda?” Lagi-lagi Amri menggeleng tanpa daya. Rasanya untuk berdiri pun ia tak sanggup, apalagi untuk mengatakan Vara adalah kekasihnya pada Imran. “Fiz, aku mau minta tolong, berikan kado ini pada Imran ya, aku nggak kuat kalau disuruh bertemu dia lagi, aku nggak sanggup.” “Dia ada di mana? Ini isinya apa?” “Di pantai, aku suruh dia menunggu, ini liontin namaku dan Vara yang rencananya akan aku bawa nanti jika menemuinya. Namun sepertinya aku takkan bisa menemuinya lagi, dia nantinya mungkin sudah menjadi milik Imran.” Hafiz pun geleng-geleng melihat teman sekamarnya, dia tahu benar Amri sangat mencintai Vara. Amri menolak cinta Annisa demi mempertahankan Vara dalam hatinya, lalu apa yang Amri lakukan sekarang? Pertanyaan demi pertanyaan membayangi benak Hafiz dalam perjalanannya.  Ini adalah cinta yang rumit, bahkan lebih rumit dari logaritma. “Imran, kan?” “Iya benar, siapa ya?” “Aku Hafiz, teman sekamarnya Amri. Dia kepalanya pusing, dia minta maaf menyuruhku menyampaikan ini, untuk Vara katanya.” Imran menerima kotak kecil dibungkus kertas kado warna ungu. “Apa kamu benar-benar tidak peka, Im?” “Maksud kamu?” “Apa kamu tidak membaca air mata kehilangan di wajah Amri? Dan membiarkannya mengorbankan hidupnya serta masa depannya untukmu?” “Maksud kamu apa? Aku sama sekali tidak mengerti,” “Vara adalah kekasih Amri, saat ini…” Gemuruh ombak berdebur menghantam terdam. Begitu juga hati yang telah terpagut pada cinta Vara, kini hancur. “Katakan, kamu hanya bercanda! Iya kan!?” “Aku hanya memberimu berita yang benar saudaraku, jangan pisahkan mereka dengan ikatan tanpa keikhlasan dari pihak wanita. Vara sangat mencintai Amri, pun sebaliknya.” Imran terdiam tanpa kata, semua kalimatnya telah tersapu badai yang baru saja memporakporandakan hatinya. Vara jua telah hilang, gelap terasa. “Berikan kado itu pada Vara, jika kamu masih mau melamar Vara, aku tak bisa melarangnya. Assalamu’alaikum.” Hafiz berjalan meninggalkan Imran. Sedang ia sendiri pun masih berdiri di tengah deru ombak, menggenggam kotak kado untuk Vara. “Bagaimana aku bisa tak mengetahui hal ini? Bagaimana bisa aku tak peka terhadap perasaan Amri pada Vara, harusnya aku bisa melihat api  cemburu di mata itu. Am, kamu terlalu rapi menyimpan perasaanmu. Maaf, aku tak bermaksud melukaimu dan juga merebutnya.” Imran berdiskusi bersama ombak, laut, dan langit. Dirasakannya badannya menggigil kedinginan. Di bawah langit Al-Ihya, langit di mana cinta Amri yang sempurna untuk Vara, ia bersumpah demi persahabatan mereka. “Aku tak akan merebut apa pun yang menjadi hakmu, Am. Aku akan sampaikan ini pada Vara. Dan takkan merebutnya, aku akan mengembalikannya padamu, ketahuilah hati Vara hanya untukmu, Am. Tak akan ada yang memisahkan kalian, sekali pun itu, aku. Aku berjanji!” Suaranya menggema di tengah lautan lepas. Keras dan tegas. Disaksikan senja, dan langit. Demi Allah. “Aku berjanji Am!”


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices