di bawah langit al-ihya
Di Bawah Langit Al-ihya

Di Bawah Langit Al-ihya

Reads
112
Votes
0
Parts
19
Vote
by Titikoma

Ramalan Vs Takdir

Hujan menyapa Amri pagi ini, subuh menyentuh kalbu itu. Bersegera ia menuju Masjid Al-Ihya untuk melaksanakan salat berjamaah. Pagi ini sungguh berbeda, dingin menjalari hatinya entah apa nama rasa itu, namun ia merasakan tubuhnya menggigil akan ada sesuatu yang terjadi. “Amri, nanti menghadap Kyai Irsyad, ya. Ada sesuatu yang ingin beliau bicarakan,” Fachri memberitahunya. Kembali dada itu bergetar, ‘Ada apa?’ pertanyaan itu langsung ada di benaknya. Seusai salat subuh, Amri memutuskan untuk menemui Kyai Irsyad. “Kyai memanggil saya?” “Iya, saya lagi-lagi harus bersabar sama kamu, Am. Kamu ingat kan, saat beberapa bulan lalu saya memanggil kamu?” Amri hanya mengangguk. “Sekarang, saya tidak akan memberi tahu apa kesalahan kamu, namun kamu sendiri yang harus sadar. Ingat, kamu sudah senior, Am. sebentar lagi masa pendidikan kamu selesai. Wisuda, kamu mau wisuda tahun ini bukan?” Ia bertanya pada hatinya, ‘Apa salahku?’ “Amri benar-benar tidak tahu, Kyai. Apa kesalahan saya?” “Ada tiga kesalahan kamu, pertama kamu belum juga mengerjakan skripsi kamu, kapan Amri? Kedua, ada yang lapor sama saya, kamu malammalam telepon seseorang, dan itu bukan muhrim kamu, apa itu yang namanya ingat peraturan pondok? Ketiga, kamu lagi-lagi keluar pondok di saat yang salah.” Amri tertegun memikirkan semua kesalahannya, yang paling parah dari semua kesalahannya adalah yang kedua. Tapi, bagaimana bisa Kyai mengetahuinya? Ada seseorang yang bilang? Pertanyaan demi pertanyaan menghantui benaknya, siapa, bagaimana, dan apa maksudnya? “Sekarang, sebagai hukuman kesalahan kamu itu, mulai besok pagi kamu  harus menyerahkan handphone kamu selama satu minggu dan kamu harus membersihkan serta menjaga masjid selama satu minggu pula. Setelah satu minggu itu, saya akan mengembalikan handphone dan kamu boleh melaksanakan kegiatan pondok seperti biasa.” Amri salah satu pengurus kompleks yang paling banyak memberikan toleransi pada teman-temannya. Apalagi teman sekamarnya, tapi mengapa balasannya sesakit ini? Pikirannya melayang jauh entah ke mana. “Amri!” Satu seruan itu diterima dengan lapang dada. “Iya Kyai, paham.” Ia pamit undur diri, rasanya udara di ruang tamu Kyai Irsyad sangatlah pengap. Sungguh, ia ingin menangis. Siapa yang melaporkannya? Padahal hanya Hafiz yang mengetahui hubungannya dengan Vara. Rasanya tidak mungkin Hafiz yang melaporkannya. Mungkin ini teguran dari-Nya, karena ia telah menduakan-Nya.  “Aku nggak percaya dengan apa yang kamu katakan,” Ujar Vara pada temannya yang baru saja meramal masa depannya. “Terserah, tapi apa yang aku omongin ke kamu tadi akan terjadi, kamu mau nyalahin aku? Nggak bisa, takdir kamu udah tertulis, Ra.” “Eh denger ya, kamu itu orang yang baru saja aku kenal, itu pun hanya via inbox Facebook saja. Jadi jangan campurin masalah pribadi aku! Kalau pun yang kamu bilang itu benar, biarkan takdir yang menjawabnya sendiri. Kamu nggak usah repot-repot bilang sekarang.” “Kamu akan putus sama dia, karena dia tidak mencintai kamu, dia punya cewek lain.” “Apalagi tuduhanmu itu, itu nggak mungkin, Son, dia itu anak pondok dan setahu aku dia selalu jujur sama aku. Nggak mungkin!” “Aku baca masa depan kamu, begitu. Tapi … tapi dia akan kembali sama kamu jika dia sudah mapan nantinya, dia akan putusin ceweknya itu dan kembali sama kamu.” “Aku nggak percaya!” Klik! Vara memutuskan line telepon orang yang menghubunginya. Sony, temannya yang ada di Jakarta, ia mengaku punya indra keenam dan apa pun yang ia lihat akan jadi kenyataan. ‘Aku nggak percaya, selama ini aku sama Kak Amri baik-baik saja. Nggak pernah bertengkar, apalagi marahan yang berujung diam. Walau aku yang sering sensi, tapi Kak Amri selalu memahami aku.’ ujarnya pada malam paling dingin. Ada sedikit perasaan lega dalam hati itu, saat membaca ulang semua sms Amri yang ia jadikan draft tetap di inbox-nya. ‘Allah akan menjaga hati kita, Kak. Yaa Rabb, jangan jadikan ketakutan ini menjadi semakin besar, sungguh aku tak ingin kehilangannya.’ Sementara itu, di Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin – Kompleks Sabilul Hidayah, Kamar Biru. Amri sendiri masih terjaga, teman-temannya sudah tidur terlebih dulu. ‘Satu minggu ke depan, kamu harus siap tanpa aku, tanpa perhatian dariku, Sayang.’ Bisik hatinya pada angin malam. Ia membaca ulang semua pesan yang dikirim oleh kekasihnya. Terkesima dengan kesungguhan dan perhatian Vara kepadanya. Ini ujian yang harus mereka lewati, ujian kesabaran untuk menahan diri. SMS My Princess : Aku akan selalu merindukanmu. Seminggu bukan waktu yang lama, pikirnya. Namun, rindu itu pasti ada, siapa yang tega melaporkannya? Padahal dia sendiri tidak sampai hati melaporkan jika memang ada yang sms ataupun telepon orang yang mereka kasihi. “Am, kamu belum tidur?” “Belum Fiz, hukuman Kyai rasanya sangat berat.” “Kamu tahu siapa yang laporin kamu?” Amri menggeleng. “Jikapun aku tahu, Fiz. Aku nggak bisa apa-apa, karena aku memang salah. Nggak ada gunanya juga membela diri.” Diam-diam Hafiz berpikir, kemarin sepertinya Furqon yang jadwal keamanan kompleks. Naluri Hafiz berkata, bahwa Furqonlah yang melaporkan Amri tadi pagi. Namun, apa tujuan dia? Hafiz menebak-nebak dalam pikirannya, ikut merasakan apa yang dirasakan Amri. “Fiz?” “I… iya Am.” “Bukan kamu, ‘kan, yang melaporkan aku?” “Masyaallah, bagaimana mungkin aku mengkhianati sahabatku sendiri, Am? Sepertinya aku tahu siapa yang melaporkanmu hingga Kyai menghukummu, tapi aku belum punya bukti.” “Sudahlah Fiz, biarpun kita punya bukti, aku sudah nggak mau melawan Kyai. Sudah, ayo tidur,” Amri menyelimuti tubuhnya dengan sarung. ‘Ah, aku sebenarnya juga penasaran, Fiz. Tapi… ah sudahlah.’ Amri berusaha memejamkan matanya.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices