
by Titikoma

Sorban Rindu
30 Mei 2014. Udara semakin panas, mungkin sebentar lagi turun hujan. Udara ini sepanas hati yang terselimuti cemburu. Sudah tiga hari Amri menghilang dan tidak menghubungi Vara. ‘Apa ada yang salah denganku, Mas? Aku tak ingin menebak-nebak hatimu saat ini, jika memang ada yang salah, katakan saja, jangan hukum aku dengan diam.’ “Kamu kenapa, Ra? Nggak biasanya kamu diam terus kayak gitu.” “Nggak apa-apa kok, cuma…” “Cuma kangen?” “Iya.” Mita menepuk keningnya, dan kembali membolak-balik majalahnya. Mencoba mencari bahan mengalihkan pembicaraan. “Eh, iya. Aku lupa bilang, aku mau pinjem buku kamu dong bu guru.” “Buku apaan?” “Aku mau KKN nih, praktik ngajar di SD Malang, nah aku kan nggak punya referensinya, pinjem ya…” “Iya, bukannya materinya dari kompetensi dasarnya?” “Ya, iya sih. Kan kalau tanya sama yang udah senior ngajar kan jadinya jelas.” “Oke. Eh tapi kapan itu? Jauh amat sih?” “Lah kan dibagi Ra, aku kebagian yang di Malang, ada sih di dekat-dekat tetanggaan Blora, tapi kan yang nentuin kampus aku.” Pikiran Vara kembali menerawang jauh entah ke mana, memikirkan Amri yang mulai menjauh. “Ta, kalau cowok perhatian terus ke kita, lalu setelah itu ngilang itu bisa ada tanda-tanda dia punya yang lain nggak sih?” “Kebanyakan yang aku tahu sih begitu, Ra. Masa’ Amri kayak gitu?” Hanya nanar yang ada di penglihatannya, entah. Hatinya terasa begitu kosong. Suara ketukan pintu itu sangat mengganggu di panasnya siang ini. “Wa’alaikumsalam,” Terlihat Imran berdiri tegak di hadapannya, sudah hampir satu tahun mereka tak bertemu. “Kamu?” “Boleh aku masuk, Ra?” Vara yang salah tingkah pun mempersilakan Imran untuk duduk, dan berbasa-basi. “Mau minum apa? Maaf Bunda lagi keluar, Ayah juga lagi pergi.” “Apa kedatanganku begitu mengganggumu?” Vara menggeleng kemudian tertunduk, ia tak berani walaupun hanya memandang Imran. “Aku sudah tahu,” suara Imran terdengar lemah dan putus asa. “Tahu tentang apa?” “Amri, dan kedatanganku ke sini hanya untuk menyampaikan ini, Ra.” Diterimanya kotak kecil berbungkus kertas kado warna ungu. “Itu dari Amri, dia memintaku membawanya. Sungguh aku tidak tahu kalian ada hubungan selama ini, temannya yang malah memberitahuku. Jika tidak, mungkin aku akan melakukan kesalahan karena memisahkan kalian berdua.” “Maksudnya?” “Awalnya aku ingin melamarmu, Ra. Namun Hafiz, teman kamarnya bilang kalian saling mencintai. Maka dengan ikhlas aku menyerahkan hatimu padanya, sahabatku.” Vara tertegun dengan apa yang baru saja Imran katakan. ‘Maaf jika kabar ini melukaimu.’ Hati itu berkata ada rasa sedih dan haru di sana. “Liontin,” Vara tersenyum melihat isi kotak mungil itu. Ada namanya dan nama Amri. Hati itu bahagia, sekaligus terharu karena di hadapannya kini ada mantan kekasihnya yang mengalah demi sebuah persahabatan. “Semoga kalian bahagia ya, aku senang bila kamu dan Amri sampai menikah nanti. Jangan lupa beri aku kabar.” Vara menatap mata itu, ada luka di sana. ‘Jika saja kamu dulu memilihku dan memutuskan gadis yang ada di sana bersamamu, Mas. Mungkin aku takkan bertemu dengan Amri.’ Vara berimajinasi dengan alam khayalnya. ‘Ah apa yang kupikirkan, bukankah Amri ada untuknya dan mencintainya tanpa ada niat menduakannya? Vara, kamu jangan bodoh!’ Vara berbisik pada dirinya sendiri. “Terima kasih atas doanya, tentu kamu juga akan mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari aku.” Imran hanya membalas dengan senyum khasnya. “Aku, titip ini ya, tolong sampaikan pada Kak Amri, harusnya dia memberiku liontin namanya saja, bukan keduanya.” “Pasti, aku sampaikan. Sepertinya sudah cukup, aku harus kembali ke Cirebon. Besok ada acara lagi.” “Secepat inikah?” Vara menahan tangan Imran. “Ups maaf, maksudku apa tidak bertemu Ayah sama Bunda dulu?” “Nggak perlu, tentunya bukan aku yang akan melamarmu, ‘kan? Aku tahu statusku. Apa pun itu, aku menyayangimu. Assalamu’alaikum.” Vara tersenyum melepas kepergian Imran. “Wa’alaikumsalam.” Malam kian larut, namun mata itu masih saja belum terpejam. Jemarinya beradu dengan tuts-tuts keyboard laptopnya. Menuliskan sebuah surat untuk kekasihnya, Amri. ‘Kak, semoga sorban ini menjadi teman rindumu yang paling setia.’ Teruntuk kekasihku, Amri. Assalamu’alaikum, wr, wb... Sayang, waktu serasa begitu lambat. Tahukah apa yang kusiapkan sejak Februari lalu? Selain hatiku yang selalu merinduimu, ada rajutan sorban ini yang ingin kupersembahkan untukmu. Kamu tahu, aku selalu merinduimu, Kak. Mengapa belakangan ini kakak menjauh dariku? Aku hanya berpikir, kamu sedang melaksanakan tugas pondok dan tidak dapat diganggu. Di sini, ada hati yang merinduimu, terjaga untuk mendoakan kesehatanmu. Berkhusnudzon dengan rencana-Nya untuk kita. Waktu melambat, seminggu yang teramat sunyi, aku memang bukan seorang sutradara yang adil. Peranku, kisah cintaku pun teramat dramatis untuk dituliskan pada lembar-lembar novelku. Sejujurnya, aku merindukanmu di sini. Meski lisanku acuh padamu, di fb, di sms pun juga. Aku berusaha bersandiwara untuk kuat, untuk secuek, seangkuh dirimu yang lebih memilih diam tanpa kata. Tapi … Aku tak pernah bisa untuk itu… Demi Rabb-ku yang Maha Cinta, kamu masih sering mengusik pikiranku tiap malam kesendirianku seperti saat ini. Kerap hadir di mimpi malamku yang membangunkanku di sepertiga malam yang hening. Sayang, semoga sorban ini menjadi teman setiamu, ya. Aku akan selalu mendoakanmu, selalu ada di saat kamu membutuhkanku. Walau aku hanya dapat meminta pada-Nya agar selalu melindungimu di sana lewat doa. Terima kasih untuk Sands of Time yang udah kakak tulis, aku yakin hujan masih teramat setia. Sehat selalu, izinkan aku mencintaimu hingga nanti, entah batas waktu lelahku yang telah diatur oleh-Nya, sebelum aku pergi untuk selamanya. Aku janji akan baik-baik saja di sini. Wassalamualaikum. Wr. Wb. Yang merindukanmu, Vara Isnaini Fauziah Seusai menuliskan surat itu, pandangannya beralih pada baju gamis yang juga telah ia jahit sendiri. “Kamu harus bersabar hingga pemilikmu datang ya,” ujar Vara pada baju gamis tersebut, kemudian erat ia mendekapnya.