
by Titikoma

Perpisahan Sementara
Vara Isnaini Fauziah message’s : Sayang, udah seminggu kamu nggak ada kabar, nggak ada sms apalagi telepon. Apa ada yang salah dengan hubungan kita? Pagi ini Vara memberanikan dirinya untuk mengirim pesan Facebook pada Amri. Hatinya mulai mempercayai ramalan itu, apa perkataan temannya itu akan menjadi kenyataan? Calling Bunda Melly… “Assalamu’alaikum, Vara.” “Bunda,” ada isak tangis di sana. “Eh, kenapa? Kok nangis?” “Amri kayaknya udah mulai berubah, Bunda.” “Berubah gimana?” “Dia udah seminggu Bun, nggak ada kabar. Jangankan telepon, sms pun nggak dijawab.” “Mungkin dia sibuk Vara, di pondok itu nggak seperti di kampus biasa. Di sana sudah ada jadwalnya. Kapan harus ibadah, kapan waktu makan, ngaji, dan sebagainya.” “Tapi… apa nggak ada waktu walau lima belas menit? Biasanya nggak seperti itu.” “Sabar ya, kamu harus lebih sabar lagi, mungkin Amri sedang menguji kesabaran kamu meskipun tanpa kabar dari dia. Tunggu saja, pasti ada kabar.” Klik. Beberapa menit obrolan itu malah membuat Vara semakin gelisah. Prasangka, curiga, takut, marah, semua lebur menjadi satu. Muhammad Amri Fadillah message you. Muhammad Amri Fadillah: Apa? Vara Isnaini Fauziah: Apa? Maksudnya? Muhammad Amri Fadillah: Gpp Vara terkejut dengan reaksi Amri, tak seperti apa yang ia harapkan. Vara Isnaini Fauziah: Aku salah apa kak? Muhammad Amri Fadillah: Kamu nggak salah, hanya… Vara Isnaini Fauziah: Hanya apa? Katakan sayang… Aku kangen… Muhammad Amri Fadillah: Aku rasa aku nggak nyaman dengan hubungan ini. Vara Isnaini Fauziah: Apa maksud kakak? Aku nggak ngerti Muhammad Amri Fadillah: Kita udahan ya, jujur aku juga sedih karena aku sayang sama kamu. Maaf. ‘Apa kamu bercanda, Kak? Ini nggak lucu.’ Vara menjerit dalam hatinya. Matanya terpejam menahan bening yang menyeruak. Jiwanya merintih pedih. Muhammad Amri Fadillah: Aku sayang kamu, tapi maaf mungkin hanya sekadar sayang, bukan cinta. Vara offline. Dia memilih untuk diam. Menangis sejadinya di depan layar monitornya. Di sisi lain Amri juga menangis, namun ini adalah keputusannya. ‘Maaf sayang, aku menyakitimu. Maafin aku, aku sayang kamu. Tapi, aku nggak bisa bahagiain kamu.’ “Am, aku tahu siapa yang melaporkanmu!” dari kejauhan Hafiz berseru. Amri menyeka air mata itu, tak ingin siapa pun mengetahui kesedihannya. “Siapa?” “Furqon.” “Apa alasanmu, Fiz? Jangan menuduh orang.” “Aku berbicara tentang kebenaran Am. Apa untungnya aku bohong sama kamu? Sekarang ikut aku!” Hafiz menarik tangan Amri. Mereka langsung menuju ke kantor pesantren. Di sana Furqon sedang berbicara dengan Ning Annisa. “Akhi keterlaluan, mengapa melaporkan Akhi Amri sama Abah?” “Tapi kamu suka, ‘kan sama dia?” Annisa mencoba mengelak. “Bukan masalah itu, Akhi Amri kan tidak mengganggu Akhi Furqon, kenapa Akhi sendiri yang membuat masalah sama dia?” “Yang penting, ini adalah pelajaran bagi dia. Kenapa dia beruntung sekali, disayangi oleh Ustadz Nur Cholis. Dan kamu, sama saja selalu membelanya.” “Oh, bagus… Jadi kamu yang melaporkan Amri?” Furqon yang tertangkap basah pun mencoba mengelak, namun apa yang bisa ia lakukan? Suasana menjadi tegang. Annisa undur diri dan tidak mau ikut campur dengan urusan laki-laki. Ada rasa takut di sana, takut Amri membuat kesalahan lagi. Hukumannya akan lebih berat, karena sekarang dia masih dalam masa hukuman. “Am… dengar dulu penjelasanku,” Furqon terbata-bata mengucapkan setiap kata yang ingin ia lontarkan. Keringat dingin seketika membasahi dahinya yang berkerut. Namun satu pukulan keras sudah menghantam wajah Furqon. Hafiz yang melakukannya. Telak saja Furqon kalang kabut dibuatnya. “Fiz, kamu jangan begini, kamu nanti ikut dihukum juga,” Amri menghalangi Hafiz untuk tidak memukul Furqon lagi. “Aku emosi, Am! Mestinya dia tidak perlu melakukan itu jika hanya alasan iri sama kamu, kamu tadi dengar sendiri, ‘kan?” “Ada apa ini?” Ustadz Nur Cholis datang melerai. Ketiganya hanya diam dalam gejolak hati masing-masing. Ada rasa khawatir dalam diri Amri, jika hukumannya nanti diberatkan. ‘Ah, apa yang kulakukan?!’ rutuk hati itu. Kini Furqon dan Hafiz harus menjalani hukuman seperti yang Amri terima. Dalam kamar biru, Amri masih merenungi perkataannya tadi lewat chat Facebook dengan Vara yang sekarang bukan lagi kekasihnya. Ada yang salah, ia seperti tidak mengenali dirinya sendiri. Jemarinya meraih handphone yang ada di tempat tidurnya. To : My Princess Aku yakin, kamu akan mendapatkan yang jauh lebih baik segalanya dari aku, asalkan tetap bersabar. J Vara memandangi layar handphone-nya. Ada air mata yang siap jatuh tanpa suara. ‘Apa yang kamu pikirkan, Mas? Apa semudah itu aku mencintai orang lain? Sedangkan hatiku masih tertinggal di genggamanmu. Jangan suruh aku mencari yang lain, aku takkan bisa untuk itu.’ From : Am Qu Percayakan, kalo kita semua sudah punya jodohnya masing-masing. Kalau sudah masanya pasti datang juga. Meski tidak memungkiri untuk kita tetap berusaha dan terus berdoa. Sekali lagi aku minta maaf ya. J Beberapa menit berikutnya ada satu lagi pesan dari Amri dan Vara hanya membalasnya dengan senyuman. To : Am Qu J ‘Aku pasti menemuimu, Sayang.’ Kembali kalimat singkat itu terngiang di telinganya. Berharap perpisahan ini hanya sebuah mimpi, dan ia cepat terbangun dari mimpi buruknya. “Kenapa kamu bohong, Mas?” Vara menggenggam liontin setengah hati yang bertuliskan nama Amri, kado dari Amri untuknya. “Kenapa kamu berkata akan menemuiku? Apa artinya selama ini kamu hanya purapura cinta sama aku? Aku nggak percaya, aku yakin kini kamu pasti ada masalah, cerita sama aku, Mas.” Ia bermunajat sepanjang malam, badannya menggigil kedinginan. “Apa kamu tahu, aku menjadikanmu satu-satunya yang aku miliki. Maaf, aku masih mencintai hujan yang sama. Yang mengusikku September lalu, tanpa harus membagi kesegarannya dengan orang lain, hanya aku. Aku mencintaimu, Mas Amri.” Napasnya sesak memandangi foto Amri yang tersenyum ke arahnya. Kini senyuman itu berubah menjadi sembilu yang mengoyak hatinya. “Apa gunanya liontin ini? Apa gunanya aku hidup, Mas? Jika kamu tak akan hadir dalam kehidupanku lagi? Kamu hanya bercanda, kan? Katakan kamu hanya bercanda!” Akhirnya ia pun tertidur sambil menggenggam liontin pemberian Amri. Ada air mata yang terus saja mengalir walau ia memejamkan mata.