di bawah langit al-ihya
Di Bawah Langit Al-ihya

Di Bawah Langit Al-ihya

Reads
106
Votes
0
Parts
19
Vote
by Titikoma

Edelweiss Keabadian

Pertengahan Agustus, Amri bersiap berangkat ke Purbalingga bersama Hafiz. Ia berniat mengisi liburannya untuk bersilaturahmi dengan keluarga Hafiz. Sebuah kisah yang rumit dengan segala masalah yang mendera mengajarkan Amri untuk tetap tegar, tetap bersabar. “Udah siap semuanya, kan?” Amri hanya memberikan tanda dengan mengacungkan ibu jarinya, tanda setuju. “Kira-kira kapan kita mendaki, Fiz?” “Ah, kenapa malah jadi kamu yang nggak sabaran, sih?” “Hehe, aku rindu sama pemandangan di sana, Fiz.” Segera mereka berangkat menggunakan bus. Perjalanan masih lumayan menguras tenaga sehingga mereka memutuskan untuk beristirahat di masjid alun-alun kota.  Tiba hari di mana ia akan mendaki, sebuah perjalanan yang teramat panjang akan ditempuhnya. Kicau burung di kaki pegunungan terdengar begitu merdu, kabut tebal menyapa pohon-pohon, menyapa dedaunan yang merimbun di sepanjang perjalanan. “Ukhti ikut juga?” Fajar, tetangga Hafiz yang juga santri Al-Ihya kaget dengan kehadiran Annisa di rombongannya. Amri menoleh ke asal suara. “Iya, daripada di pondok juga sepi. Hafiz yang mengajak saya ikut mendaki,” Annisa sedikit melirik ke arah Amri. “Oh baiklah, sekarang ikut saja rombongan kami, soalnya takut Ukhti kenapa-kenapa,” Annisa mengangguk, rombongan itu segera melanjutkan pendakian menuju pos satu, dan ke pos berikutnya. “Akhi, tunggu!” Amri menoleh. “Hati-hati, Ning!” ia segera meraih tangan Ning Annisa karena hampir saja terpeleset. Lima detik mereka berdiam. “Astaghfirulloh,” segera ia melepaskan tangannya. “Maaf, Akhi,” Annisa tertunduk malu. “Ada apa, Ning?” “Saya mau meminta maaf untuk kejadian di perpustakaan tempo hari.” “Oh, itu. Saya sudah melupakannya. Tenang saja.” “Syukurlah.” Di atas sana tepat di depan Amri, Hafiz terlihat mengawasinya. “Fiz, lihat ke depan, awas terpeleset. Aku tahu maksudmu, tenanglah!” lantang suara itu terdengar. Amri tersenyum melihat ada hati yang sedang gelisah. Sementara Hafiz pun sedikit lega, menoleh ke belakang dan tersenyum ke arah Amri. Perjalanan tak terasa lelah karena semangat, kini hari hampir petang. Siluet senja indah membatasi cakrawala. “Pos lima, kita istirahat dulu ya, ada pendaki lain yang juga istirahat.”  “Oke!” seru Amri. Amri duduk di atas bebatuan bersama Hafiz dan rekan-rekan pendaki yang lainnya. “Fiz, lebih baik kamu segera nyatakan cinta kamu sama Ning Annisa.” “Apa harus seperti itu?” “Iyalah. Aku tahu sudah lama kamu menyukainya.” “Tapi Ning Annisa mencintaimu, Am. Apa bisa aku ngalahin kamu?” “Ya, nggak bakalan bisa sih, hahaha…” suara tawa itu menggema. Hafiz pun ikut tertawa bersama sahabatnya yang sudah seperti saudaranya sendiri. “Amri?” “Eh, Imran?” ada keringat dingin yang tiba-tiba muncul. “Kamu ikut juga ternyata, kebetulan ada sesuatu yang ingin kusampaikan sama kamu,” Ada senyum di sana, tanda bahagia. ‘Pasti undangan.’ Amri menggumam. “Apa itu?” “Sepertinya nanti malam saja, baiknya kita dirikan tenda untuk menginap semalam di sini. Nanti malam akan aku sampaikan ya, masih ada banyak orang di sini.” “Kita lanjutkan perjalanan lagi, Edelweis menanti kita,” ujar Hafiz bersemangat.  Sedikit lagi, tinggal beberapa langkah rombongan Amri sampai di puncak Gunung Selamet. Sebuah pemandangan menakjubkan tentu saja sedang menanti mereka. Seperti biasa, Edelweis masih menjadi daya tarik bagi para pendaki langit. “Fiz, kita tukar posisi ya, daripada kamu nengok ke belakang terus,” satu permintaan Amri yang membuat Hafiz hampir terpeleset. “Kamu tahu aja.” “It’s, ok!” Amri sekarang yang berada di depan. Satu. Dua. Tiga. Ya, kini mereka telah berada di puncak. “Subhanaallah!” Annisa takjub dengan pemandangan di hadapannya. Imran yang menyusul mendekati Hafiz, memandang langit yang mengulas jingga. Mayapada selaksa istana awan surga. Amri merentangkan tangannya, merasakan hawa pegunungan yang ia rindukan kini tengah direngkuhnya kembali. Sementara Hafiz dan Imran masih tertegun dengan hamparan selayang saujana. Amri mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari Edelweis yang sedang mekar. Kembali ia teringat janjinya pada Vara, ‘Aku akan membawakannya untukmu, Vara.’ Amri tersenyum mengingat janjinya sendiri. Amri berharap cintanya akan abadi seperti halnya bunga yang telah dipetiknya sore ini. “Indah ya, pemandangan di sini.” Amri segera menyembunyikan Edelweiss yang baru dipetiknya di dalam tas. “Ah, iya. Saya udah beberapa kali ke sini, tapi tetap saja pemandangan ini begitu mengagumkan,” satu senyuman Amri berikan pada Annisa. Keduanya berbincang di atas awan. Mereka tak sadar sedari tadi ada dua pasang mata yang memperhatikan mereka dari jauh. “Kamu cemburu ya?” sergah Imran membuka keheningan. “Ehmm, nggak Im. Aku…” “Aku apa? Dari sikapmu saja sudah ketahuan kalau kamu memiliki rasa pada gadis itu, siapa namanya?” “Ning Annisa, dia putri Kyai. Pindahan dari IAIN, apa kamu nggak kenal sama dia?” “Masa’ iya? Aku kok nggak pernah lihat, ya?” Imran berusaha mengingatingat. “Apa kamu nggak takut kalau Amri jatuh cinta sama Ning Annisa?” “Kamu tahu sendiri kan, Amri itu laki-laki paling setia yang aku kenal. Ning Annisa suka sama Amri, tapi Amri sama sekali tidak meresponnya, karena hatinya hanya untuk Vara. Aku tahu itu.” “Aduh, berarti kamu yang ngenes[1] ya, hehe…” “Kenapa gitu, Im?” “Ya itu, Ning Annisa nggak paham sama sikap-sikap manis serta perhatian kamu, kurang peka kayaknya.” “Biarkan mengalir sajalah Im, Abahnya galak, hehe...” Hafiz mencoba menghibur hatinya sendiri. Imran ikut tertawa, kemudian menepuk-nepuk bahu Hafiz. “Hei, nggak ada kata nyerah kalau kamu memang cinta, buktinya Amri tetap bertahan, makanya aku percaya dia pasti bisa membahagiakan Vara. Makasih ya, Fiz, atas pemberitahuannya.” Hafiz tersenyum dan masih menatap Annisa dari kejauhan.  “Ra, aku pamit ya, besok aku berangkat ke Malang, kamu baik-baik sama Amri, jangan ngambek mulu,” satu pelukan hangat sepupunya itu seakan memberinya pertanda bahwa akan ada sesuatu yang terjadi. “Kamu lebay banget sih, Ta. Aku nggak apa-apa kali, aku baik-baik aja sama dia, walau kami udah putus.” “Nah itu tuh, aku khawatir kamu bakal bunuh diri, kalau ingat status kamu, kan nggak ada yang bisa jadi pelampiasan nangismu itu,” Mita menepuknepuk bahu Vara. “Yeee, nggak! Ya nggak bakalan lah, ngapain juga kayak gitu? Aku masih sadar sesadar-sadarnya.” “Alhamdulillah. Eh iya, terus gimana sama novel kamu itu? Apa udah ada kabar dari penerbit?” “Udah Ta, katanya sih masih seleksi, masih nunggu dulu, doanya, ya.” Keduanya kembali membereskan pakaian yang akan Mita bawa saat KKN di Malang. Di saat itu pula, pikiran Vara kembali teringat Amri yang beberapa hari lalu berkata akan mendaki ke Gunung Selamet. Hari ini sama sekali ia belum mendapat kabar darinya. Malam ini gerimis terdengar begitu ritmis. Api unggun yang memancarkan cahaya menghangatkan area pelawangan dan sekitarnya. Pemandangan puncak Selamet lagi-lagi begitu memesona. “Loh, Ning Annisa belum tidur?” “Belum bisa tidur, udara begitu dingin.” “Oh iya, kata Hafiz, Ukhti pindahan dari IAIN kan? Kok saya tidak pernah lihat ya?” Imran mencoba mencari bahan pembicaraan. “Akhi di IAIN juga?” Imran mengangguk sekadarnya. Sesekali menggosok-gosokkan kedua tangan untuk mengusir dingin yang menyergapnya. “Berarti memang kita pernah satu kampus ya, tapi belum pernah kenal. Saya Annisa.” “Imran,” ia memperkenalkan diri. “Ehm, sebenarnya apa hubungan Ukhti dengan Amri, kok sepertinya kalian sangat dekat? Bukankah Amri sudah memiliki kekasih?” “Kekasih?” Annisa malah merasa heran dengan pertanyaan tersebut. “Iya, Amri punya kekasih, namanya Vara. Kebetulan dia teman saya juga di Blora sana.” ‘Vara’, gumaman penuh arti dari hati. Annisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi. “Oh, saya hanya berteman dengan Akhi Amri,” ada kata yang tertahan di sana. Sementara itu di dalam tenda, tak sengaja Amri mendengarkan percakapan mereka. “Saya sebenarnya ingin melamar Vara, tapi…” Di dalam tenda, Amri mulai menahan napasnya. “Tapi apa Akhi?” “Tapi hati Vara milik Amri, saya ingin Vara bahagia bersama orang yang  dia cintai.” “Jadi, sekarang mereka masih berhubungan?” “Kalau soal itu saya nggak tahu, Ukh. Ada apa ya?” “Ehm, nggak apa-apa Akhi, cuma sekadar bertanya.” Amri tergugu menggenggam Edelweiss yang ia petik sore tadi. Ah, betapa ia ingin memaki dirinya sendiri atas kebodohan yang ia lakukan. Di sampingnya, Hafiz hanya bisa diam. “Apa kamu yang menceritakannya sama Imran?” Amri berbisik pada Hafiz. “Menurutmu?” bisikan balasan dan satu senyuman terulas sempurna di bibir Hafiz tanda ia yang menceritakannya. Bayangan Vara lekat di depan mata, tersenyum ke arahnya. ‘Ya Rabb, terima kasih.’ Hati itu bermonolog pada Sang Maha Cinta. Ia bertekad untuk segera pulang, hanya hitungan hari wisuda ada di depan mata. ‘Aku akan menemuimu, Sayang. Bersabarlah.’ Sementara itu. Saat ini Blora sedang diguyur hujan lebat. Malam begitu dingin dengan angin barat yang sangat kuat. Sepertinya akan ada badai. Restricted call… Handphone Vara berbunyi, ada telepon masuk. ‘Nomornya disembunyikan. Hmm..’ Ia menggumam. Call rejected. Vara memang terbiasa apabila ada nomor baru apalagi tidak mencantumkan identitas seperti yang baru saja meneleponnya itu, ia selalu mengabaikannya. 1 message received From : 085643876xx Assalamu’alaikum, Ukhti Vara. Saya salah satu teman pondoknya Amri. Saya ingin menyampaikan pesan pada Ukhti untuk tidak menunggunya lagi. Karena ia akan segera menikah dengan putri Kyai. Maaf, untuk kabar yang tidak berkenan ini, saya hanya menyampaikan amanah. Wassalamu’alaikum. Vara mengerjapkan matanya, meniti kata demi kata yang dibacanya. Berharap ini hanya kamuflase, namun hatinya berkata lain. Rasa cemburu telah membuat logikanya berjalan mengalahkan intuisinya. Seketika kepalanya pening, pandangannya kabur. Gelap. Dada sesak. Vara pingsan. Antara sadar dan tidak pun ia masih menggumam nama Amri yang dikasihinya.  Keesokan harinya… “Am, aku ingin memberikan ini, aku sudah tahu semuanya. Jaga dia untukku ya,” Imran memberikan liontin bertuliskan nama Vara kepada Amri. “Aku pasti akan menjaganya, Im.” Satu pelukan persahabatan merengkuh kembali nilai-nilai kasih sayangnya. “Aku tahu kamu pasti akan menjaganya sepenuh hatimu.” “Udah ah, adegan kalian kayak sinetron aja, dramatis banget. Sebelum matahari mulai naik, kita harus turun,” Hafiz berseru, di sampingnya ada Annisa yang tersenyum bahagia melihat orang yang dikasihinya dapat merengkuh cintanya kembali. ‘Jaga dia Ukhti Vara, saya tahu Ukhti yang terbaik untuknya.’ Annisa menggumam seraya melangkahkan kaki mengikuti Hafiz. [1] Nelangsa, sedih 


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices