Don't Touch Me

Reads
101
Votes
0
Parts
16
Vote
by Titikoma

5

Pagi ini, May bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Tak ada pilihan lain selain menuruti perintah Ibu. May seorang diri tanpa hakim pembela, bahkan Bapaknya juga berada di pihak Ibu. “Bu, May mau berangkat.” “Hati-hati di jalan, jangan ugal-ugalan.” “Iya, Bu. Bapak udah berangkat ya, Bu?” “Udah dari tadi. Bapak pekerja yang ulet, gak kayak kamu pekerja ulat, lambat.” “Yaa, Bapak mah enak, kerja di kantor sendiri. Datang juga cuman ongkang-ongkang kaki. May? Ditindas di kantor orang.” “Siapa bilang ongkang-ongkang kaki? Bapak kamu tuh pekerja keras. Makanya sampai sekarang perusahaan Bapak terus berkembang. Mana ada orang sukses kalau cuman santai begitu. Sembarangan kamu, May!” “Hehehe, jangan ngomel pagi-pagi ah, Bu. May berangkat ya, Assalamualaikum.” “Waalaikum salam.” May bergegas menuju garasi, menancapkan kunci pada motor besar berwarna merah. May memanaskan motornya, lalu kemudian langsung pergi. Ketika May membuka pintu ruangan, di sana Ken berdiri, mengamati sosok May. May memang gadis yang keras kepala, tak ada yang berubah. Penampilannya sungguh merusak pemandangan. “May, buatkan aku teh. Gak pake gula, gak pake panas, dan gak dingin.” “Sekalian aja gak pake air, lu nikmatin tuh ampasnya!” “Hem, cepetan! Aku tunggu di ruanganku,” tutur Ken lalu berlalu. May mengernyitkan dahinya, tiba-tiba Ken minta teh. Menunggu di ruangannya? Berarti May boleh masuk ke ruangannya? Aneh. May pun pergi ke dapur kantor. “Mang Ujang, tolong bikinin teh yang biasa diminum Pak Kendy, ya.” “Hehehe. Siap, Non.” Beberapa saat kemudian, May melangkah menuju ruangan Ken dengan segelas teh yang menurut May tidak layak untuk diminum karena May sengaja mengajak Mang Ujang mengobrol sehingga Mang Ujang salah mengambil, harusnya gula malah garam yang diambil. May tersenyum menang dalam hati. May membuka pintu ruangan Ken. Ken tersenyum memamerkan gigi putihnya, sok manis banget, sih. May malas melihatnya. “Aku nyuruh kamu bikin teh, bukan nyuruh Mang Ujang,” ucap Ken saat May menaruh tehnya di meja. Duh, bisa-bisa misinya gagal, nih. “Apa bedanya, sih? Gue atau Mang Ujang yang buat, itu tetep aja jadinya teh. Kecuali kalau gue bikin trus jadinya mutiara, boleh deh gue yang buat.” “Gak mau tahu. Yang jelas aku suruh kamu, bukan Mang Ujang! Kalau suruh Mang Ujang ngapain harus kamu? Gak perlu kamu yang nyuruh!” “Terus?” “Apanya?” “Terus kenapa nyuruh gue?” “May... lupa, ya?” “Gak ada yang gue lupa, semua hal tentang lu itu menyebalkan.” “Eits, aku bos kamu di kantor ini, May. Kamu cuma sekretaris.” “Yaelahhh, baru jadi bos belagu amat.” May mendekati Ken,sangat dekat hampirtak ada jeda di antara keduanya. Ken merasa risih, ia tak pernah sedekat ini pada gadis manapun. Sebisa mungkin Ken selalu menjaga jarak. “Hem, lu suka kalau kita dijodohkan, ya? Lu pengen dekat gue mulu, ‘kan? Itulah kenapa sampai hari ini lu selalu ada? Dan asal lu tahu, semua ini bikin gue muak!” setelah berkata sinis, May menepuk bahu Ken dengan keras kemudian berlalu dengan wajah kesalnya. “May!” May melirik ke arah suara itu. Uh, dia lagi. May yakin, Ken hanya masuk ruangannya membawa berita buruk. “Ini tugas kamu, harus selesai hari ini!” Ken menyerahkan setumpuk berkas-berkas kantornya pada May. “Gila lu, tugas sebanyak ini? Gue gak bisa Ken, gue udah ada janji ntar sore.” “Aku gak peduli janji-janjianmu yang gak penting itu.” “Kali ini beneran penting, Ken.” Ken bergeming, “Tak boleh ada tawar-menawar. Ini kantor, bukan pasar ikan! “Ken, Please. Gue capek berantem, ntar sore gue mau ke rumah....” “Rumah siapa? Kamu ‘kan gak punya teman. Udah, gak usah banyak alasan!” Ken berlalu. May meringis. Tuh kan, menyebalkan! May mulai lelah dan gerah, tugas setumpuk di meja belum kelar, banyak yang harus dibenahi. Matanya pun mulai panas menatap layar komputer sejak tadi. Selain itu jari mulai pegal. May melirik arloji di tangan kirinya. Jam menunjukkan pukul 17.30. Kantor telah sepi. AHHH! May menghambur semua berkas-berkas itu hingga berserakan di seluruh ruangan. Rupanya keresahannya belum tuntas. Kini May meraih printer di meja kemudian membantingnya ke lantaisampai hancur. May mengamuk. Tidak peduli dengan apa pun. Perumahan elit 96 tempat Anisa dan suami, sejak mereka pertama kali menikah. Dulu May sering ke rumah ini, tapi setelah kesibukan May yang padat. May kini jarang menemui Anisa. Meski jarang bertemu, May dan Anisa menjaga hubungan baik dengan berkomunikasi. TING, TONG. TING, TONG. TING, TONG. Anisa tahu itu pasti May. Sebab cuma sahabatnya satu ini yang tidak sabaran. Anisa membuka pintu rumahnya. “Biasakan salam.” “Assalamualaikum, lu baru buka pintu, Nek. Gimana gue mau salam,” omel May. “Hehehe. Masuk, May.” “Beneran laki lu....” “Duduk dulu,” ujar Anisa, lalu mereka berdua pun duduk. “Benar, dia udah pergi. Tepatnya menikah lagi,” Anisa menjawab lirih. “Lu gimana? Lu gak berontak? Dia gak boleh pergi dengan perempuan lain. Lu lagi hamil, ‘kan?” Mayberapi-api.Anisamenikahtigatahunyanglalu.KiniusiaPrasmenginjak 43 tahun sedangkan Anisa sekarang berusia 24 tahun. Meskipun usia Pras dan Anisa berbeda jauh. Pras lelaki yang cukup mapan. Ia memiliki beberapa showroom mobil dan motor yang terkenal di Jakarta. Anisa adalah istri kedua setelah istri pertamanya meninggal. “Dulu alasannya mau nikah lagi karena aku gak bisa punya anak.” “Sekarang lu lagi hamil muda, ia tetap ingin menikah lagi? Karena ada perempuan yang lebih menarik di matanya, gitu?” tanpa May sadari, ia bahkan nggak basa-basi. May geram mendengar cerita dari sahabatnya itu dan ingin langsung membicarakannya. “Perempuan itu baru saja lulus SMA,” tutur Anisa. “What?” “Perempuan itu bahkan sering mengirim foto mesra mereka di sosmed. Aku melihatnya karena kami berteman di facebook.” “Dan lu diam aja?” May yang merasa posisinya kurang nyaman, ia membenarkan posisi duduknya. Ah, ini pasti akibat tubuhnya yang lelah. “Aku bisa apa, May? Aku bahkan merasa takut kehilangan. Setiap hari aku mikirin Mas Pras. Tapi syukurnya, Mas Pras gak mau ceraikan aku. Tapi, dia juga gak mau tinggalkan perempuan itu. Untuk saat ini, Mas Pras memilih tinggal di apartemen bersama perempuan itu. Mas Pras akan tetap membiayai hidupku, dia juga tetap pulang saat dia ingin.” “Dan lu terima gitu aja?” May berapi-rapi. Ia mulai naik pitam. Oh my good! Kenapa begitu lugunya? Anisa begitu cantik dan sangat manis, tapi pasrah pada keadaan ini. Keadaan yang tidak bersahabat, yang menyiksa batinnya. “Aku gak tahu, May. Aku cuma bisa berdoa semoga semua akan baik-baik saja.” “Apanya yang akan baik-baik aja, Nis? Gimana mungkin lu harap baik-baik aja pada hubungan yang gak ada baiknya sama sekali.” “Setidaknya, Mas Pras masih menanggung biaya hidup. ” “Lu ikhlas? Trus kalau lu ikhlas, ngapain lu telepon gue nangis-nangis?” “Aku gak ikhlas, May. Aku cuma bisa pasrah. Mungkin karena aku anak yatim piatu, dan hem Mas Pras....” “Gak ada istilah gak pantas, semua orang pantas dan harus dihargai, apalagi anak yatim piatu. Harusnya dimuliakan, ‘kan?” Uhhh. Tiba-tiba dada May terasa sesak. Berbagai macam berita di dunia, tentang hal sepasang suami istri yang suami atau istrinya selingkuh. May benci dengan hubungan penuh dusta itu. Namun, ini mungkin zamannya, zaman di mana lelaki mendua, perempuan mendua, yang muda menghancurkan dan dihancurkan, seperti perlombaan, siapa cepat dia dapat dan siapa kuat dia hebat. May menatap Anisa, perempuan bertubuh mungil, berkulit sawo matang, bentuk wajahnya bulat dan imut, berjilbab putih dan sangat anggun. Ia perempuan yang sangat manis. Ia juga masih sangat muda. Bagaimana mungkin seorang lelaki tertarik dengan gadis yang kalau sekarang dibilang pelakor, padahal punya istri cantik bak barbie di rumah? Serakah atau tamak? Entahlah, May benar-benar geram. “Lu cantik, Nis. Sangat cantik. Jangan lupa bahagia,” hati May teriris ketika mengucapkan itu. “Maksud kamu, May?” “Cuma ngingetin. Terkadang kita lupa bahagia. Sibuk mengejar ini dan itu, mempertahankan dan memperjuangkan segalanya, apa pun dilakukan. Demi apa? Demi kebahagiaan. Kita gak sadar, kebahagiaan gak jauh-jauh. Kebahagiaan ada di sini,” May menunjuk dadanya. “Di hati yang lapang, hati yang sabar dan hati yang bersyukur. Tapi gak gini juga, Nis. Perempuan punya harga diri, dan gak boleh di injak-injak!” Anisa tertunduk lemah. May menatap Anisa sendu, luka bagi Anisa juga luka bagi May. Ia tak sanggup menyaksikan sahabatnya disakiti oleh suaminya sendiri. “Lu harus tegas! Suami lu harus milih, lu atau perempuan itu!” “Gak semudah itu, May. Aku gak punya kerjaan. Sekolah juga gak lulus. Gimana hidup aku nanti? Aku gak mau terlantar lagi, apalagi dengan anakku, hidup di jalanan keras dan kejam, May.” Anisa terisak. “Hanya bisa menangis?” May terhempas di ujung resah. “Kenapa perempuan selalu cengeng? Sadarlah, tangisanmu tak membuat semua lebih baik. Tangisanmu bahkan tak membuat awan hitam menjadi putih. Okelah, tangisan dapat melebur penat di hati. Tapi apakah tangisan menyelesaikan masalahmu? Tidak, Nis!” Menurut May, tangisan hanya membuat seseorang menjadi semakin lemah. Tangisan untuk seorang lelaki yang bahkan tidak menghargai itu sia-sia. “Udah. Lu tahu ‘kan, gue gak suka kalau orang nangis. Saatnya lu bangkit. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Pilihan ada di tangan lu. Gue tunggu berita baiknya. Gue percaya lu bisa lakuin yang terbaik. Gimanapun lu perempuan yang cerdas.” “Aku gak sehebat kamu, May.” “Lu muji gue, nih? Lu gak lagi mau minta duit, ‘kan? Hahaha...” May geli. Baru kali ini Anisa memujinya. Selama ini Anisa hanya sering cerewetin May. “May, kamu tomboi banget. Gak boleh loh kita ngikutin gaya cowok. Lebih baik pake jilbab kayak aku. Jilbab itu wajib, May,” Anisa berceloteh, cerewet jika menasihati May. Kadang May sebal jika Anisa cerewet. Namun May sangat menyayangi Anisa. May selalu ingin berbagi suka padanya. Sejak dulu, sewaktu Imas masih hidup, May sering ngumpul bareng anak jalanan. May, Anisa dan almarhum Imas, ketiganya sangat akrab. May selalu menyempatkan menemui beberapa anak jalanan yang dikenalnya, termasuk si Anisa dan Imas. Namun saat May SMA, Imas meninggal dunia, Imas terkena asma akut dan May terlambat datang menolongnya. Waktu itu May sedang menjalani ujian akhir sekolah dan handphone May baru aktif saat tiba di rumah. Tapi, pertolongan May terlambat. Itu menjadi penyesalan yang menyisakan luka di hati May. Itulah sebabnya, kalung dan gelang metal pemberian Imas tak ingin May lepaskan. Saat ini, May masih memiliki Anisa, kebahagiaan Anisa juga kebahagiaan bagi May. Mereka saling melengkapi. “Astaghfirullah…” Ken terbelalak. Ruangan May bak kapal pecah, hancur. Suasana ruangan yang berantakan, printer juga ikut hancur, kertas-kertas berhamburan memenuhi ruangan. Ya Allah... apa yang telah dilakukan gadis itu? Menyaksikan ini semua membuat Ken murka. “Gadis gila!” Ken akan mencari May. Seenaknya saja di kantor. Ken segera bergegas meninggalkan kantor, ia akan mencari May. Bagaimanapun, May harus bertangung jawab, gadis itu sungguh telah melewati batasannya. “Aura, kamu lihat May nggak?” “Sejak pagi tadi dia gak kelihatan batang hidungnya, Pak,” aku Aura yang memang tidak melihat May. “Emang gak akan keliatan batang hidungnya, dia gak punya batang hidung, dia kan kuman. Kamu tahu apa yang gadis itu lakukan?” “Gak tahu, Pak,” Aura menggeleng kuat, takut-takut melihat mata Ken yang melotot. “Dia udah hancurin kantorku. Panggil cleaning service. Aku gak mau lihat ada yang berantakan di kantor, dan ganti printer yang udah hancur itu, segera. Aku gak mau kembali jika melihat ruangan yang berantakan!” “Baik, Pak.” May baru saja tiba di rumah hari ini sebab ia menginap di rumah Anisa kemarin. May melangkah memasuki rumahnya yang terbuka lebar. Ada sosok makhluk menyebalkan, Ken. Ngapaintuhcowok?Pastilaporanke Ibulaginihkalauruangandi kantornya hancur, dan lelaki rese itu tak akan terima. Dia bukan pangeran baik hati, dia pangeran kodok. Lagian, salah sendiri. Menyiksa bak kompeni. “Assalamualaikum,” salam May. “Waalaikum salam.” May melirik ke arah Ken. Tiba-tiba May berdebar-debar. Ada Ibu dan Bapaknya Ken. Yaelah, segitu amat sih dia? Wah gawat ini, Ibu dan Bapaknya May juga duduk di sofa, mereka berhadap-hadapan. May akan duduk di kursi pesakitan karena ulahnya di kantor Ken kemarin. “Dari mana, May? Tuh, dicariin Ken. Dia mau ngajak kamu kencan,” ledek Ibu Ken. Seluruh persendian May terasa ngilu, bukan karena pegal linu, melainkan karena pernyataan Ibu Ken barusan. “Kemarilah, May. Kami sedang membicarakan pernikahan kalian yang akan dilangsungkan bulan depan.” Duuuaaarrr! Hati May terasa disambar petir. Bulan depan? Menikah dengan Ken? Oh, tidak! Ibunya May berdiri dan menarik tangan May, mengajak bergabung dan duduk bersama Ken serta yang lain. Ini adalah acara lamaran May dan Ken. May benar-benar ingin menghilang ke kutub utara. “Akhir bulan depan saya rasa lebih baik. Inaya udah lulus SMA, dan sebelum dia melanjutkan kuliah ke Singapura, dia harus melihat kakaknya menikah dulu,” ujar Bapak Ken. “Saya setuju-setuju saja. Karena sebentar lagi Aidil juga tiba di Jakarta, dan dia juga pasti bisa menyaksikan pernikahan adiknya,” sahut Bapaknya May. May dan Ken hanya terdiam. Ya Allah, benarkah aku akan menikahi gadis gila itu? Ken menyesal melaporkan tindakan May yang telah menghancurkan peralatan kantor di ruang sekretaris. Bukannya membolehkan memecat May. Bapak dan Ibu malah memaksa Ken ikut dalam acara lamaran May. Argh, Ken tak bisa menentang kehendak Bapak. “Oh my good! Gue gak sudi nikah ama cowok belagu itu. Doraemon, pinjamin gue kantong ajaib.” Menolak lelaki tampan yang cerdas, yang sosoknya hampir tak ada celah keburukan. Sungguh hal yang ironi. Namun, bagaimana mungkin May menerima dengan hati yang lapang jika lelaki itu bahkan memandang sebelah mata. Ken merendahkan May dengan caranya, gayanya dan ucapannya. “May gak mau nikah sama Ken. Gak akan pernah mau!” May berteriak. “Aku juga gak mau. Ogah banget!” Ken menjawab ketus. “Udah dong, kamu ngalah dikit. Gak akan selesai pertengkaran kalian selama kalian belum menikah. Ini sudah harga mati. Kalian menikah akhir bulan depan!” tegas Ibunya Ken. Ken dan May terdiam sesaat. Aidil Rahman Sanjaya tiba di Jakarta International Airport Soekarno hatta. Lelaki jangkung, bertubuh atletis. Kulitnya berwarna sawo matang. Wajahnya tampan, alisnya tebal, rapi dan hitam. Matanya tajam bak mata elang, hidungnya bangir, mancung. Bibirnya tebal dan seksi ala cowok banget. Aidil mengamati sekitar, mencari keberadaan seseorang. Hem, mana gadis manis itu? Bukannya selalu menjemputku. “Hem, jemputan atas nama Tuan Aidil,” Aidil berbalik. May tersenyum manis. Aidil langsung memeluknya. Ia sangat merindukan adik semata wayangnya itu. “Kamu udah mandi?” Aidil melepaskan pelukannya. “Udah minggu lalu, hehehe. Gaklah!” May manyun. Aidil sama saja dengan Ken yang selalu menganggap May jorok dan malas mandi. Padahal May mandi 2 kali sehari, pagi dan sore. Hanya saja, sesekali May memang hanya mandi pagi dan tidak mandi sore jika terlalu sibuk dengan aktivitasnya yang cukup padat. Itupun sesekali, jarang terjadi. Tetapi Aidil menganggap itu kebiasaan May. Uh. “Aku gak yakin deh kalau Ken mau nikah sama kamu,” May tertombak, belum apa-apa Kakaknya sudah membahas hal yang menurutnya sensitif. Tapi, pernyataan Aidil memang benar. Mana mungkin Ken mau menikah dengannya. Jangankan menikah, untuk damai satu hari atau saling berdekatan saja, nggak mau. “Iya sih, Ken gak mau. Cuma dipaksa tuh sama orang tua. May juga ogah kali, Kak. Biar kata dia sok keren gitu.” “Emang dia keren dan bukan sok keren. Dia ketus gitu juga cuma sama kamu doang, dari dulu juga kali, hehehe…” Aidil terkekeh. “Bantu May dong, Kak. Gimana caranya biar May gak nikah sama cowok belagu itu.” “Hahaha. May, gimana ntar kalau udah nikah. Ken tiap hari gini... May, mandi May. May sisirin tuh rambut. May pake deodoran tuh biar gak bau embek, hahaha.” May manyun. Tuh, kan. Kak Aidil dan Ken sama aja, mereka terlalu berlebihan. May selalu mandi, May juga selalu memakai deodoran. May emang jarang sisiran karena sudah lurus dan rapi bak dismoothing. Tapi May gak bau apek. Biasa aja, May malah bau baby unyuunyu. May suka dengan sabun baby, May suka bedak baby meski hanya untuk body. Karena ia tak suka bedak untuk wajahnya. Intinya May gak seburuk yang mereka katakan.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices