Don't Touch Me

Reads
96
Votes
0
Parts
16
Vote
by Titikoma

15

Tit, tit, tit. Tanda pesan masuk berbunyi di ponsel May. May membuka matanya yang masih mengantuk, ia bangkit dan meraih ponselnya yang terletak di meja rias. May membuka satu pesan WA. Assalamualaikum, cahaya matahariku yang menerangi jiwa, pelangiku yang memberi jutaan warna keindahan, rembulan yang menerangi malam panjangku dan bintang kejora yang memenuhi cinta di langit hatiku. Bangun, salat zuhur, Sayangku. Aku mencintaimu, May. Kendy May tersenyum dan tersipu, suaminya sangat romantis setiap saat. Harusnya May yang membuatnya, tapi dia ... May tak bisa berkata apaapa. Bunga-bunga kian bermekaran di hatinya. May merasa jatuh cinta setiap detik. Ken selalu menaburkan benih cinta di tiap detak. Kini telah tiba waktu salat zuhur, azan telah berkumandang dari segala penjuru Jakarta. May bergegas mengambil air wudu, ia merasakan sejuknya air masuk ke pori-pori wajah. Dingin dan sejuk, seperti hati May, sejuk sekali.  Usai salat zuhur, May bergegas ke dapur, ia ingin memasak untuk Ken. Selama ini Ken terus memanjakannya dengan berbagai cara. May ingin memasak makanan kesukaan Ken, ingin membuat kejutan karena May tak pernah memasak. Jika Ken pulang kantor dan bisa menikmati hidangan lezat hasil masakan May, ia pasti sangat senang, May yakin hal itu. “Bi Olaf, ajarin May masak, dong. May mau masak buat Mas Ken,” May menghampiri Bibi Olaf yang sedang membersihkan dapur. “Mau masak apa, Non?” “May mau masak makanan yang paling Ken suka, Bi. Ajarin, ya. Bibi kasih tahu apa aja bahan dan bumbunya, nanti May yang masak.” “Siap, Non.” May mulai beraksi. Hem, masakan ala May, akankah Ken menikmati dengan lezat atau dengan menahan rasa agar May senang? Pasalnya baru kali ini May masak di dapur, biasanya ia hanya memasak mie instan. “Wahhh, menantu Ibu ke dapur juga akhirnya. Mau masak apa, Sayang?” celetuk Ibu yang baru saja muncul. Ia senang melihat menantunya yang hari ini nampak anggun dengan busana muslimah dan jilbab syar’i berwarna peach. “Mau belajar masak, Bu. Tapi semoga saja Ken suka, hehe.” “Kalau lagi jatuh cinta, apa aja mah enak. Jangankan keasinan, kepedasan aja dibilang enak, manis semanis kamu, hahaha.” Tiba-tiba telepon rumah berdering. Ibu bergegas dan meraih gagang telepon. “Halo, benar ini rumah Kendy Putra Surya Ningrad?” suara laki-laki di ujung telepon. “Iya benar, ini saya Ibunya Kendy.” “Ibu ditunggu di Rumah Sakit Cipto Mangunkusuma, barusan Pak Kendy kami bawa ke rumah sakit karena kecelakaan di jalan.” BRUKKK! Gagang telepon terlepas dari tangannya, Ibu tersungkur lemah.  “May!” jerit Ibu. “Iya, Bu.” May beranjak dari dapur, menemui Ibu di ruang tamu yang baru saja menerima panggilan telepon rumah. “Ada apa, Bu?” May cemas. “Ayo May, bawa Ibu ke rumah sakit. Ken... hikhikhiks.” “Ken kenapa, Bu?” Serasa kaki tak berpijak di lantai, seluruh tubuh lunglai, luruhnya hati tak teraba oleh rasa. Air mata May mengalir, apa yang terjadi dengan Ken?  Siang di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Keluarga Sanjaya dan Surya Ningrad berkumpul di ruang tunggu, May masuk ke dalam ruang ICU, Ia menatap suaminya dengan derai air mata yang tak henti berjatuhan membanjiri pipi. Ken terbaring lemah dengan tubuh penuh luka akibat kecelakaan. May tak tahu harus berkata apa. Bahagia baru saja menyapa, serasa baru saja kemarin ia berdua dan bercumbu dengan Ken. Baru saja hubungan halalnya itu bersatu dalam jiwa dan raganya, baru saja hati May merasa rongga dadanya dipenuhi cinta dari Kendy. Tapi lihatlah hari ini. Lelaki itu terbaring lemah tak berdaya dan penuh luka berdarah, hati May tercabik menyaksikan semua ini. Mengapa ini harus terjadi? “Astaghfirullah.” Hal ini sungguh menyanyat hati May. Ibu terus menatap anak sulungnya itu, Ibu tak begitu yakin ada harapan untuk kesembuhan putranya. Hati Ibu teriris pedih, ia tahu Kendy-nya sangat rapuh. Kendy tak boleh kelelahan karena typus yang kadang menyerang. Dokter Sandy, dokter pribadi yang menangani Kendy sejak kecil mengatakan ada perubahan yang signifikan, Kendy lebih sehat dari sebelumnya. Apa yang terjadi hari inisungguh menyayat hati, kecelakaan itu merenggut tubuh anak sulungnya yang lemah. Kendy harus menjalani operasi saraf di kepala, karena telah terjadi benturan keras di kepala sebelah kiri. Malam semakin larut, semua terlelap tapi tidak untuk keluarga May dan Ken yang berduka atas musibah yang menimpa Ken. Beberapa waktu semua membeku, menunggu kabar operasi apakah akan berjalan dengan lancar. Operasi di kepala yang harus segera dilakukan.  Operasi berjalan lancar, namun Ken belum sadarkan diri. Ia masih dalam keadaan koma. Hal ini membuat May makin gelisah. Inaya baru saja tiba di Jakarta, ia tak bisa tenang meneruskan kuliahnya di Singapura ketika mengetahui kondisi Kakak semata wayangnya sedang koma. “Kak May ....” suara Inaya pelan. “Iya, Dik?” “Kak Kendy gak akan pergi, dia udah janji, dia gak akan pergi sebelum membahagiakan Kakak. Dia sangat mencintai Kak May,” Inaya serak, gadis manis itu menahan tangis yang membuncah ingin keluar dari kelopak matanya. “Ken sudah membuatku bahagia, sangat bahagia. Apa itu pertanda dia akan pergi? Seandainya aku tahu, jika syarat kepergiaannya adalah bahagiaku, maka aku tak ingin bahagia selamanya asal dia hidup dan bernapas,” Hati May teriris mengatakannya. Hanya air mata kepedihan yang menemani sesaknya dada May saat ini. Inaya juga tahu bahwa sangat sulit meyakinkan May untuk percaya bahwa Ken akan baik-baik saja. Inaya hanya ingin mengusir rasa kalut pada Kakak iparnya itu, juga pada dirinya sendiri. Inaya mencoba untuk lebih tegar di hadapan Kakaknya yang terbaring lemah. Gadis itu bahkan tak peduli dengan jilbabnya yang berantakan dan tak beraturan seperti biasanya. “Kak Kendy masih bernapas untuk Kak May, dia gak akan pergi, Kak. Kakak harus percaya pada janji Kak Ken, dia lelaki yang tak pernah ingkar janji.” May dan Inaya menangis tersedu. Luka itu menyayat dan mencabik-cabik hati, ingin marah pada siapa? Pada DIA Yang Maha Kuasa? Tidak mungkin. Allah SWT Maha Berkehendak dan selalu ada hikmah di baliknya. Ini luka yang mereka rasakan tapi tak mampu mereka jelaskan rasa sakit itu kian menyesakkan dada. “Kak Kendy pernah bilang, kalau dia akan membangun istana untuk bidadarinya, istana cinta yang akan ia bawa ke surga Allah, dan aku yakin Kak Kendy akan memenuhi janjinya itu, ia bahkan belum membangun apa-apa. Bagaimana mungkin ia akan pergi dan mengingkari janjinya? Sungguh Kak, Inaya yakin dia akan kembali sembuh dan bangun dari 133 131 koma, dia akan ada untuk hari-hari Kak May.” Hanya ratapan di dalam hati, semoga Allah SWT mendengar rintihan dan mengabulkan doa serta harapan May. Air mata May terus tumpah, ia tak tahu bagaimana caranya menghentikan tangisnya saat nyawa orang yang ia cintai berada di ujung tanduk. Namun May tak ingin berhenti berharap bahwa Allah akan turunkan mukjizat-NYA untuk menolong Kendy. “Allah, selama ini May tak pernah meminta apa pun, May hanya ingin berterima kasih, karena telah Engkau cukupkan semua kebutuhan hidup May. Tapi kali ini May ingin meminta pada-MU, tolong selamatkan nyawa Kendy. Beri ia hidup sekali lagi. May janji akan menyayanginya sampai titik darah terakhir. Beri ia hidup,” jerit hati May kepada Sang Khalik.  Waktu terus bergulir, sebulan telah berlalu. Ken masih koma, May dengan sabar menemani Ken. Entah karena kelelahan atau karena kesedihan yang melemahkan jiwa May, beberapa hari ini dia sangat lesu. Susah payah ia paksakan diri agar terus di samping Ken. Ia sering pusing dan mual-mual. “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam, Kakak!” May menghambur ke pelukan Aidil. “Kakak, hikhikhiks...” May terisak di pelukan Kakaknya yang baru saja tiba. “Yang sabar ya, May. Allah selalu punya rencana yang lebih indah dari rencana kita. Ayrin sedang hamil, jadi Kakak gak bawa dia ke sini. Kamu harus kuat, jaga kesehatanmu.” “May udah gak kuat, Kak. Rasanya May mau pergi duluan sebelum Ken pergi. May gak bisa biarkan Ken sendirian, jika Ken harus meninggal, May harus ikut.” “Husssttt, istighfar. Gak boleh ngomong gitu. Kamu gak tawakal kalau gitu. Ingat May, Ken bukan punya kamu. Ken punya Allah, jadi kalau Allah ingin mengambil milik-NYA, kenapa tidak? Sabar, Sayang. Yuk, kita salat. Saat ini hanya doa yang dibutuhkan Ken, bukan tangis dan ratapanmu May.” “May, Kak Aidil harus pulang. Sedang banyak proyek yang harus diselesaikan.” “Kak... May sering pusing dan mual-mual, kadang gak kuat nyium aroma obat-obatan. May tersiksa, May gak bisa biarkan Ken sendirian, tapi May gak kuat, May lemah.” BRUKKK. Aidil panik, May tiba-tiba pingsan di depannya.  May baru saja diperiksa, dokter mengatakan bahwa May baik-baik saja, hanya saja May harus banyak istirahat karena May sedang hamil. Ini berita bahagia, namun orang yang paling bahagia jika mendengar kehamilan May adalah Ken dan kini suaminya itu sedang koma. Ya Allah ... Aidil mendesah, ini sangat berat, itulah sebabnya May sampai terlihat sangat pucat dan lemah. Aidil tak mungkin meninggalkan May dalam keadaan seperti ini. Tapi Ayrin sang istri juga sedang hamil dan tentu membutuhkan Aidil di sampingnya. Aidil resah. Setidaknya Ayrin ada Ibu dan Bapak di rumah yang akan mengurusnya jika terjadi sesuatu, tapi di sini, May seorang diri dalam keadaan lemah. Aidil harus tetap di sini. Ia tak mungkin meninggalkan adiknya sendiri. Aidil meraih ponselnya, mencari nomor kontak istrinya, ia akan memberitahu jika ia harus menemani May dan Ken sampai semuanya membaik.  Setelah meminum obat dari dokter kandungan, May terlihat lebih segar. Ia lebih bertenaga dari sebelumnya. Beberapa hari ini Aidil setia menemani Adiknya itu. “May, kata dokter kamu hamil.” “Apa?” “Mas Kendy...” suara May pelan, ia meraih jemari suaminya yang masih terbaring dalam keadaan koma. Aidil mengamati tingkah adiknya itu. “Mas harus tanggung jawab. May hamil, ayo bangun. May gak akan memaafkan jika Mas pergi dan meninggalkan kami.” Air mata May tumpah lagi. Seharusnya senyum manis Ken merekah mendengar kehamilan May, harusnya Ken langsung mendekap May dan memeluknya erat, serta memberi kecupan hangat di kening May. “May... jangan gitu. Kakak gak kuat lihat kamu begitu,” Aidil memeluk adiknya dan menangis bersamanya. “Kamu harus yakin, Ken hanya sedang tidur. Ia harus istirahat, ia lelah setelah kecelakaan harus menjalani operasi, dan koma ini adalah waktu tidurnya, May. Ken hanya sedang istirahat,” Aidil serak. Bukan tak percaya jika Ken akan sembuh dan baik-baik saja. Namun melihat kondisi Ken yang kian melemah, membuat Aidil hampir kehilangan harapan, akan tetapi ia terus memberi semangat untuk May yang sedang terpuruk.  May tampak sangat rapuh, ia sedang mabuk berat, usia kehamilannya menginjak sebulan lebih, Ken masih koma. May terlihat lebih segar dan cantik, ia lebih merawat dirinya. Ia berharap saat Ken membuka mata, ia melihat bidadari, bukan perempuan lusuh dan kumal. Air mata May masih terus tumpah membanjiri pipi, namun ia berusaha lebih kuat dan lebih tegar. Selama hampir sebulan Ken koma di rumah sakit, selama itu hati May layu. Bunga-bunga yang dulu bermekaran kini berguguran dan mengering, namun akar cinta itu terus tumbuh dan bersemi. May akan tetap menjadi bidadari untuk Ken, ia akan tetap berbusana muslimah, ia lebih rapi dari biasanya. May akan tetap wangi walau Ken tak dapat mencium aromanya, setidaknya May telah mematuhi Ken yang selalu ingin May tampil lebih baik dari sebelumnya. “Kak Aidil, pulanglah. Kak Ayrin pasti menunggu Kakak di sana. May udah lebih baik. Begitu juga dengan Ken, kami akan pulang ke rumah. Doakan Ken dalam sujud panjang Kakak di sepertiga malam.” May menatap Aidil sendu, apalagi yang May dan Ken butuhkan selain doa dari orang-orang terkasih. May tak mungkin menahan kakaknya terlalu lama di sini. Sementara istri Aidil sedang hamil dan juga membutuhkan Aidil. May tak ingin memiliki kakaknya secara egois. “Tapi Ayrin mengerti, May. Aku akan tetap di sini sampai ....” “Ken sembuh?” Aidil mengangguk. May mendesah. May tak pernah putus asa, berharap dan berdoa untuk kesehatan dan keselamatan nyawa suaminya. Namun May tak dapat berbuat banyak selain memaksakan diri untuk berserah diri, bertawakal. Jika mengikuti ego, May inginkan Ken sembuh saat ini juga dan pulang, berkumpul bersama semua keluarga yang penuh cinta itu. Tapi May tak bisa lakukan itu, semua telah menjadi kehendak Illahi. May hanya bisa melantunkan sebuah doa dan harapan, selebihnya biar Allah yang mengatur. “Pulanglah, Kak. May baik-baik saja,” ujar May parau. Ia tak mampu melanjutkan kata-kata yang mengiris hatinya sendiri. May tak ingin Aidil terlibat jauh hingga melupakan kewajibannya sebagai 138 136 suami. May ingin terlihat kuat di depan Aidil, walaupun berat. “Pulanglah, Kak.” “Baiklah, aku pulang, May. Tapi, berjanjilah kamu akan baik-baik saja dengan keadaan apa pun yang telah Allah takdirkan,” Aidil bergetar mengucapkannya. Ia tak sanggup melihat duka di wajah adik semata wayangnya itu, namun sepertinya ia harus percaya bahwa kini May lebih dewasa dan dia harus lebih bijak menyikapi permasalahan dalam hidupnya. “Aku akan baik-baik saja, semua akan baik-baik saja. Aku akan membawa Ken pulang dan kita bisa berkumpul seperti biasa.” “Baiklah, aku pulang May, jaga dirimu. Jangan lupa berobatrutin ke dokter kandungan, dan kamu bisa menghubungiku kapanpun kamu butuh.” “Makasih, Kak.” “Assalamualaikum, May. Aku pulang,” May menatap sendu kepergian Aidil, May akan menjaga Ken dalam keadaan apa pun juga, walau May tertatih-tatih. Walau jiwa kian rapuh dan raga mulai semakin lemah. May tak akan pernah meninggalkan Ken. Maymendekati Ken yangmasih terbaring tak berdaya, ia duduk disamping Ken, meraih jemarinya. Ia menatap wajah suaminya, lelaki itu tak pernah terlihat jelek dalam keadaan apa pun, ia pangeran tampan, baik hati dari negeri dongeng yang datang dalam kehidupan nyata May.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices