don't touch me
Don't Touch Me

Don't Touch Me

Reads
89
Votes
0
Parts
16
Vote
by Titikoma

16

Setiap saat waktu yang May miliki kini hanya ditemani kesunyian dan kebisuan, namun May terus saja bicara dengan Ken. “Mas, kalau anak kita lahir, kasih nama siapa?” May berbicara, seolah Ken mendengar. “Mas kapan ngelus perut May, anak kita menunggu?” May bicara lagi. “Mas... May ingin ditemanin ke dokter kandungan, ayolah Mas, bangun.” “Mas, Bapak sama Ibu kangen.” “Mas, karyawan merindukanmu.” “Mas, buka matamu, lihat May lebih cantik sekarang, May rajin mandi. May pakai bedak walaupun sedikit, May pakai lipstik walaupun secuil, May juga pakai deodoran biar wangi terus dan juga pakai parfum kesukaan kamu, wanginya kalem,” May bicara dengan derai air mata. Hampir setiap saat, May bicara pada Ken, seolah Ken mampu mendengar semuanya. May bicara pada Ken tentang banyak hal. 2 bulan sudah Ken dirawat dalam keadaan koma. 2 bulan usia kehamilan May dan May mencoba kuat. Hampir setiap saat pula May menggenggam jemari suaminya, ia berharap genggaman itu menularkan energi positif yang akan membangunkan suaminya dari koma. Pagi ini May melakukan hal yang sama seperti biasanya, berbicara pada Ken, menggenggam jemarinya erat. “Assalamualaikum ... cahaya matahariku yang menerangi jiwa, pelangiku yang memberi jutaan warna keindahan, rembulan yang menerangi malam panjangku dan bintang kejora yang memenuhi cinta di langit hatiku.” Kata-kata Ken waktu itu, May tak bisa lupa pada kata-kata indah Ken itu, kata-kata yang tulus dari hati, bukan sekedar syair. Ken harus tahu, bahwa May juga mencintai Ken. Air mata May tumpah lagi dan lagi, ia tak sanggup meneruskan kalimatnya, kalimat untuk menggoda suaminya, kalimat romantis yang dulu di kirim Ken melalui WA. Yang sengaja May ungkapkan, ia ingin menggoda suaminya, ia ingin Ken tahu bahwa May juga bisa romantis.  Ken mengirim pesan romantis itu di whatsapp kepada May sebelum Ken kecelakaan, ia asyik tersenyum menatap layar ponselnya, ia senang karena berhasil membuat rangkaian kata-kata romantis untuk istrinya waktu itu. Tiba-tiba kecelakaan itu terjadi, sebuah mobil melaju dan Ken belum sempat fokus mengendalikan mobilnya dengan baik. Satu hal yang Ken ingat, ia harus bangun sekarang. Ia harus menatap wajah istrinya. Tiba-tiba jemari Ken bergerak pelan. May merasakan jantungnya berdetak kencang, air matanya tumpah semakin deras. Air mata bahagia. Allah telah mendengarkan harapannya dan mengabulkan doanya. “Dokter!” May bersemangat, ia benar-benar akan membawa Ken pulang ke rumah dalam keadaan baik. “Allahu akbar!” Hati May menjerit mengagungkan yang Maha Agung Allah SWT. Ken membuka matanya pelan, untuk pertama kalinya ia membuka mata, dan sosok yang terlihat adalah orang yang paling ia rindukan, May. “May…” “Iya, Mas. May di sini, di sampingmu, May selalu di sini,” May menangis haru, ia menggenggam erat jemari suaminya. May bersyukur Ken langsung menyebut namanya. Setelah Dokter memeriksa Ken dengan pernyataan bahwa Ken semakin membaik, May merasa dunianya kembali penuh warna merah jambu, virus cinta dan semua keindahan kembali memenuhi rongga dadanya yang telah sesak 2 bulan. Beberapa saat kemudian Ken kembali menutup matanya, bukan kembali koma, kata Dokter ia hanya tertidur, dan itu bukan hal yang fatal. Tubuhnya masih sangat lemah, semua akan membaik, tentunya butuh proses dan bertahap. May menghubungi semua keluarga serta kerabat lainnya. Semua bahagia mendengar kabar baik bahwa Ken sudah siuman. May menunggu semua membaik untuk membawa suaminya pulang. Tiba-tiba May merasa inisurga di dunia,surga yang Allah hadiahkan untuk May, hidup yang penuh rahmat dan kasih-NYA. Ken terbangun dari koma, karena rahmat dan kasih sayang Allah. Alhamdulillah, Subhanallah, Laa ilahaillallah, Allahu akbar. Hati May bertasbih.  May termenung sejenak, sambil menunggu semua prosedur administrasi Ken selama di rawat. May tahu, koma bisa saja bertahun-tahun bahkan ada yang berpuluh tahun, tapi bisa sadar pula karena kekuasaan Allah. Sungguh May sangat bersyukur bahwa dirinya hanya menunggu 2 bulan lamanya. Meskipun waktu selama itu May lalui dengan seluruh jiwanya yang tertatih. Sungguh Allah sangat sayang pada May, ia merasa malu. Dulu tak begitu mengenal Islam secara kafah. May menyesal karenanya, tapi May tak akan mengulang kesalahan yang sama. May akan belajar dan memperdalam keislamannya.  Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah. Ken memang belum pulih seutuhnya. Namun keadaannya mulai membaik. Ken sangat merindukan Ibu dan Bapaknya. Inaya sang Adik telah kembali meneruskan kuliahnya. Setelah tahu bahwa Kakaknya baik-baik saja, Inaya kembali ke Singapura. “Kendy!” Ibu Ken berlari menghampiri Ken yang baru saja tiba di rumah. “Anakku,Ibutahukamupastiakanpulang.IbutahuMayakanmembawamu pulang, hiks.” Ibu menangis penuh haru. “Terima kasih May, kamu menjaga anak kami dengan baik,” Bapak menepuk pundak May. “Anak Bapak, suami May. Jadi sudah menjadi kewajiban May untuk menjaganya. May akan merawat Ken sampai kapanpun, May akan tetap di sini, di samping Ken sampai habis waktu. May tak akan meninggalkan Ken dalam keadaan apa pun juga.” Rumah Surya Ningrad penuh tangis bahagia, keluarga Surya Ningrad dan keluarga Sanjaya berkumpul menyambut kepulangan Ken. Semua berharap kesehatan Ken akan semakin membaik. Ken dan May akan menjalani hidup dengan baik. Semua waktu sangat berharga, kita tak tahu kapan Malaikat Allah datang menjemput, jangan sia-siakan waktumu. Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan merugi (celaka) Kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran. (Q.S Al-Ashr;1-3). Beberapa bulan setelah Ken istirahat total di rumah, ia mulai kembali bekerja di kantornya. Ken mulai kembali sibuk dengan aktivitas kantor. Kini ia pun selalu mengunjungi rumah singgah yang didirikan May, dan juga sanggar seni lukis dan seni musik itu. Ken tak pernah lupa bahwa kini ia donatur tetap rumah singgah istrinya itu. Ken juga selalu menemani May berkunjung dan berkumpul dengan anak-anak jalanan yang terdiri dari anak yatim piatu. May dan Ken pun menikmati hari-hari sebagai calon orang tua. Dengan sabar, Ken menemani masa-masa May mengidam. Mungkin benar jika kehadiran anak—calon anak tepatnya, membuat beberapa perubahan baik dalam sebuah hubungan suami istri. Contohnya, Ken harus rela menahan kebenciannya pada jengkol dan pete saat May mengidam ingin makan sambal pete dan jengkol goreng sebagai lalapan. “Makan yang lain aja, May. Jangan itu,” Ken berusaha membujuk agar May tidak memakan sesuatu yang dibencinya. “Mas, yang minta bukan aku, loh. Tapi dia,” May menunjuk ke arah perut dengan mengerling genit. Berbulan-bulan May tidak memakan makanan favoritnya. Setidaknya, memanfaatkan momen ngidam dapat membuat keinginan terpendamnya itu terpenuhi. Ken menatap May dan perut istrinya secara bergantian. “Kalau gak diturutin, nanti anak kita ileran. Mau?” May masih berusaha meruntuhkan tembok ketidaksukaan Ken terhadap pete dan jengkol. Lebih dulu menarik napas dalam-dalam, sampai akhirnya pernyataan itu keluar. “Baiklah. Untuk kali ini, Mas izinin kamu makan itu.” “Makasih, Mas.” May mendaratkan ciuman di pipi suaminya itu. Sementara Ken hanya tersenyum canggung. Kebahagiaan untuk istrinya, tapi derita baginya.  Usia kehamilan May kini memasuki 9 bulan, ia menunggu hari kelahiran. Ken sudah sehat dan kondisinya semakin membaik. Namun pesan dokter pribadinya, ia tetap harus menjaga pola makan, istirahat yang cukup dan tidak membiarkan tubuhnya kelelahan. “Sayang, aku berangkat. Kalau ada apa-apa, telepon aku. Ibu juga di rumah, kalau berasa kayak mau lahiran, panggil Ibu di kamarnya. Minta tolong Bibi atau yang lain,” Ken khawatir jika May melahirkan sedang dirinya di kantor. “Atau hari ini Mas gak usah berangkat ke kantor, May merasa takut, Mas. Kayaknya udah mulai mules-mules gitu, deh.” “Ya udah, kalau kamu maunya gitu, hari ini Mas gak kerja aja,” Ken duduk di sebelah May. Di dalam kamarnya, May dan Ken harap-harap cemas. “Kita ke rumah sakit sekarang aja, yuk,” ajak Ken. “Tapi belum, Mas.” May memegang buku KMS ibu hamil. Ia membaca tanda-tanda melahirkan. “Mulesnya belum sering-sering kok, Mas.” Ken meraih buku berwarna merah muda, buku Ibu hamil. Kemudian membacanya. “Ayo ke rumah sakit sekarang, May. Mulesnya emang masih jarang, tapi akan semakin bertambah. Sebentar lagi akan bertambah mules, semakin sering dan gak lama melahirkan. Ayo, aku gak mau kamu kenapa-napa,” Ken panik. Ken meraih tangan May, ia membimbing istrinya keluar dari kamarnya. Ia akan membawa May ke rumah sakit. Ia tak ingin terjadi sesuatu yang fatal pada istri dan bayinya. “Ken…” Ibu menghampiri Ken. “Ken mau ke rumah sakit, Bu. Kayaknya May udah mau melahirkan, perutnya udah mules-mules, nih,” jelas Ken. “Ibu ikut, sebentar. Ibu panggil Bapak, biar Bapak yang bawa mobil, biar Ibu sama kamu fokus jaga May.” “Mang Kiwil mana, Bu?” Ken menanyakan supir pribadi Bapak.  “Ada, biarin dia istirahat. Bapak juga bilang kalau mau nunggu cucunya lahir,” Ibu bergegas ke kamar menemui Bapak yang sedang berbaring santai. “Ayo, Pa. Kita antar May ke rumah sakit. Cucu kita mau lahir,” Ibu senang. “Ayo, Ma. Oiya, jangan lupa hubungin Sanjaya. Biar semua keluarga tahu kalau May mau melahirkan,” Bapak bangkit dari tidurnya. Setelah Bapak dan Ibu bersiap, keduanya bergegas menemui May dan Ken yang menunggu di ruang tamu. “Ayo berangkat.”  Keluarga Sanjaya dan keluarga Surya Ningrad berkumpul di ruang tunggu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Aidil dan Ken cemas. May perempuan yang kuat, tapi tetap saja, mereka khawatir. Melahirkan itu perjuangan seorang wanita dengan taruhan nyawanya. “Ken, sebaiknya kamu masuk, temanin May,” Ayrin menyarankan. “Aku takut, Rin,” Ken cemas. “Dulu saat aku melahirkan, Mas Aidil disampingku. Pasti May juga maunya gitu, Ken.” Ayrin meyakinkan Ken. “Iya, Ken. Kamu masuk aja. Kasi semangat buat May,” Aidil menimpali. “Aku takut gak kuat lihat May kesakitan, Dil. Aku gak tega.” “Masuklah, Ken. Biar kamu tahu perjuangan Ibu melahirkan kayak gitu,” Ibunya Ken bersuara. “Masuklah, Ken. May membutuhkanmu,” Ibunya May juga bicara. Akhirnya Ken memberanikan diri. Ia masuk menemui May di dalam ruang bersalin. Wajah May berkeringat, ia meringis menahan sakit yang teramat sangat. Sang bayi di dalam perut sedang mencari jalan ke luarnya. Sakit memang, itulah perjuangan seorang Ibu. May merasa kesakitan yang tak mampu ia jelaskan. “Kalau sakit, tarik napas dan embuskan pelan-pelan ya, Bu. Jangan ngedan dulu. Belum saatnya, masih pembukaan dua, Bu,” ujar seorang bidan bertubuh mungil di sebelah May. “Iya, terima kasih.” Ken mendekati May, ia berdiri di sebelah May yang sedang duduk di ranjang ruang bersalin. “Sakit banget, ya?” Ken iba melihat May. “Iya, Mas. Tapi May senang, bisa merasakan perjuangan Ibu. Begini ternyata, sakit.” May menuturkan rasa yang kini ia rasakan. Rasa sakit yang tiba-tiba muncul, dan kadang hilang beberapa saat. Lalu muncul lagi dengan rasa sakit yang lebih hebat. Keringat terus menetes, membasahi tubuh dan wajah May. Sebisa mungkin ia menahan rasa sakit itu. Ia tak boleh kalah dengan rasa sakit ini. 147 145 “Kalau mau nangis, nangis aja, Sayang.” May tersenyum geli sembari menahan sakit di bagian perut yang terasa melilit hingga ke bagian pinggang dan melemahkan sekujur tubuh. “Mas kok malah nyuruh May nangis, sih?” May mencoba mengukir senyum. Ia ingin membuat Ken yakin, bahwa dirinya akan baik-baik saja. Ken menitikkan air mata, ia menangis dalam diam. May jadi bingung. Kenapa malah suaminya yang nangis, sih? Ken lucu juga, ya. May jadi ingin tertawa di sela rasa sakitnya. “Mas, kok jadi cengeng, sih? May gak apa-apa. Mas jangan nangis gitu, ah. Malu dilihat dokter dan perawat,” May mengusap air mata Ken. May meraih jemari Ken. May ingin Ken benar-benar yakin bahwa semua akan baik-baik saja. Ini perjuangan seorang Ibu. May beruntung bisa merasakan perjuangan ini. “Seandainya bisa, biar aku aja yang merasakan sakitnya,” Ken pelan. “Belum rasain aja, Mas udah mewek, hehe.” Ken yang melihat May seperti tanpa beban itu menjadi sedikit tenang. Jika May bisa setenang itu, harusnya Ken lebih santai. Ia yang seharusnya memberi dukungan kepada istrinya agar lebih kuat menghadapi proses persalinan yang tak mudah ini. Uhh, Kenmenarik napas, mendesah pelan. Ia merasa seperti orang bodoh, linglung, ia tak tahan menyaksikan kesakitan yang dirasakan istrinya. Namun rupanya ia tetap harus kuat. Ia seorang Ayah yang menunggu kelahiran buah hati. Ia tak akan menangis lagi, harusnya ia tersenyum bahagai dan senang. Sebentar lagi ia akan melihat buah cintanya. Sakit yang May rasakan semakin hebat, hampir-hampir May tak mampu menahannya. May menjerit dalam hati. Berulang kali ia istighfar dengan suara pelan. “Astaghfirullah,” ucap May pelan. Ken tahu, May sedang menahan sakit. Ia mengenggam jemari istrinya. Agar May tahu bahwa Ken juga merasakan rasa sakit itu. “Ayo baring, Bu.” Bidan dan dokter menghampiri May. May menuruti perkataan dokter. Ia berbaring, rasa sakit itu semakin membuat May ingin menjerit. Bidan memeriksa May. May merasa tidak tahan lagi, mungkin bayinya sudah menemukan jalan ke luar. “Pembukaannya sudah sempurna, Bu. Kita mulai ya, Bu. Kalau sakit, Ibu bisa mengedan. Yang kuat ya, Bu.” Bidan menjelaskan setelah ia mengecek kondisi May. Saat-saat yang menegangkan ini terjadi di depan mata Ken. Ia menyaksikan May menarik napas panjang, mengembuskannya. Begitu seterusnya. Lalu kemudian beberapa kali May mencoba menuruti perintah dokter dan bidan. “Ayo, Bu. Sedikit lagi,” dokter menyemangati May. Jemari kanan Ken terus menggenggam jemari May. Ia membiarkan May meremas jemarinya kuatkuat. Ia tahu May kesakitan. “Ayo, Bu. Sedikit lagi,” dokter berkata lagi. “Allahu akbar…” kekuatan yang Allah berikan kepada May, ia melahirkan seorang bayi mungil ke dunia ini. Ngeak, ngeak, ngeak! Suara bayi itu membayar kelelahan May yang berjuang beberapa waktu. Bidan segera membersihkan bayi mungil berjenis kelamin laki-laki itu, beberapa saat kemudian bidan menyerahkannya kepada dokter, lalu dokter menghampiri May. “Berikan ASI pertamanya,” dokter meletakkan bayi mungil itu tepat di atas dada May. Ken mencium kening May dan menggendong bayinya. Ia mengumandangkan azan di telinga bayinya. Setelah itu ia kembali meletakkan bayinya ke dada May. Bayinya harus mendapatkan asi pertamanya. Rasa syukur, bahagia menjadi satu. Ken sangat bahagia dan sangat bersyukur. Kini ia menjadi seorang Ayah. Bayi mungilnya akan menemani hari-harinya, bayi itu akan meramaikan rumah Surya Ningrad. Rumah Surya Ningrad kembali ramai, keluarga Sanjaya juga berkumpul. Aidil, Ayrin, Bapak dan Ibunya May ikut meramaikan suasana. Inaya baru tiba tadi malam, ia ingin melihat ponakannya. Ia diberi izin selama seminggu oleh dosen kampusnya. Jadi ia bisa berada di Jakarta sebelum kembali ke Singapura melanjutkan kuliahnya. “Ih, lucunya. Mirip Tante kece, Inaya Arsilla Putri Surya Ningrad,” Inaya berbinar. “Mirip Pamannya, Aidil Rahman Sanjaya, hehe,” Aidil tak mau kalah. Para orang tua hanya tersenyum menanggapi celotehan Inaya dan Aidil yang merasa baby Ken mirip dengan mereka. “Mirip siapa aja, asal sehat dan menjadi anak yang saleh itu udah Alhamdulillah banget,” Ibunya Ken angkat suara. “Yang jelas gak mirip tetangga, hehe.” Ken terkekeh. Suasana di ruang tamu penuh kehangatan dua keluarga. Orang tua May dan Ken sangat kompak, selain karena sahabat akrab sejak dulu, mereka memang saling mengagumisatu sama lain. Orang baik-baik akan berjodoh dengan orang yang baik pula. Begitu yang Ken ketahui sejak lama. Keluarga Surya Ningrad yang baik bertemu dengan keluarga Sanjaya yang sangat baik. Ken dan May yang baik dipertemukan dalam ikatan suci pernikahan. Bertambah lengkap dengan kehadiran bayi mungil di dalam kereta bayi yang lucu itu. Bayi mungil May dan Ken. “Siapa namanya, Ken?” tanya Aidil. “Abid Aqila Rajendra. Artinya laki-laki yang ahli ibadah, sangat tampan dan berakal,” jawab Ken. “Panggilannya, Abid atau Rajendra?” Inaya berseri. Ia suka nama yang Ken pilih untuk bayi mungilnya. Menurut Inaya nama itu sangat keren, artinya juga bagus. “Bagusnya panggil apa, ya?” tanya May. Kalau panggilannya Aqila tentu saja menyerupai nama perempuan. Bayi mereka laki-laki. “Abid aja lebih ringkas,” Aidil mengusulkan. “Rajendra aja lebih keren,” Inaya tak mau kalah. Ken dan May saling tatap, lalu tersenyum bersamaan.  “Terserah kalian aja, deh.” Ken pasrah. Sejak tadi Aidil dan Inaya bertentangan. Harusnya Tante kece dan Om yang tampan itu berdamai di saat-saat berbahagia ini. Inaya melirik Aidil, sepertinya Inaya harus meyakinkan Aidil bahwa Ranjendra itu nama yang keren. Bukan berarti Abid tidak keren, tapi sudah basi. Banyak nama Abid di Indonesia. “Rajendra aja Kak Aidil, lebih keren. Nama Abid kan udah banyak banget,” Inaya merayu Aidil berdamai. “Hem, setuju. Inaya benar, nama Abid sudah banyak, tuh.” Ayrin mendukung Inaya. “Tuh, Kak Ayrin juga tahu kalau Rajendra lebih keren buat nama panggilan bayi mungil ini,” Inaya menyentuh pipi mungil bayi May yang tertidur di kereta bayi. “Ayo angkat suara, siapa yang milih Abid dan siapa yang milih Rajendra?” Aidil belum menyerah. “Abid,” sahut Bapak Ken. “Rajendra,” jawab Ibu Ken. “Abid,” ujar Bapaknya May. “Rajendra,” kata Ibu May gak mau kalah. “Rajendra,” usul Ayrin istri Aidil. “Rajendra,” sahutInayamerasamenang. Iamendapatkan suara terbanyak, he. “Gimana, Kak?” Inaya tersenyum puas, ia melirik Aidil. “Iya, deh. Rajendra. Kepanjangan, tuh. Paling nanti kalau orang manggil jadi … Raje atau Ndra.” Aidil pura-pura kesal. “Gaklah, nanti orang panggilnya, Raj atau Ra. Raj aja udah singkat gak kepanjangan dan pastinya keren, hehe.” Inaya menang. “Iya, deh.” Aidil menyerah.  “Baby Raj, ayo bangun. Tante kece mau ajak jalan-jalan,” ujar Inaya pelan. Suasana kembali hangat setelah pemilihan nama panggilan yang melibatkan perdebatan kecil antara Tante kece Inaya dan Om tampan Aidil. “Minggu depan kita acara aqiqah buat baby Raj,” Ibunya Ken menginformasikan. “Baiklah, kami yang akan mengatur segala kebutuhannya,” sahut Ibunya May. “Kami saja,” Ibunya Ken bersemangat. “Gak apa-apa, kami aja.” “Kami aja, Sayang,” rayu Ibunya Ken lagi. Aidil dan Ken saling pandang. Aidil mengangkat alis, mengisyaratkan keheranan kedua Ibu yang berebut untuk persiapan acara aqiqahan baby Raj. “Hem, biar Inaya saja yang mengatur semuanya, Bu.” Aidil tersenyum nakal ke arah Inaya. Ia hendak mengusili Adik Ken. “Yee, Inaya mah ngurusin baby Raj. Soalnya kalau balik kuliah, Inaya bakal lama lagi baru bisa lihat baby Raj.” “Biar Ken aja, Bu. Ken harus belajar, ‘kan?” Ken menengahi. Ibu-ibu cantik yang berjilbab itu mengangguk. Ken memang harus belajar mandiri. Orang tua Ken dan May akan tetap memberikan dukungan untuk anakanak mereka. Semoga Allah menjaga keutuhan keluarga Ken dan May. Semoga keluarga May dan keluarga Ken selalu bisa bersatu seperti ini, semoga tak ada perselisihan yang berarti. Semoga selalu ada penyelesaian di setiap masalah. Ibu berharap demikian dalam hatinya, di setiap doa dalam sujud-Nya kepada Sang Khalik. 

~~Tamat~~


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices