
by Titikoma

Dua
Masa lalu memang sebuah pelajaran, maka kujadikan lembaran itu untuk mengingatkanku supaya tidak lagi percaya akan sinar bintang dan kesetiaan. Titik-titik air hujan membasahi tanah pagi sang ibukota. Mentari bersembunyi di balik awan kelabu dan nyanyian burung ikut terdengar di ranting pohon cemara di depan rumah. Kurapatkan jaket berwarna cokelat sampai menutupi lutut yang berbalut jeans hitam. Tak lupa sebuah syal biru muda ikut melingkar menutupi leherku. Andai bukan karena sebuah pekerjaan, aku tidak akan mau menembus hujan dengan payung di tangan menelusuri jalanan yang basah. Bukankah akan terasa nikmat jika menghabiskan waktu dengan menikmati secangkir teh hangat ditemani putaran drama Korea? Semenjak lulus dari SMA, aku bekerja di toko kue milik Tante Yuni setiap jam dua siang. Tante Yuni adalah teman baik mama. Dia pula yang mengajakku ke Jakarta supaya sedikit menyamarkan masalah yang melibatkan tentang papa. Ya, memori tentang kepergian papa sejak pertengkaran itu membuatku sangat down. Air mata mama, kehancuran keluarga hangat kami, semua teringat begitu jelas di kaset otakku. Dan meski pada akhirnya kedatanganku ke Jakarta membuatku tidak merasa lebih baik. Aku dikhianati oleh Tian dan lalu oleh Riza, hingga semua itu memperjelas alasanku untuk tidak percaya lagi mengenai cinta. Aku suka seni. Hal itu pula yang menjadi modal untuk mendesain setiap cake Tante Yuni. Aku tak menyangka bahwa dia sangat menyukai hasil karyaku serta sangat mengandalkanku hingga begitu senang bekerja di tempatnya. Selain mendapatkan penghasilan untuk memenuhi semua kebutuhan, aku menikmati pekerjaanku. “Kak Manda, lusa aku ulang tahun loh,” Dina, putri tunggal Tante Yuni yang sudah kuanggap seperti adikku sendiri menghampiri. “Oh, ya? Lalu bagaimana?” aku berhenti mempermanis beberapa cupcake dengan butiran cokelat dan beralih menatapnya. “Aku ingin Kakak yang membuat kue ulang tahunnya. Aku sudah bilang sama Bunda, kok!” Gadis berusia sepuluh tahun itu tersenyum. Ah, senyumnya mengingatkanku pada Ara, Mbak Nadia, dan Mama. Hampir dua tahun aku tidak pulang. Mbak Nadia bekerja di salah satu perusahaan di Bogor. Aku tidak ingin merepotkannya yang sudah harus menjadi tulang punggung keluarga, jadi aku tinggal di Jakarta dan mencoba mandiri. Kuliah ekonomiku hampir selesai, tinggal menunggu beberapa waktu lagi untuk menyusun skripsi. “Kak, kok Kakak bengong?” goyangan pelan di bahu membuatku sedikit terlonjak. “Eh, enggak kok, Kakak tidak sedang bengong. Tenang saja, nanti akan Kakak buatkan.” “Kak Manda, yang bagus ya hiasan kuenya? Pokoknya lebih bagus dari kue ulang tahun milik Siska minggu kemarin,” kata-kata Dina yang tak kurang dari sebuah tuntutan terdengar menggemaskan. “Kalau bagus, kamu mau memberi Kak Manda hadiah apa?” godaku. “Nanti aku akan mengenalkan Kakak sama Om-ku yang gantengnya luar biasa ngalahin artis-artis Korea, loh,” penjelasan Dina membuat lututku lemas dan merubah roman wajahku menjadi tidak bergairah. Aku tak mau berurusan dengan laki-laki dan sekarang gadis kecil itu mau mengenalkanku sama om-nya, laki-laki tua? Yang benar saja! “Aduh, Sayang, kamu ada-ada saja deh. Masa Kakak mau dikenalkan sama om-om? Kakak gak mau. Lagian Kakak sedang gak mau berurusan dengan laki-laki, oke?!” timpalku dan kembali serius dengan mocca cupcake di depanku. “Om-ku itu belum tua, Kak! Kayaknya dia cocok sama Kakak, kok. Kakak cantik, dia juga tampan, baik lagi.” Aku mendesah pelan. Kenapa Dina bisa berpikiran seperti itu? Penyakit Risa yang suka menjodoh-jodohkanku sudah menyebar pada gadis ini ternyata. “Kalau begitu, Kakak akan hias kuenya lebih jelek dari punya Siska kemarin deh. Hadiahmu tidak menggiurkan,” ujarku dengan senyum penuh ancaman. “Wah, wah… jangan dong, Kak! Iya deh, aku gak bakalan ngenalin Kak Manda sama dia. Tapi, kayaknya Kakak akan kenalan sendiri, hehe. Eh, ngomong-ngomong Kakak sudah nyiapin hadiah buat aku tidak?” “Belum. Ulang tahunnya kan masih lusa, jadi Kakak belum mempersiapkannya,” ujarku yang ditimpali dengan bibirnya yang berubah kerucut. “Jangan cemberut begitu, Kakak tidak akan lupa kok sama kadonya,” lanjutku. “Bukan karena itu, Kak. Sebenarnya aku sedih. Di pesta ulang tahun besok pasti Ayah tidak akan datang. Bunda tidak akan mengizinkan ayah menemui aku,” kulihat bola mata Dina mulai berkaca-kaca. Aku merasakan kesedihan yang dialami Dina. Di usianya yang masih kecil, dia harus merasakan perihnya keretakan keluarga. Seperti aku. Tante Yuni dan Om Tio cerai setahun lalu. Jika bertanya kenapa, semuanya persis seperti kehidupanku dulu. “Sayang, kenapa kamu tidak bilang saja pada Bunda untuk mengundang Ayahmu besok?” usulku seraya mendaratkan telapak tangaku di kedua bahunya yang kecil. “Bunda tidak akan pernah setuju. Apalagi Ayah sudah menikah lagi. Bunda pasti akan sangat marah. Aku hanya ingin bertemu Ayah untuk mendengar dia mengucapkan selamat ulang tahun untukku.” Dina memang masih sangat polos. Dia seperti Ara yang masih mengharapkan papanya pulang tanpa pernah tahu mengapa kejadian seperti ini bisa terjadi. Tidak seperti aku. Jangankan mengharapkannya datang kembali, bertemu dengannya pun aku tak ingin. “Dina, mungkin Bunda memiliki alasan kenapa kamu tidak perlu bertemu dengan Ayah. Tapi, Ayahmu pasti mengucapkan ‘selamat ulang tahun’ untukmu. Sudah jangan sedih lagi, nanti lucunya hilang loh!” kusapu air mata yang mengalir di pipi halusnya. Dina tersenyum lalu beranjak pergi. Di luar jendela tidak ada tanda-tanda hujan akan reda dan malah turun semakin deras. Aura dingin menyeruak. Namun, cuaca seperti ini membuat tempat kerjaku semakin ramai. Ya, mungkin aku tidak pantas menyebut tempat ini dengan sebutan ‘Toko Kue’. Karena nyatanya tidak hanya berbagai macam cake yang dijual di sini, tapi berbagai minuman pun tersedia. Tempatnya tidak hanya sebuah ruangan kecil dengan pajangan kue dalam etalase. Ruangan yang cukup luas ini memiliki interior klasik dan menyerupai sebuah kafe. Hanya saja, menu utama kami tetap kue. Jadi, tidak salah juga tempat ini dinamai ‘Kafe Cake’ sejak lusa kemarin seperti usulku. Aku bekerja sebagai kasir, meski sesekali membantu menghias kue saat waktu luang. Dan aku akan dipaksa meninggalkan pekerjaan utamaku saat ada pesanan cake ulang tahun atau untuk acara lainnya. Aku cukup senang dengan kepuasan Tante Yuni setiap aku menghias pesanan kue itu dengan sempurna. “Brownies chocolate cheese dan teh hijau hangat masing-masing satu,” sebuah suara terdengar menghampiriku. “Semuanya empat puluh ribu rupiah,” timpalku langsung menulis pesanannya dan memberikannya pada temanku yang bertugas memberikan pesanan tanpa melihat wajah pelanggan di depanku. “Silakan nomor mejanya dan tunggu sebentar. Terima kasih,” ungkapku dengan nada ramah seraya memberikan nomor meja tiga belas lalu menatap ke arahnya. “Manda?!” laki-laki yang menyebut namaku dengan sedikit terkejut itu ternyata Dion, “Ternyata kamu bekerja di sini?” “Eh, Di. Iya, aku bekerja di sini,” timpalku dengan sedikit memaksakan bibirku untuk tersenyum. “Oh ya, kamu pulang kerja pukul berapa?” tanyanya lagi yang sebenarnya membuatku malas untuk menjawab. “Pukul sembilan malam.” “Oh, kebetulan aku ada urusan di sekitar sini. Nanti pulangnya bareng aku, ya?” tawarnya yang tidak memberiku waktu untuk mengatakan ‘tidak usah’ karena dia sudah berlalu dan seperti biasa menyisakan senyuman khasnya. Aku mengambil napas berat. Biarlah. Setidaknya untuk saat ini. “Manda, laki-laki itu pacarmu?” Tante Yuni yang entah sejak kapan tibatiba sudah berada di sampingku hingga membuatku terlonjak. “Tante membuatku kaget saja. Bukan, dia teman kampusku, teman SMP Risa,” terangku, tak ingin membuatnya berpikiran yang tidak-tidak. “Oh, teman ya?” timpalnya dengan senyum yang seakan menggodaku. “Bukan pacarmu?” “Bukan. Tante bicara apa sih? Tante kan tahu bagaimana aku. Eh, Tante, besok lusa Dina ulang tahun, kan?” kualihkan pembicaraan dari persoalan yang tak menarik. “Oh, iya, Tante hampir lupa mau bicara. Kamu yang menghias cake-nya, ya? Untuk dua hari besok kafe tutup dulu. Tante akan sibuk mempersiapkan pesta itu. Kamu mau kan bantu Tante?” “Of course, apa yang tidak buat Tanteku yang baik ini.” Jam di dinding warna cokelat muda menunjukkan tepat pukul sembilan. Laki-laki yang selalu tersenyum dengan ciri khasnya yang mungkin sedikit manis itu sudah menungguku di luar kafe. “Cie… yang dijemput pacarnya. Ternyata title jomblo yang sudah melekat setahun ini sudah dilepas, ya?” Nina, teman kerjaku yang berpostur gemuk dan sangat bawel ini menggodaku. “Bukan, we’re just friend, ok!” kilahku setelah mengganti kemeja kerja dengan merapatkan jaket cokelatku. “Kalau begitu dia buat aku saja, ya?” timpalnya yang membuat Roni— pacar yang juga rekan kerjanya—berdehem. “Eh, enggak kok, Sayang. Aku cuma bercanda,” aku tertawa geli lalu mengucapkan selamat malam dan berlalu menghampiri Dion. “Sudah selesai? Yuk, mobilku di sana!” ungkap Dion segera setelah menyadari kehadiranku. Hujan sore tadi masih menyisakan jalanan dan pepohonan yang basah. Dinginnya pun masih terasa menusuk kulit. Tak ada percakapan yang penting di dalam mobil semenjak perjalanan menuju rumahku, kecuali basa-basi semata. Ya, karena aku memang menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan Dion sekadarnya. Bila tidak ditanya, aku diam tanpa menciptakan obrolan lain. “Kamu masuklah dan cepat istirahat, ya. Selamat malam, Manda,” Dion melajukan mobilnya berlalu pulang setelah mendengar ucapan selamat malam dariku. ‘Tanpa disuruhnya pun aku akan cepat masuk lalu istirahat,’ timpalku dalam hati. Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur yang selalu menjadi tempat favorit. Sebuah foto yang berbingkai hati mengambil alih perhatianku. Ada mama, aku, Ara, dan Mbak Nadia. Kelopak mataku perlahan menutup. Rasa lelah pun mengalirkan kantukku, berharap tidak bermimpi buruk malam ini. Mimpi yang selalu diambil alih oleh kebencianku.