
by Titikoma

Empat
Ada satu hal yang meski sudah terbiasa tetap memiliki rasa yang sama, Tidak akan berubah apalagi berucap sudah biasa, yaitu sakit hati. Papa pergi. Tian datang menyemangati hidupku namun tidak berjalan lama. Dia pergi setelah menyisakan luka setelah lima bulan lamanya. Setelah aku sembuh dari lukaku, Riza dengan tampang khasnya yang menenangkan meraih tanganku untuk bangkit. Dia mewarnai kanvas hidupku dengan indah. Hari-hari kelabuku sirna semenjak dia mengajakku melangkah bersama setelah kepergian papa dan Tian yang entah ke mana. Aku dan Riza saling melengkapi. Ke mana pun kami pergi, orang-orang pasti akan berkata bahwa kami adalah pasangan yang serasi. “Manda, apa pun yang terjadi aku akan selalu berada di sampingmu, menjagamu, menyayangimu setulus hatiku. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu,” kata kata itulah yang menjadi hadiah terindah di tengah gemerlapnya sang bintang di malam ulang tahunku yang ke dua puluh satu. Namun, terkadang manusia hanya pandai berkata, bukan? Selang beberapa hari kemudian Riza mulai berubah, tepat setelah dia pindah tugas kerja di Semarang. Awalnya, hubungan jarak jauh tak menyurutkan hubungan kami. Tapi, semuanya terasa sangat menyakitkan ketika aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dia tengah bersama seorang wanita dan menunjukkan sepasang cincin tunangan tepat di depanku— yang jauh-jauh menyusulnya ke Semarang untuk melihat keadaannya. Harapanku luntur seketika. Mimpiku, kesetiaan, dan cintaku hancur seiring air mata yang tak bisa kubendung, meski sempat aku tersenyum dan mengucapkan ‘selamat’. Termasuk kata selamat karena telah melukai perasaanku yang kupupuk bertahun-tahun ini untuknya. “Manda, aku sudah menunggumu di luar sekarang,” suara dari ujung telepon terdengar, bersamaan dengan suapan pertama sarapanku. Aku mendengus kesal. Belum sepenuhnya aku menikmati sandwich-ku, Risa sudah menelepon dan mengajakku berangkat kuliah. “Aku sedang sarapan. Kamu duluan saja kalau tidak mau menunggu. Aku bisa berangkat sendiri,” timpalku datar. “Aduh, Manda! Aku sudah jauh-jauh jemput kamu, kamu malah mau berangkat sendiri, gimana sih?” sebuah nada kesal yang merambat cepat ke sel otak merubah suasana sarapanku. Aku menutup telepon dan segera bangkit dari meja makan dengan malas. Aku tersentak di ambang pintu. Dion sudah duduk di kap mobil dengan Risa. Aku kira laki-laki itu sudah tidak akan menemuiku lagi karena sikap cuekku tempo itu. Tepatnya, Risa tidak akan mempertemukanku lagi dengannya. Oke, akhir-akhir ini kekesalan sedang merajai hari-hariku, termasuk pertemuan dengan laki-laki bergigi gingsul itu. Hampir saja badanku berbalik, namun suara cerewet Risa menghentikan niatku, “Mandaaa!! Ayo cepet!” “Aku… aku… aku mau bawa motor, Ris. Aku ada perlu dulu ke tempat Tante Yuni,” aku bersyukur tiba-tiba ide itu terlintas begitu saja meski aku tahu Risa tak suka dibantah. “Tidak apa-apa, kami bisa mengantarmu, kok,” Dion dengan senyum dan suara khasnya membuatku semakin jengkel. “Ayolah, Manda. Kami sudah baik ajak kamu bareng, loh!” ujar Risa seraya menarik lenganku dan seperti biasa menyuruhku duduk di jok depan. Baik? Padahal aku tidak meminta kalian menjemputku! “Memangnya ada perlu apa ke tempat Tante Yuni?” lanjut Risa penuh selidik. Dia seolah tahu bahwa aku hanya beralasan untuk menjauh dari mereka. “Tentang pekerjaan,” timpalku datar. “Kamu kenapa, Manda, kok kusut begitu pagi-pagi?” Itulah ucapan selamat pagi Tante Yuni tatkala kakiku menginjak teras rumahnya. Aku tidak menjawabnya dan malah masuk ke dalam dan membantingkan tas punggungku ke arah kursi yang belum sempat terlirik olehku. “Aww!!” Tiba-tiba saja suara mengaduh terdengar mengagetkan. “Aduh, Nona, bisakah kamu lihat-lihat dulu sebelum membantingkan tas punggungmu yang berat ini?” protes seorang laki-laki tak asing berkacamata dan bergigi gingsul yang terlihat sedikit kesal. “Maaf,” timpalku datar disusul dengan mengambil tas yang berada di pangkuannya dengan kasar. “Kenapa di pagi yang cerah ini wajahmu kayak nenek-nenek yang kehilangan sandal jepit begitu?” Aku mendelik. Kenapa dosen muda itu malah terus bicara dan seakan meledekku? Tidak tahu apa aku lagi kesal? Belum sempat aku menjawab, Tante Yuni sudah kembali seraya menenteng sebuah kotak. “Kalian sudah sarapan?” tanya Tante Yuni. “Belum,” timpalku dan Juna bersamaan yang membuat kami saling pandang. “Kebetulan sekali. Tante punya sekotak kue cokelat lagi. Mau?” Aku segera mengambil kotak tersebut dari tangan Tante Yuni dengan cepat. Cokelat di tengah mood seperti ini akan cukup membantu. “Kamu rakus sekali, ya? Yang belum sarapan kan bukan kamu saja!” tukas Juna yang kehadirannya sempat aku lupakan. “Oh, kamu mau, ya? Nih!” tukasku seraya menyodorkan kotak tersebut ke depannya. Entah kenapa pagi ini ingin berlalu tanpa berkesal-kesalan dengannya. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” ujar Juna dengan mulut penuh kue. “Cake-nya enak!” jawabku sekenanya. “Jawabanmu gak nyambung!” “Apa aku harus bercerita padamu?” “Tentu!” “Kenapa harus?” “Karena aku tak bisa berdiam diri kalau sudah melihat wajah seseorang yang berada di depanku kusut begitu. Dan siapa tahu aku bisa membantumu, bukan?” Tunggu! Sejak kapan pak dosen muda itu berbaik hati seperti ini? “Apa kamu selalu begitu setiap melihat orang yang sedang seperti ini?” tanyaku yang dijawabnya dengan menggendikkan bahu dan kata singkat, “Maybe.” “Hmm, kamu mau membantuku?” tanyaku seraya menatap ke arahnya dan kulihat dia mengangguk. “Tak perlu susah-susah, kok. Cukup membelikan aku es krim rasa cokelat,” lanjutku dengan senyum yang aku sadar sudah lama tak pernah kulakukan kepada siapa pun. Aku tidak mendengar Juna menjawab. Aku hanya melihat punggungnya pergi keluar rumah. Aku sudah menduganya, mana mau dia membelikanku sebuah es krim!? “Tante, aku pergi dulu, ya? Makasih atas sarapannya,” pamitku pada Tante Yuni yang mulai sibuk berada di dapur. “Loh, kok cepat amat perginya?” “Aku mau kuliah, Tante. Teman-temanku pasti akan menyemprotku karena sudah terlalu lama menunggu.” “Oh, Baiklah kalau begitu. Nanti sore kamu ada waktu, kan? Tante ingin meminta kamu menghias kue ulang tahun pesanan Juna.” Aku mengiyakan dan segera berlalu. Sampai di muka pintu aku melihat Juna yang sudah kembali dengan menenteng sebuah kantong plastik. “Mau ke mana?” tanyanya dengan alis mengernyit. “Aku? Aku mau berangkat ke kampus. Teman-temanku pasti akan memarahiku karena sudah menunggu terlalu lama. Sampai jumpa,” ungkapku seraya melewatinya dengan santai. Belum sempat aku menuju pagar, suara Juna terdengar memanggil namaku. “Ada apa?” tanyaku. Aku melihatnya mendekat dan menyodorkan kantong plastik putih itu. “Apa ini?” tanyaku polos. “Es krim,” timpalnya datar. Aku menatapnya dengan bingung. Jadi, laki-laki ini mendengar serius ucapanku? Aku tersenyum geli. “Aku cuma bercanda Pak Dosen. Kenapa kamu seserius itu mendengar kata-kataku?” “Karena tadi aku serius ingin mendengar ceritamu dan merubah aura pagimu yang sangat negatif itu.” Aku diam mematung dan melihat isi kantong plastik yang disodorkannya. “Hah?! Kamu membelikanku es krim sekotak besar begini? Bagaimana aku memakannya?” Aku yakin kedua bola mataku membulat sempurna. “Jangan menatapku seperti itu. Semakin banyak es krim yang kamu makan, perasaanmu semakin membaik, bukan? Ya, memakan lewat mulutmu seperti biasa. Kenapa malah bertanya padaku bagaimana cara memakannya? Ternyata kamu bisa berubah sangat bodoh, ya,” timpalnya datar. Aku mendelik kesal. Oke, tentangnya yang kukira tidak menyebalkan hari ini harus segera kucabut. “Maksudnya, aku mau berangkat kuliah sekarang dan mana mungkin membawa ini ke kampus. Tidak mungkin juga akan habis kumakan sekarang, kan?” Juna mengangkat sebelah alisnya sebagai tanda membenarkan ucapanku. “Ya sudah, kembalikan itu! Nanti sore kamu akan ke sini, bukan? Aku titipkan ini di rumah Tante Yuni,” ujarnya dan tanpa kusangka Juna lalu menarikku keluar. “Hei, hei! Apa-apaan ini? kamu mau menculikku, ya?” protesku seraya berusaha melepaskan cengkeraman tangannya. “Tak ada gunanya menculik wanita sepertimu!” Aku tersentak. Dan sebagai wujud amarahku, aku diam dan mengikuti langkahnya dengan berat hati. Dan aku kembali tersentak untuk ke sekian kalinya tatkala laki-laki berkacamata ini membawaku ke sebuah toko es krim. Bukankah tadi dia bilang akan menitipkan es krim yang dibawanya di Tante Yuni? “Nih, aku hanya bermaksud baik. Semoga kuliahmu hari ini menyenangkan. Dan pastinya, kamu utang cerita padaku,” ungkap Juna seraya menyimpan sebuah es krim cokelat baru yang berukuran lebih kecil di telapak tanganku dan langsung berlalu. Aku menatap punggungnya yang mulai menjauh dengan tangannya yang masih menenteng kantong plastik. Apa yang harus kulakukan sekarang? Berteriak mengucapkan terima kasih? Tersenyum? Melemparkan es krim di tanganku ke punggungnya? Cmberut? Kesal? Atau… “Mandaaaa!!!” sebuah suara yang sangat aku kenal terdengar mengagetkan kesadaranku. Aku berbalik dan menatap polos Risa di seberang jalan yang sedang bersama Dion. “Cie… yang tadi siapa? Manis banget!” tanya Risa setengah berbisik yang tidak kusadari sudah berdiri di sampingku. “Hmm… ponakannya Tante Yuni!” timpalku seraya membuka es krim yang sedang kupegang. “Dia naksir kamu, ya?” Mataku terbelalak mendengar penuturan Risa. Dia selalu saja berbicara sesuatu dengan mengaitkannya pada hal yang aneh-aneh. “Enggak!” sanggahku. Aku berubah menjadi dingin kembali jika harus berurusan dengan hal seperti itu. “Kok dia ngasih kamu es krim rasa kesukaanmu? dan aku tidak dibagi lagi,” goda Risa. Aku tidak menjawab dan malah asyik melahap es krim pemberian Juna. “Padahal Dion berencana untuk bisa lebih dekat dengan kamu, Manda!” lanjutnya. “Lebih dekat denganku? Maksudmu?” tanyaku yang es krim di tanganku pun sudah tak lagi menggoda. “Ya, mungkin ingin menjadikanmu seseorang yang spesial di hatinya.” Kuharap itu semua tidak akan terjadi. Mentari bersinar sangat terik. Di balik rindangnya dedaunan pohon akasia aku bersembunyi dengan earphone yang menyumbat lubang telingaku yang mengalunkan instrumen musik klasik, membuat kenyamanan tersendiri. Jam perkuliahan sudah usai. Namun, duduk sendiri di salah satu taman kampus menjadi pilihanku. Ucapan Risa tempo itu mengenai Dion menarik pikiranku. Entah apa yang membuatnya berpikir untuk mendekatiku. Dan entah apa pula yang membuatku memikirkan hal itu. Apakah jalan hidupku akan menanjak pada kerumitan? Aku benar-benar sudah lelah jika harus berurusan dengan yang namanya laki-laki dan cinta. Ketakutan dan kebencianku sudah mengakar kuat di hatiku. Aku tidak ingin menikmati lukanya lagi. Dan aku tidak ingin memberikan luka itu kepada mereka, karena aku tahu betapa sakitnya itu.