
by Titikoma

Lima
Sepahit apa pun rasa yang tercicipi, hati tidak akan memerintah untuk memberikan rasa yang sama untuk lidah yang lain Pertanyaan yang beberapa waktu lalu mengembun di kepalaku terus berputar. Bagaimana bisa Dion menyukaiku? Maksudku, karena apa dia ingin mencoba mengenalku lebih dekat? Tidakkah dia tahu betapa takutnya aku akan itu? Aku tidak ingin terjatuh untuk ke sekian kalinya. Aku sudah tidak percaya. Meski Risa bilang tak semua laki-laki sama, tapi sudah cukup banyak laki-laki yang tak punya hati kutemui. Aku tidak dendam. Aku tidak ingin menyalurkan kesakitanku pada siapa pun. Aku hanya sudah tidak percaya! Hukum alam yang kupelajari, jika tidak disakiti maka menyakiti, bukan? “Heii!! Melamun saja, Manda!” suara Nina yang terdengar menggelegar di kedua gendang telinga membuatku terlonjak. “Eh, Nin. Apaan sih, siapa yang melamun?” kesalku lalu mengambil sapu tangan yang sempat jatuh. “Terus… kalau tidak melamun, yang tadi itu apa namanya? Ngobrol dengan batin sendiri? Dipanggil dari tadi gak nyahut-nyahut,” timpal Nina lebih galak. “Hehehe… maaf, Nina. Memangnya kenapa? Ada apa?” “Tante Yuni nanyain kamu. Sehabis kerja, kamu diminta langsung ke rumahnya,” ujar Nina yang kujawab dengan anggukan. “Memangnya ada apa, sih?” lanjutnya. “Kepo!” tukasku yang membuat wajah dengan pipi chubby itu mencoba mendaratkan pukulan telunjuknya di ubun kepalaku. “Tante, ada apa memanggilku tadi?” kulepas tas selempangku lalu duduk di samping Tante Yuni. “Besok hari ulang tahun Bundanya Juna. Juna memesan kue ulang tahunnya dari Tante. Kamu bisa kan menghiasnya?” “Oh, boleh. Pukul berapa, Tante?” “Acaranya besok pagi,” mataku membeliak seketika. Sekarang sudah hampir pukul sepuluh malam. Pukul berapa aku harus menghias cake yang kata Tante Yuni tiga tingkat itu? “Kamu tidur saja di sini ya, Manda. Nanti Juna ke sini kok, sekalian besok kamu ikut saja ke acara ulang tahun bundanya bareng Tante juga. Besok tidak masuk kuliah, kan?” Aku semakin terkejut. Kenapa bisa begitu? Tanpa menunggu persetujuanku, Tante Yuni yang sudah kuanggap seperti mama sendiri itu tersenyum dan berlalu untuk membuat cake pesanan Juna. Ah, sudahlah. Sekarang aku bisa tidur setidaknya tiga jam sambil menunggu cake yang dibuat Tante siap untuk kuberi olesan. Tok… tok… tok…. Rasanya baru saja aku terlelap, sebuah ketukan pintu membuatku terjaga. Tok… tok… tok…. Apakah ada yang tidak merasa jengkel saat lelapnya terganggu? “Iya, Tante. Tunggu sebentar!” dengan kantuk yang masih menyisa, kuseret kakiku menuju daun pintu. “Hai, Nona Manda!” aku terlonjak seiring sapaan sosok yang langsung nyembul di balik pintu. Refleks kupukul bahu Juna dengan sedikit keras. “Aww!! Kamu suka sekali melakukan kekerasan fisik, ya?! Nih, lagian itu cake sudah waktunya dipoles-poles. Sudah pukul tiga dini hari sekarang. Acaranya lima jam lagi dan aku harus bawa cake-nya pukul enam dari sini. Dan aku…” Kupotong kata-kata Juna dengan cepat, “APAA?!!!” Tanpa berpikir panjang aku segera berlari menuju dapur. “Aduh, Tante, maaf. Maafin aku ya, Tante. Aku ketiduran. Tante pasti belum tidur,” dengan penuh sesal kuhampiri Tante Yuni yang tengah menyiapkan beberapa krim dan bahan lainnya untuk menghias cake tiga tingkat itu. “Tidak apa-apa, Sayang. Kamu mau makan dulu?” timpal Tante Yuni hangat. “Enggak, Tante. Aku ikat rambut aku dulu sambil mau cuci muka dulu, ya?” Baru saja aku berbalik untuk menuju kamar mandi, seseorang yang menyebalkan menyeletuk, “Gadis-gadis tidurnya seperti kerbau. Sudah tahu ada pekerjaan juga,” ya, laki-laki bergigi gingsul yang menyebalkan. Juna Andhika Nugraha. “Suuttt… jangan begitu! Itu karena Manda terlalu kecapean. Paginya dia kuliah, sore sampai malam dia kerja. Dan sekarang Tante mengganggu istirahatnya juga,” bela Tante Yuni yang entah kenapa membuat kedua bola mata hitam itu membeliak. “Memang dia kerja di mana, Tante?” samar-samar kudengar tanya Juna sebelum aku benar-benar masuk ke kamar mandi. “Ini untuk acara ulang tahun Bundaku. Jadi, harus sebaik mungkin ya, Nona!” suara Juna menggangguku yang tengah berimajinasi menggambar sketsa hiasan kue besar tiga tingkat di depanku. Aku hanya menimpalinya dengan menampangkan tatapan tajam seakan berkata aku-tahu-itu. Melihat ekspresiku yang mungkin terlihat sedikit menakutkan seperti macan betina, Juna berbalik untuk kembali ke ruang tamu. Baru beberapa langkah, kedua kaki Juna terhenti dan kembali membalikkan tubuhnya ke arahku. Segera kutatap kembali wajah yang terlihat polos itu dengan bola mata bulatku. Juna lalu berbalik dan benarbenar tidak lagi terlihat oleh pandanganku. Dia memang terkadang sangat dewasa, tapi tidak jarang tingkahnya sepolos anak kecil. “Manda, menurutmu Juna bagaimana?” pertanyaan pertama Tante Yuni yang sedang menemaniku menggeluti cake pesanan Juna terdengar. “Bagaimana apanya, Tante?” Aku balik bertanya—tak mengerti—dengan tetap fokus pada beberapa krim. “Mmm… maksud Tante, Juna itu laki-laki yang seperti apa?” “Terkadang dia menyebalkan, tapi juga cukup lumayan menyenangkan.” “Biar Tante tambahkan. Dia selain tampan dan mapan, dia laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Dia juga tak pernah melukai hati siapa pun,” jelas Tante Yuni yang membuatku heran serta menimbulkan tanya. Jika Tante Yuni tahu hal itu, kenapa dia malah justru bertanya padaku. “Andai Tante masih muda dan dia bukan keponakan Tante, mungkin Tante ingin menikah dengannya,” lanjutnya yang membuat tenggorokanku tersedak seketika. Sebenarnya apa yang tengah dipikirkan oleh wanita setengah baya ini? “Tante, sudahlah. Tidur saja. Aku sedikit lagi selesai,” aku mengalihkan pembicaraan. Apa Tante tidak tahu bagaimana perasaanku? Apa Tante tidak merasakan apa yang aku rasakan, bahkan Tante sendiri telah dikhianati oleh seorang laki-laki yang sangat disayanginya, bukan? Tepat pukul 05:42 olesan terakhirku selesai. “Waw, amazing! Kamu memang hebat!” kubaca ketulusan dari binar mata Juna yang hanya kujawab dengan senyum samar. “Ayo, cepatlah tidur. Kita akan berangkat pukul enam,” lanjut Juna dengan masih menatap kue ulang tahun bundanya. “Aku tidak akan ikut. Aku mau tidur saja,” ketusku seraya berlalu tanpa meminta persetujuannya. “Eits, tidak bisa, kamu harus ikut! Bunda pasti akan senang bertemu dengan pembuat kue ini. Cepat mandi sana!” aku mendelik kasar, “Itu bukan buatanku, itu buatan Tante Yuni. Lagian aku ngantuk Pak Dosen. Sudahlah, aku mau tidur!” “Aku tahu supaya kamu tidak ngantuk. Tapi, kamu harus mandi dan sarapan dulu. Kalau tidak…” Aku segera memotong, “Iya-iya, aku ikut. Menyebalkan sekali jadi kamu!” Dengan tampang kusut dan penuh emosi kuhentakkan kakiku dengan keras menuju kamar mandi. Kenapa aku harus kenal dan berurusan dengan laki-laki yang sejak awal memang sangat menyebalkan itu? Aku hanya terdiam dan mengakui kecerdikan Juna. Dengan sekotak es krim yang dibelinya tempo itu—aku sendiri sudah lupa—mampu membuatku bungkam selama perjalanan menuju rumahnya. Rumah Juna lumayan besar, namun terlihat minimalis dan sangat nyaman dengan warna abu-abu. Pekarangan yang luas dengan taman dan kolam kecil air mancur membuatnya semakin terlihat indah. Dari ambang pintu sudah terdengar obrolan-obrolan ringan yang membuatku bisa menebak bahwa di dalam sana pasti terdapat banyak orang. “Kenapa malah berdiri di sini? Ayo masuk!” Ya, tidak ada lagi orang selain Juna yang selalu memerintah seenaknya padaku. “Iya, aku sedang menunggu Tante Yuni kok. Tante lagi kembali ke mobil, ada yang tertinggal,” timpalku. Juna langsung masuk disusul dengan dua orang petugas kafe yang membawa kue ulang tahun bundanya. Dari otot-ototnya yang menegang, aku tidak bisa membayangkan betapa beratnya kotak besar itu. “Kamu kok belum masuk, Manda?” Tante Yuni yang kembali dengan sebuah kado di tangannya. Aku pun sempat memaksa Juna berhenti untuk membelikan setidaknya sebuah kado kecil untuk bundanya, meski dia bersikeras menolaknya, “Aku mau membeli kado buat Bunda Anna. Bukan buat Anda, Pak Dosen!” aku tersenyum puas saat Tante membelaku karena dia pun belum sempat membeli sebuah kado kemarin. “Aku menunggu Tante, malu kalau masuk sendiri.” “Dasar kamu, haha…. Ayo!” Terdapat banyak orang yang mengisi ruangan acara. Namun, mungkin semuanya anggota keluarga, rekan bisnis, dan beberapa teman. Bunda Anna–Ibu Juna, tampak terlihat anggun memakai gaun merah marunnya dengan rambut disanggul kecil. Wajahnya masih terlihat berumur tiga puluh tahunan hingga aku tidak percaya saat Juna mengatakan ini adalah ulang tahun bundanya yang ke empat puluh enam. “Hai, kamu di sini?” suara yang sangat kukenal mengalihkan perhatianku. Dion. Gaya rambutnya sedikit berbeda dari biasanya dan lebih bersahaja. Pertama kalinya aku akan tulus mengomentarinya bahwa dia sangat tampan. “Manda, kamu di sini?” Dion mengulangi pertanyaannya. Aku sedikit terlonjak dan mengukir senyum lalu mengangguk. “Aku yang menghias cake ulang tahun Bunda Anna,” terangku seolah tahu pertanyaan apa yang akan dilontarkan olehnya. “Kamu sendiri?” “Bunda Anna adalah Tanteku,” urai Dion yang membuatku terperangah. Jadi… Dion dan Juna… “Dan aku adalah ponakannya yang paling keren,” lanjutnya yang tanpa sadar menjawab pertanyaan samarku. Aku hanya mampu mengeluarkan kata ‘oh’. Apa Tante Yuni tidak tahu mengenai hal ini? Kenapa dia tidak pernah memberitahuku? “Hei, kalian sudah saling mengenal sepertinya,” Juna tiba-tiba datang dengan setelan yang lebih kasual dibandingkan dengan style Dion. Terlihat lebih berkharisma. Tunggu! Kenapa aku malah asyik mengomentari penampilan mereka? “Iya, kami sekampus. Juga…” Belum sampai Dion membereskan kalimatnya. Juna langsung memotong. “Oh, kalian sekampus? Aku juga sebentar lagi akan menyusul.” Aku mengerutkan kening, bingung. “Jangan bilang kamu akan menjadi dosen di kampusku,” ungkap Dion yang seolah tak terima bila Juna ada di tengah-tengahnya. Juna hanya berlalu seraya menaikkan sedikit ujung bibirnya. Entah apa yang sedang terjadi. Tapi, aku tidak suka berada di atmosfer seperti ini. “Tante cari-cari ternyata kamu di sini. Tadi siapa?” tanya Tante Yuni menunjuk pada sosok Dion yang menerima panggilan seorang wanita paruh baya yang bisa kutebak adalah mamanya. “Tante tidak kenal? Katanya dia ponakannya Juna,” timpalku bingung. Ah, keluarga ini terlalu banyak seluk beluk silsilah sepertinya, sampai Tante Yuni saja bisa menanyakan hal seperti itu. “Entahlah. Tante tidak pernah ikutan arisan keluarga karena sibuk. Mungkin memang dia masih keluarga,” timpal Tante Yuni sekadarnya, “Mungkin saudara jauh.” Aku hanya diam lalu meneguk jus jeruk, sampai sebuah suara memanggil namaku. “Manda, Bunda ingin bertemu denganmu,” ujar Juna yang langsung menarik lenganku dan memaksaku untuk mengikuti langkahnya. “Mau apa? Ishh… tak perlu tarik-tarik begini, aku bisa sendiri!” ungkapku risih lalu mencoba melepaskan pergelangan tanganku dari cengkeraman telapak tangan Juna yang kuat. “Sudahlah, bersikaplah seanggun mungkin di depannya.” “Eh?!” Wanita berlipstik merah itu tersenyum ramah. Kekakuanku perlahan mulai mencair dan ikut hanyut dalam keteduhannya. Ah, aku jadi teringat sama mama. “Kamu Manda, kan?” tanya Bunda Anna. “Bunda sangat suka dengan kreasi cake ini. Kamu memang hebat,” lanjutnya yang hampir membuat pipiku meranum bak bunga musim semi. “Oh, mmm… terima kasih, Tante,” timpalku salah tingkah. Kulihat Juna sedang menertawakanku—kebiasaannya. “Jangan panggil Tante, panggil Bunda saja,” kilah Bunda Anna seraya menyentuh bahuku dengan lembut. “Oh, iya, Bunda.” “Apakah kamu dan Juna sudah saling mengenal lama?” tanya Bunda Anna. “Belum.” “Sudah.” Aku dan Juna menjawab pertanyaan Bunda Anna dengan jawaban yang berbeda. Aku mendelik ke arah Juna yang menampangkan wajah polosnya. Seberapa lama memangnya aku mengenal laki-laki berkacamata itu? “Eh, kenapa kalian ini? Haha… maafkan anak Bunda ya, Manda. Terkadang dia memang sangat menjengkelkan,” penjelasan Bunda Anna membuatku tersenyum puas. Ternyata bukan sekadar opiniku yang melabelkan Juna sebagai laki-laki yang menjengkelkan, tapi bundanya sendiri pun berpikiran yang sama. “Sejak kapan aku terlihat menjengkelkan?” protes Juna seakan kalimat yang dilontarkan oleh bundanya sendiri membuat kharismanya menurun. “Sejak kamu menarik-narik tangan Manda seperti tadi. Jangan perlakukan wanita seperti itu. Kamu harus lembut!” kalimat yang dilontarkan bunda Anna benar-benar membuatku merasa menang, hingga aku berani meledek ke arah wajah dosen muda itu. “Kamu harus lebih romantis,” lanjutnya. “Eh?” aku terkesiap seketika. Romantis? Kalimat itu terdengar aneh oleh kedua gendang telingaku. Dan Juna memamerkan senyum dan tatapan yang tak bisa aku artikan. Segera kupalingkan wajahku ke arah Bunda Anna yang sepertinya masih ingin berbicara. “Kapan-kapan mainlah ke sini. Bunda tidak memiliki anak perempuan. Jadi, jika ada kamu Bunda memiliki teman ngobrol. Bunda hanya memiliki seorang anak laki-laki yang tak kunjung juga membawa pasangannya. Kalau dipikir-pikir, kurang apa Juna sebenarnya?” perbincangan Bunda Anna sungguh sedikit membuatku tak nyaman. “Bunda, sudahlah. Apa tidak ada topik pembicaraan lain selain aku? Aku sudah cukup terkenal dan bosan dengan gosip-gosip,” keluh Juna yang membuat tawa kami merebak. Sepasang mata seolah tengah mengawasiku saat ini. Benar saja, dari sudut mataku tertangkap Dion yang begitu saksama menatap ke arahku yang sedang berbincang dengan Bunda Anna dan Juna. Ah, aku benci laki-laki.