
by Titikoma

Tujuh
Tatkala aku mencoba menjauh dan melupakan sinar yang pernah membutakanku, kedua sinar bintang seolah hadir di setiap celah pekatku. Di saat aku tidak sanggup dan tidak percaya lagi akan makna biasnya. Kilau keemasan sinar mentari pagi menerobos melalui celah jendela dengan gorden yang sudah disibakkan. Kelopak mataku perlahan terbuka karena silau. Sesaat melirik jam beker yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Aku tidak terlalu ingat kejadian semalam. Yang kutahu, aku dipapah Juna masuk ke kamar dan langsung tidur. Aku masih mengenakan baju yang sama saat dipakai tadi malam. Riasanku masih sama, hanya saja mataku sembap karena air mata. Seolah aku tersadar, bagaimana bisa aku menangis di depan Juna seperti itu? Segera kuambil handuk di balik pintu dan menuju kamar mandi. Riza. Ah, laki-laki itu, kenapa harus kutemui lagi? Sesempit inikah dunia? Aku mengulun rambutku dengan handuk karena basah. Weekend kali ini aku ingin meminta izin pada Tante Yuni untuk tidak masuk kerja. Kepalaku masih terasa sakit. Kuganti pakaianku dengan kaos berwarna hijau tua serta celana panjang berbahan katun. Aku melangkah menuju dapur untuk membuat sarapan. Perutku tiba-tiba terasa lapar. “Selamat pagi, Nona,” sebuah suara membuat jantungku hampir terpangkas dari pangkalnya. Juna dengan menampangkan senyumnya menatap ke arahku dari arah meja makan. Pakaiannya masih sama seperti semalam. Kemeja abu-abu dengan celana putihnya. “Kamu tidak pulang?” tanyaku dengan mata menuduh tajam. “Ya, semalaman aku menunggumu di sofa ruang tamu. Aish… kau membuatku cemas, sampai-sampai aku meninggalkan pesta Bundaku sendiri,” jelas Juna. Aku kembali menelan ludah dengan susah payah. Rasa lapar pun seakan hilang seketika. “Ke… kenapa kamu…” aku menggantungkan kalimatku seolah tak tahu harus mengucapkan kata-kata apalagi. “Sudahlah, aku juga dipinta oleh Bunda untuk menjagamu malam tadi. Cepat sarapan, aku sudah membuat susu hangat dan dua potong sandwich.” Aku tidak mengucapkan apa-apa saat Juna menggeserkan kursi untuk kududuki. Beruntung, Juna tidak menyinggung soal kejadian semalam. Setidaknya aku bisa menikmati sarapan dengan nyaman. “Kamu tidak ingin mandi?” tanyaku saat suapan terakhir masuk ke mulutku. Juna mengerlingkan bola mata hitamnya dengan manja. “Kecuali kamu memberiku izin untuk mandi di sini. Aku lelah. Aku juga ingin menumpang tidur sebentar di ruang tamu rumahmu yang terlihat nyaman itu.” “Jadi, kamu menggeledah rumahku?!” tudingku dengan nada galak. “Tidak. Cukup tahu bahwa kamu di sini tinggal sendirian. Tak ada orang lain apalagi binatang peliharaan. Sepi sekali.” Aku mendelik kesal. Laki-laki ini memang sangat tidak sopan. “Jangan marah! Bukankah seharusnya kamu berterima kasih padaku?” ungkap Juna yang membuatku tak mampu lagi membantah. Ya, memang sudah seharusnya aku berterima kasih untuk bantuannya yang andai tidak mendesak tidak akan aku terima. “Lakukan saja semaumu. Ada handuk dan baju ganti yang mungkin akan pas dipakai olehmu di kamar tamu,” aku melengos meninggalkannya yang tersenyum penuh kemenangan. Ponselku bergetar dan nama Dion terpampang di layarnya. Aku mendengus kesal. Sudah cukup satu laki-laki yang membuat kepalaku semakin pening dan tidak lagi dengan satu laki-laki ini lagi. Ponselku kembali bergetar saat aku mengabaikan panggilan Dion yang ketiga kalinya. Kali ini sebuah pesan dari Risa. * Manda, aku sudah berada di teras bersama Dion. Kami ingin menjengukmu. Dion pasti mengajak Risa datang ke sini, seolah tahu aku akan mengabaikan kedatangannya. Dengan langkah lemas aku menuju pintu dan membukanya. “Manda?! Ya ampun, wajahmu pucat sekali. Kamu kenapa? Sakit apa?” baru saja daun pintu terbuka setengahnya, Risa sudah menyemprotkan pertanyaannya kepadaku. “Mungkin kecapean saat acara kemarin,” celetuk Dion menjawab pertanyaan Risa. Aku tidak bersuara apalagi menyanggah ucapannya. “Mau minum apa?” tanyaku saat Risa dan Dion sudah duduk di sofa ruang santai menghadap layar televisi yang sedang menyiarkan acara sinetron tanah air. “Tidak usah repot-repot, nanti kita akan mengambil minuman sendiri jika haus. Kamu sudah sarapan?” Risa menyimpan sebuah kantong yang berisi penuh dengan cemilan. “Sudah,” timpalku sekenanya. “Apa Juna menginap di sini? Aku tidak melihatnya kembali ke acara pesta tadi malam. Dia tidak…” kalimat Dion terpotong. “Aku tidak melakukan hal apa pun. Hanya menunggunya jika dia membutuhkan bantuan. Tidak ada siapa-siapa di sini,” Juna keluar dari kamar tamu dengan lebih segar. Rambutnya basah karena keramas. Sebuah kaos berwarna merah dengan gambar huruf A di depannya serta celana pendek selutut tidak mengurangi kharismanya. Hanya saja dia lebih santai. Aku bisa menangkap wajah Risa dan Dion yang seolah tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. “Tadinya aku ingin tidur, tapi mendengar kalian datang aku lebih baik pulang dan beristirahat. Aku juga tak tahan dengan sikap cueknya si pemilik rumah,” nada suara Juna membuat polesan merah di pipiku. Entah karena malu atau memang karena menahan emosiku. “Aku pulang dulu. Kamu temannya Manda, kan? Kamu bisa jaga dia. Manda, dengan terpaksa aku meminjam baju ini meski tidak berjanji untuk tidak lupa mengembalikannya,” lanjutnya lalu beranjak menuju pintu keluar. “Manda, dia laki-laki waktu itu, kan?” tanya Risa sesaat setelah punggung Juna menghilang di balik pintu. “Aku harap dia tidak sedang mencoba mendekatimu,” imbuh Dion dengan tekanan di nada suaranya membuatku mengerling. Aku menemukan emosi di setiap kalimatnya. Ah, apa yang terjadi dengan hidupku? Gerimis membasahi senja yang terlihat pucat memudar sempurna. Suasana sangat hening dan nyaman. Hal ini membuatku bisa menikmati sepi di kamar bercat biru langitku dengan merebahkan tubuh dan menonton film. Sudah lama rasanya tidak menikmati suasana santai seperti ini. Tak lupa, secangkir cappucino yang mengepul semakin memperhangat atmosfer di sekelilingku. Risa dan Dion pulang setelah aku berusaha meyakinkan mereka bahwa aku baik-baik saja. sebenarnya aku ingin menjauh dari tatapan Dion yang membuatku jengah. Laki-laki berwajah nyaris sempurna itu selalu membuatku sedikit kesal dengan sikapnya. Bahkan kini dia juga sudah terang-terangan menunjukkan sikap care-nya padaku. Jangan bertanya bagaimana komentarku. Sekuat apa pun cahaya yang hadir di kelamnya cakrawala hidupku saat ini, aku tidak akan berani mengambilnya untuk menerangi setiap jejak langkahku. Seolah teringat sesuatu, aku mengambil sebuah kotak kado yang sudah cukup lama mengisi laci mejaku sejak ulang tahun Dina. Ya, sebuah kado yang Dina berikan saat aku berhasil membuatnya tersenyum puas. Sebuah snowglobe atau kotak musik bola salju membuat kedua bola mataku berbinar dan membuat mulutku berkomentar ‘cantik’. Terdapat penari balet di dalamnya. Telunjukku menekan tombol ON. Seketika penari balet itu bergerak dan bola salju berputar mengikuti alunan musik instrumen. Sosok Tante Yuni berkelebat begitu saja di otakku. Ya ampun, bagaimana aku lupa tentangnya yang kutinggalkan tanpa memberi pesan sejak pesta dansa itu? Tante Yuni akan sangat khawatir. Bisa kubayangkan saat Bunda Anna memberi tahu kondisiku pada wanita itu. Rasa bersalah membanjiri perasaanku. Mungkin besok aku harus menemuinya. Aku bahkan meminta izin untuk tidak masuk kerja pun lewat telepon Risa. Perlahan kantukku mulai menyerang. Alunan musik dari kotak musik itu membuatku terbuai dan menghempaskan sementara mimpi buruk yang selalu menjadi ketakutanku. Andai hidupku setenang ini, tanpa perlu cahaya-cahaya bintang lain. Cukup sinarku, cukup aku. Aku menatap sebuah bingkisan dengan tatapan penuh selidik. Saat berniat untuk pergi ke rumah Tante Yuni, sebuah bingkisan sudah terduduk santai di depan pintu. Batinku menerbangkan banyak tanya tentang siapa yang mengirim bingkisan ini. Ada sebuah kartu kecil terselip di bagian depan bingkisan itu. Selamat pagi, Manda Jangan lupa sarapan dulu. Semoga harimu menyenangkan Maaf. Kedua alisku bertaut, seolah pernah mendengar kata-kata itu. Kenapa terbubuh kata ‘maaf’ di akhir tulisannya? Aku mengingat wajah-wajah yang berpotensi memiliki kesalahan padaku di akhir-akhir ini. Belum sampai aku menyimpulkan, pintu depan terbuka tanpa permisi. Juna, lelaki berkacamata dan bergigi gingsul itu masuk dengan senyumnya yang mengembang. Lelaki ini berubah berperilaku seenaknya semenjak menangkap basah sosokku yang pernah terisak di depannya. “Apa Anda tidak pernah belajar etika, Pak Dosen?” ketusku yang tanpa dipersilakan pun dia mengambil tempat duduk di hadapanku. “Ada kemungkinan besar kamu tidak akan membukanya kalau aku menekan bel terlebih dahulu. Karena pasti kamu akan melihat dulu di balik gorden. Dan saat tahu yang datang itu aku, kamu akan pura-pura tidak mendengar lalu akan mengabaikannya,” dosen muda ini memang mampu membaca pikiranku yang tidak sepenuhnya salah. “Memangnya waktumu sangat lengang sampai-sampai di pagi seperti ini sudah masuk ke rumah orang tanpa permisi?” aku memasang tatapan kesal saat tangan yang cukup kekar itu meraih bingkisan yang sedang kuselidiki. “Sangat-sangat luang… aku ingin merasakan cuti di hari Senin ini. Kamu sudah sarapan?” Juna mengeluarkan makanan dari dalam bingkisan cokelat, seolah itu miliknya. Terdapat beberapa potong roti bakar dan semangkuk salad—sarapan favoritku. “Aku minta maaf jika kemarin sempat membuatmu jengkel setengah mati.” Aku menatapnya tajam, “Jadi, kamu yang menyimpan ini di depan, ya? Bagaimana kamu tahu ini sarapan favoritku?” “Hmm?” Juna balas menatapku dengan ekspresi yang sulit untuk kutebak