Dua Bintang

Reads
122
Votes
0
Parts
21
Vote
by Titikoma

Sepuluh

Waktu terus barputar. Meski terlambat, tapi ia akan menyamarkan dan melupakan kumpulan rasa pahit yang pernah tercicipi dengan caranya sendiri “Kita kembali ke hotel sekarang yuk?!” ajak Risa yang sudah bermandi peluh. “Nanti dulu, kita harus menikmati sunset yang indah di sini,” Dion tidak hentinya mengarahkan lensa kameranya ke setiap sudut pantai. Langit Yogyakarta cukup cerah hari ini. Tak ada awan cirrus yang mendung. Aku menikmati udara damai Pantai Parangtritis dengan duduk di atas pasirnya yang sedari tadi kujejaki. “Aku setuju. Tidak apa-apa sehari penuh kita menghabiskan waktu di pantai ini. Aku juga penasaran dengan sunset-nya,” bibir Risa mengerucut. Baru kali ini aku sejalan dengan Dion. “Ngomong-ngomong, di mana Sophi?” tanyaku yang sudah lama tidak melihat batang hidung wanita itu. “Entahlah. Dia hanya bilang kalau sudah chat mau pulang. Dia sedang galau berat karena Juna meninggalkannya yang juga sibuk dengan pekerjaannya hari ini. Aku baru tahu, Juna ternyata tidak hanya berprofesi sebagai dosen, tapi juga seorang pengusaha,” ungkap Risa yang dengan jelas membludakkan kekagumannya. “Tentu saja. Sebagai anak tunggal, Juna memiliki tanggung jawab melanjutkan perusahaan papanya. Menjadi dosen tidak disetujui oleh papanya. Jadi, ya terpaksa dia double profesi,” jelas Dion yang membuat mulut Risa membentuk huruf ‘O’. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul empat sore. Risa berlalu entah ke mana. Dia hanya bilang bahwa akan kembali menemuiku di bibir pantai saat matahari akan tenggelam. “Aku ingin menunjukkan sesuatu,” Dion menarik lenganku dan membuatku berjalan di belakangnya.  “Mau ke mana?” perasaan tak enak tiba-tiba menjalar di seluruh tubuhku. “Ikut saja, aku yakin kamu suka.” Aku tidak lagi bersuara. Kuikuti langkah Dion meski dengan sedikit enggan. Dion ternyata membawaku ke Tebing Gembirawati di belakang pantai. Di sini tidak terlalu ramai, hanya segelintir orang yang terlihat sibuk dengan kameranya. Dari tempat ini kedua bola mataku bisa melihat seluruh area Pantai Parangtritis, Laut Selatan, hingga ke batas cakrawala. Gemuruh ombak terdengar begitu ramai dan ganas. Waktu memang merubah semua dengan caranya. Aku begitu banyak merasakan ketenangan. Bibir pantai tampak tersenyum dan gulungan ombak tampak mengambil setiap keresahan dan ego. Apa hatiku benar-benar akan sembuh sekarang? “Kamu suka?” Dion membuyarkan lamunanku, namun tidak membuat pandanganku berpaling padanya. Aku hanya mengangguk kecil dan berkata, “Aku suka.” Tak ada lagi perbincangan yang terjadi. Hanya keheningan yang dibiarkan merajai atmosfer. Meski tidak kuutarakan secara langsung, aku berterima kasih pada Dion yang telah menciptakan waktu ini untukku. Waktu berputar terasa lebih cepat. Dion mengajakku turun. Senja hampir terlahir di ufuk Barat. Di sela-sela langkah kaki yang menembus pasir, aku menatap lekukan wajah laki-laki di sampingku. “Terima kasih, Di.” “Aku tahu sejak tadi kamu mengucapkan hal itu. Tapi, terima kasih kembali karena sudah menyukainya. Tempat itu merupakan tempat favoritku jika berkunjung ke pantai ini. Segala bebanku seakan ikut melebur bersama keheningan, kecuali deburan ombak-ombak itu. Aku seolah-olah memiliki harapan dan kekuatanku kembali. Dan sepertinya, di pantai ini pula keberanianku muncul, seolah waktu memang bergulir pada tempat yang tepat saat ini.” Dadaku semakin bergemuruh. Ada sesal terbersit karena sudah membuka pembicaraan. Entah kenapa rasa tak nyaman karena masa lalu kini berganti gelisah ketika akan mendengarkan kalimat Dion selanjutnya. “Manda, aku…”  “Hei, kalian di sini rupanya,” kedatangan Risa bersama Juna dan Sophi yang secara tiba-tiba membuatku menghembuskan napas lega. Aku mengambil langkah cepat menghampiri Risa, meninggalkan Dion yang menampakkan raut kesalnya. Matahari hampir tenggelam sempurna. “Kita pulang sekarang yuk, istirahat. Besok kita akan balik ke Jakarta,” ucap Risa yang segera kusetujui. “Semangat amat,” Risa seolah tidak tahu kegelisahan apa yang kini sedang bersarang di hati dan otakku. “Hmm… aku… aku kangen sama Tante Yuni, sudah lama tidak bertemu,” kilahku gagap. “Hei, aku jadi penasaran. Kalian tadi habis dari mana dan sudah ngomongin apa, hayo?” ingin sekali kujahit mulut Risa yang cerewet itu. “Hanya pergi ke tebing sana dan membicarakan hal-hal yang tidak penting,” jawab Dion dengan pancaran matanya yang mengarah padaku. Risa hanya mengangguk, meski terlihat sekali bahwa dia masih menyimpan banyak pertanyaan. “Ngomong-ngomong kalian bertiga pulang duluan, ya? Aku mau meminjam Manda sebentar. Bunda ingin bertemu dengannya. Kebetulan Bunda sedang berada di tempat kerjaku,” pinta Juna yang membuat bola mataku membulat. “Kamu tidak usah ikut. Bunda hanya ingin bertemu dengan Manda. Entah apa yang ingin mereka bicarakan, aku hanya diperintahkan untuk membawanya,” lanjut Juna saat melihat mulut Sophi yang sudah bisa ditebak akan mengatakan apa. Tak ada yang menimpali perkataan Juna. “Kamu bisa kan pergi menemuinya, Manda?” tanya Juna padaku yang kujawab dengan anggukan. Akan lebih baik aku tidak bertemu Dion untuk beberapa waktu. Tapi, apa aku terlalu percaya diri bahwa Dion akan mengatakan cinta padaku? Ah, entahlah. Hanya saja aku terlalu gelisah. “Baiklah. Tapi, pastikan pulang sebelum larut malam, ya. Kita harus mampir dulu ke Malioboro, oke?” tuntut Risa yang ditimpali Juna dengan mengangkat kedua jempol tangannya.  Aku melirik ke arah Sophi yang menatapku tajam, seolah ingin menelanku bulat-bulat. Dan Dion, ekspresinya sangat datar, sampai aku tidak bisa menerjemahkan apa yang sedang dipikirkannya. “Memangnya Bunda mau berbicara apa padaku? Tapi, Bunda tidak ada menelepon atau mengirim pesan,” ujarku saat mobil Juna mulai membelah jalan dan aku memeriksa ponselku. Juna tidak menjawab. Dari sudut mataku kulihat laki-laki bergigi gingsul itu terkekeh. Aku mengerutkan kening dan menatapnya penuh curiga. “Kamu bohong, ya?” tudingku. Lagi-lagi laki-laki itu hanya terkekeh. “Juna!” sentakku kesal. “Haha… melihatmu begitu membuatku ingin tertawa. Mengingatkanku saat pertama kali bertemu,” ungkap Juna dengan tetap fokus pada jalan di depannya. “Juna, kamu bohong tentang Bunda Anna yang memintaku datang, kan?” tanyaku tanpa menimpali ucapannya. “Good, kamu sangat cepat tanggap,” timpal Juna dengan tawa renyahnya. Aku hanya bergumam ‘oh’ dan raut wajahku kembali datar. Juna melirikku dengan heran. “Apa tadi yang kamu katakan?” tanya Juna memastikan pendengarannya baik-baik saja “Oh,” jawabku datar seraya menutup kelopak mata. Aku merasakan punggung telapak tangan Juna menempel di keningku. “Kamu sakit ya, Manda?” “Kenapa?” “Beberapa menit yang lalu kamu sepeti macan betina dan sekarang berubah menjadi kelinci yang anggun. Kamu membuatku bingung,” ungkap Juna yang kubalas dengan senyum samar.  “Kita mau ke mana?” “Cari makan. Tapi, aku ingin yang di warteg-warteg. Makanan hotel tidak membuatku berselera. Kita keliling untuk berkuliner saja malam ini,” imbuh Juna seraya menebarkan pandangannya ke setiap ruas jalan. “Kamu belum pernah kan menikmati makanan khas Jogja? Kalau belum, ini saatnya kita berburu. Aku selalu suka mencicipi makanan setiap daerah. Makanan khas Sunda yang selalu membuatku ketagihan dan selalu menjadi incaran utamu jika berkunjung ke daerah-daerahnya,” lanjutnya. “Apa?” “Surabi topping oncom pedas yang seperti pancake itu, terus nasi timbel dengan sambal, lalab, dan goreng bebek,” cerita Juna yang membuatku jadi ingat papa. Papa juga sangat suka makanan itu. “Ternyata kamu jago makan juga, ya? Kalau tidak salah di Bandung banyak makanan seperti itu.” “Bukan jago makan sih, tapi aku suka makanan-makanan khas daerah setempat. Nah iya, rencananya aku mau pergi ke Bandung minggu depan sekalian ada pekerjaan. Kamu mau ikut?” tawar Juna. Aku termangu. Belum sempat kujawab tawaran Juna, laki-laki berkacamata itu sudah menarik kesimpulan. “Oke, karena kamu diam berarti minggu depan kita berangkat. Jenuh juga jika harus berangkat sendiri.” Aku menarik napas panjang. Seakan enggan berceloteh, kututup kembali kelopak mataku hingga akhirnya Juna memarkirkan sedan hitamnya. Juna memilih makan peyek belut dan nasi kucing. Aku hanya mengikutinya dari belakang dan meminta menu yang sama. “Ngomong-ngomong, tadi apa yang sedang kamu dan Dion bicarakan? Sepertinya kamu terlihat tegang sekali,” ungkap Juna dengan mulut penuh makanan. “Bukan apa-apa. Hanya perbincangan tak penting,” kilahku tanpa menatap wajahnya. “Benarkah? Bukankah Dion ingin mengatakan cinta padamu?” Aku tersedak. Peyek belut yang bercampur sambal membuat  tenggorokanku terasa perih. “Hhhh… ini minum dulu. Makannya pelan-pelan,” Juna menyodorkan segelas es teh ke depanku. “Ini juga sudah pelan-pelan. Kamu yang bicara terus,” protesku. Juna hanya terkekeh—seperti biasa. Gerimis kembali turun dengan perlahan. Tanpa menunggu reda, aku segera mengajak Juna untuk kembali ke hotel setelah nomor Risa terpampang sebagai lima panggilan tak terjawab. “Kamu harus bertanggung jawab jika Risa menyemprotku nanti.” Lagi-lagi laki-laki itu hanya terrtawa renyah.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices