
by Titikoma

Sembilan
Kita tidak akan pernah tahu seperti apa masa depan. Biarlah takdir melukis sesuai skenario terbaik Tuhan. Kita hanya perlu menjejaki setiap tapaknya dengan kerelaan dan harapan. Awan sedikit kelabu. Aura dingin mencoba menembus sweater hijau muda yang kupakai. Aku berdiri mematung di sebelah salah satu stupa berlubang Candi Borobudur. Pikiranku melayang. Masa lalu terus berganti slide di depanku dengan polosnya. Gagahnya gunung Merbabu-Merapi yang menjulang di sebelah Timur Laut perlahan tampangnya memudar terhalangi kabut. Namun, bagiku suasana ini membawa ketenangan dan kenyamanan tersendiri. “Kita tidak pernah tahu seperti apa masa depan. Kita hanya bisa mengirangira dan terkadang membuat kita takut sebelum menapakinya. Hah… kita hanya bisa menggantung harapan dan belajar dari masa lalu. Bukan berarti kita harus membencinya,” Risa menyejajarkan posisinya di sampingku. Aku mendesah pelan. Sangat bodoh jika aku tidak bisa memahami kalimat yang diucapkan oleh Risa. Aku tahu. Aku selalu mencoba memercayai itu. Bukan hanya karena perjalanan cintaku yang melukaiku. Tapi, ada yang sangat lebih tidak bisa aku lupakan. Papa. Cintaku tidak bisa hilang dariku. Aku yang selalu berpikir dan berkata bahwa aku membencinya, sebagian hatiku selalu mengingkari itu. “Untuk kejadian itu… aku minta maaf, Risa,” sebutir air mata tumpah begitu saja di pipi kananku. Lagi. “Tak ada alasan bagiku untuk tidak memaafkanmu. Rasa sayangku melebihi kemarahanku. Semoga juga rasa sayang yang pernah terpatri di masa lalu juga bisa kamu maafkan.” “Aku akan mencobanya. Meski terkadang aku tidak begitu yakin akan itu.” “Rasa takutmu untuk masa depan harus kamu hapus, Manda. Dan kemarahan serta kebencian di masa lalu harus bisa kamu pudarkan,” Risa merangkul pundakku. Dari sudut mataku, kulihat bibir merah itu tersenyum. “Aku sudah cukup senang, Manda. Kamu sudah mulai berubah. Kamu tidak lagi sedingin dan sekaku dulu. Dan aku yakin, perlahan kamu benarbenar akan menghalau kabut itu dan menggantinya dengan cahaya ceriamu. Kamu akan kembali sebagai Manda yang hangat, ceria, lucu, dan juga menggemaskan.” Aku tersenyum samar. Risa memang sangat berharga untukku. Semesta memang selalu berlaku adil. Aku memang kehilangan beberapa orang yang kukasihi, tapi secara bersamaan sekelilingku dipenuhi begitu banyak cinta dari orang-orang yang bahkan tidak aku kenal sebelumnya. “Dion, coba sekali lagi!” suara Risa yang menyebut nama laki-laki yang entah sejak kapan sudah ada di depanku membuat lamunanku pecah. “Entah apa yang sedang dia pikirkan. Tapi, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku. Bahkan saat kameraku ini mengarah padanya tadi, dia sama sekali bergeming,” ujar Dion yang membuat kelopak mataku membulat. “Hei, kamu memotret tanpa izin, ya? Tidak sopan!” ketusku. “Tidak. Aku hanya menuruti perintah Risa. Ayo, sekali lagi. Coba sedikit tersenyum. Jangan menampangkan wajah konyolmu itu yang terlihat seperti Caplin. Itu bisa merusak kameraku,” Dion terkekeh. Aku hanya memonyongkan bibir saat lampu blitz itu terlihat mengedip. Aku segera berlalu meninggalkan Dion yang langsung menggerutu pada kameranya dan Risa tergelak. Ah, Risa memang benar. Perasaanku lebih baik saat menghirup udara di sini. “Aww!” aku mengaduh, sebuah tabrakan yang cukup keras menghantam punggungku saat sedang konsen memotret megahnya Candi Borobudur dari bawah. “Manda?” bukannya meminta maaf, orang di belakangku malah menyebut namaku, seolah sedang memastikan. Aku membalikkan tubuhku penasaran. “Juna?” laki-laki berkacamata itu berdiri di depanku dengan senyum yang merekah. Tapi, dia tidak sendiri. “Sophi?” aku menyipitkan kedua mataku. Ya, wanita yang kutemui malam itu bersama Bunda Anna. Sekarang dia bersama dengan Juna. Tunggu! Apa aku tidak salah lihat? Dia dengan santainya merangkul lengan Juna. Aku hanya menatap mereka dengan pandangan datar. Tidak ada sepatah kata pun yang ingin keluar dari mulutku. “Maaf, Manda. Aku tidak sengaja menabrakmu tadi. Tapi, kamu sedang apa di sini? Kamu sendirian?” tanya Juna yang begitu malas aku jawab. “Dia tidak sendirian. Dia datang ke sini bersama aku dan Risa,” aku sedikit bernapas lega saat mendengar suara Dion mewakiliku menjawab pertanyaan Juna. Juna hanya menimpalinya dengan bergumam ‘oh’. “Aku baru tahu kamu sudah berpasangan. Tapi, sepertinya aku pernah melihatmu di pesta Tante Anna,” lanjut Dion yang ditujukan pada wanita yang sejak tadi seolah sedang tersenyum bangga. Pakaiannya memang selalu membuatku berkomentar ‘wah’. Kali ini Sophi memakai dress pendek selutut berwarna merah jambu. Bagian lengannya tak mencapai bagian sikut. Kedua telapak kakinya ditutupi sepatu kets warna putih. Tak ada jaket atau sweater pun yang dipakainya. Hanya sebuah syal tipis berwarna senada dengan dress-nya melingkar di leher yang sedikit pendek. Ahh, apa dia tidak kedinginan di cuaca seperti ini? Bahkan aku bisa menebak lima menit kemudian hujan akan turun. Juna hanya melirik sekilas lengannya lalu melepaskan pegangan tangan Sophi dan berlalu. Dia pergi dengan Sophi yang mencoba menyusul langkah lebarnya. “Ada apa dengan laki-laki itu? Lalu… wanita itu siapa? Terasa aneh jika kita menyebut mereka pasangan saat sang laki-laki mencoba melepaskan tangannya itu,” komentar Risa yang menatap punggung kedua insan itu yang perlahan menjauh. “Sshh… entahlah. Tapi, sebelum aku bertanya mengenai kekasihnya itu, dia tidak mencoba melepaskannya. Aku baru tahu tipe wanita yang diinginkan Juna. Aku benar-benar heran,” Dion menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. “Iya, aku setuju. Bukankah aku lebih cantik dan imut daripada dia, iya kan?” protes Risa yang kutahu memang dia sangat mengagumi tampang Juna. “Iya, meski masih kalah cantik dengan Manda.” Aku hanya mampu mematung dengan obrolan yang mereka ciptakan. Aku tidak tahu maksud kalimat Dion. Entah dia sedang memujiku atau hanya sekadar sedang menjahili Risa. “Apa kamu tahu kenapa Juna ada di sini bersama dengan wanita centil itu?” Risa mengetuk-ngetuk dahinya dan ikut menatap langit Kota Yogyakarta. “Entahlah,” timpalku singkat. “Kenapa Juna membiarkan wanita centil itu membuntutinya?” “Entahlah.” “Apa menurutmu Juna menyukai wanita centil itu atau tidak?” “Entahlah.” “Manda, apakah tidak ada jawaban lain yang bisa kamu ucapkan?” Risa menyorotkan pancaran mata kesal. “Lalu, aku harus jawab apa? Aku tidak tahu urusan orang lain, apalagi itu Juna. Yang aku tahu hanyalah nama wanita itu. Namanya…” Risa dengan cepat memotong, “Siapa namanya?” “Sophi. Dia putri dari relasi bisnis Papanya Juna. Dan sepertinya mereka dijodohkan. Aku tidak tahu Juna menyukainya atau tidak, tapi aku tahu wanita itu mungkin bisa gila tanpa Juna.” “Kamu… kamu tidak sedang cemburu, kan?” tatapan Risa beralih menginterogasi. “Ya, aku…” “HAH?! Seorang Manda akhirnya bisa cemburu sekarang? Ahh… Kota Yogyakarta memang membawa keberuntungan.” “Apa maksudmu?” aku mengerutkan kening bingung. “Kamu cemburu Manda. Kamu tahu itu artinya? berarti hidupmu sudah berjalan normal. Sangat normal. Meski aku sangat mengagumi wajah tampan itu, tapi aku akan merelakannya untukmu.” “Apa yang sedang kamu bicarakan?” bola mataku mengerling kesal. “Aku cemburu pada mereka yang sedang berceloteh ria bersama temantemannya di lobi seberang sambil minum kopi. Ayo, kita pun harus melakukan hal yang sama.” Aku meraih jaketku lalu mendekati pintu hotel, disusul Risa yang langsung merengut dan hanya bergumam ‘oh’. Langit Kota Yogyakarta sangat hitam pekat. Gerimis mulai membasahi jalan-jalan. Di balik kaca lobi, Dion melangkahkan kakinya menuju ke tempatku dan Risa. “Apa kamu memberi tahu dia bahwa kita di sini?” Risa hanya memalingkan wajahnya dengan polos. Aku menyipitkan kelopak mataku kesal. “Hai,” tanpa dipersilahkan, Dion menarik kursi dan duduk di depanku. Aku tidak lagi mendengar obrolan Dion selanjutnya saat Juna juga masuk ke lobi dan tentu saja bersama Sophi di sampingnya. Sophi melirik ke mejaku dan tersenyum. Senyuman yang sudah tidak aneh dilihat dari bibir merah ranum karena lipstiknya itu. “Kenapa kita tidak gabung saja dengan mereka?” aku hampir melihat Risa tersedak cappucino-nya saat melirik ke arah suara yang tidak jauh dari arah tempat kami berkumpul. Juna mengikuti langkah Sophi yang menyeretnya. “Apa kami boleh bergabung di sini?” tanya Sophi yang langsung dipersilakan begitu saja oleh Dion. Aku hanya memasang wajah datar— seperti biasanya. “Kalian di sini juga?” tanya Risa sedikit sinis. “Iya. Kenapa memangnya? Apa kami mengganggumu?” Sophie tak kalah sinis. “Tidak,” ketus Risa. “Apa kabar, Manda?” tanya Juna dengan tatapan mengarah kepadaku. “Baik,” timpalku datar tanpa ingin balik bertanya. Kelihatannya dia sangat baik-baik saja. “Bagaimana pekerjaanmu di tempat Tante Yuni?” Juna kembali bertanya. “Aku sudah berhenti. Aku hanya membantunya jika ada pesanan cake saja.” Risa terus saja bergantian menatapku dan Juna. “Oh, karena sudah mau sidang, bukan?” Aku mengangguk pelan tanpa membalas tatapannya. Coffe latte yang hangat pun terasa dingin seketika. “Di, aku titip Sophie sebentar ya? Aku ada urusan dulu.” “Kamu mau ke mana? Aku ikut!” dengan cepat Sophi berujar seakan tak rela ditinggalkan Juna sedetik pun. “Ada pekerjaan yang harus aku lakukan. Kamu tunggu saja di sini. Nanti jangan menungguku, lekas masuk ke kamarmu!” Juna terlihat risih dengan tingkah Sophi yang bagaikan ekornya. “Aku mau ikut!” Juna mendesah kesal. “Kalau begitu kamu pulang saja. Jika aku tahu kamu ikut hanya untuk mengganggu pekerjaanku, lebih baik tidak membiarkanmu bersamaku kemarin,” tatapan tajam Juna mencoba meluapkan emosinya. Hujan semakin deras, membuat aura dingin semakin mencerocoki tulang sum-sum. Kutatap secangkir kopi yang kupeluk dengan telapak tanganku. Mampukah aku membangun kepercayaanku kembali pada kepingan cinta yang pernah berhamburan? Mampukah aku menyihir semua kebencian dengan kasih sayang baru yang harus kujemput?