
by Titikoma

Sebelas
Hati bisa memaafkan dengan tulus. Namun, kesempatan kedua tak semudah saat kepercayaan pertama dipecahkan Dengan membawa lelah dan penat yang bejibun, aku memtuskan untuk segera pulang ke rumah setelah sejenak mampir di rumah Risa. Dion dengan senang hati menawarkan bantuan untuk mengantarku. Tapi, aku lebih baik naik taksi daripada harus bergumul dengan kegelisahan dan degup jantung yang tidak akan beraturan. Lama waktu tempuh antara Yogyakarta-Jakarta memakan waktu kurang lebih sepuluh jam, alhasil aku ingin segera membuka kenop pintu lalu merebahkan tubuhku di kamar. Baru saja langkahku menginjak teras rumah, tiga bingkisan yang sama sudah tergeletak santai di depan pintu. Keningku mengerut seketika. Apa Juna yang mengirim ini? Ah, tidak. Dia masih di kota pelajar itu sampai pekerjaannya selesai. Tentu saja, dengan Sophi yang selalu menguntitnya. Sepertinya aku tidak asing dengan bingkisan yang kini sedang kutatap dengan penuh selidik ini. Tanpa berpikir panjang, segera kubawa bingkisan-bingkisan itu ke dalam rumah dan memeriksa isinya. Mungkin ada namanya tertera. Selamat pagi Manda, Jangan lupa sarapan dulu. Semoga harimu menyenangkan Maaf. Ya, aku ingat. Pesan dan isi dari bingkisan ini sama persis seperti tempo itu tepat saat Juna datang. Orang misterius itu mungkin tidak tahu kepergianku dua hari kemarin. Tapi, sepertinya sandwich yang ada di dalamnya sudah diganti dengan yang baru lagi. Rasa lelahku menyamar menjadi rasa penasaran. Siapa orang misterius ini? kenapa dia mengirim pesan yang sama? Dan ‘maaf’, apa maksudnya? Getar ponsel di saku jaket membuyarkan lamunanku. Tante Yuni. “Ciee… yang sudah berwisata. Apakah pulang membawa oleh-oleh?” belum sempat suaraku menyapa ‘Halo’, suara Tante Yuni sudah lebih dulu menyerobot. “Ada nih, kaki dan tangan yang pegal-pegal perlu dipijit,” timpalku disertai tawa kecil. “Haha… kalau itu Tante tidak mau tahu. Dina terus menggerutu kangen katanya. Mungkin nanti malam dia ingin menginap di rumahmu, tidak apa-apa?” Aku meneguk segelas air mineral terlebih dahulu lalu berkata, “Tidak apaapa sama Tante juga. Sudah lama kita tidak menghabiskan waktu dengan bercerita bersama. Aku juga ingin tahu mengenai kafe yang sudah lama tidak aku kunjungi.” “Iyalah, kamu jadi wanita sibuk sekarang. Nanti pukul tujuh malam Tante ke rumah. Siapkan gunungan cemilan dan drama Korea yang bagus, oke?” suara Tante Yuni begitu antusias. “Haha… oke. Aku mandi dulu ya, Tante.” Setelah gelak tawa yang membuncah, jaringan telepon langsung terputus. Aku mengembuskan napas panjang dan melirik kembali pada tiga bingkisan yang menampangkan banyak tanya. Siapa pun dia, kenapa melakukan hal seperti ini? Ting… tong … Suara dering bel mengejutkan jiwaku yang tengah terlelap. Seraya mengumpulkan kembali kesadaran, kulirik jam di layar ponselku. Pukul tujuh. Aku sudah tertidur pulas sekitar empat jam di sofa. Dengan masih menyisakan kantuk, kuseret langkahku menuju pintu teras yang sudah bisa kutebak siapa yang datang. Dina langsung menyerbu memelukku saat pintu kubuka sepenuhnya. “Sekangen itukah kamu pada Kakak, Adik Manis?” godaku seraya mencubit pipi Dina dengan gemas. Ah, aku kembali teringat Ara yang sudah lama tidak kutemui. Apa gadis kecilku serindu ini padaku? “Tentu saja. Kak Manda sudah lama tidak menemuiku. Katanya Kakak sudah dari Jogja, mana oleh-oleh buatku?” tuntut Dina seraya menengadahkan telapak tangannya. Aku dan Tante Yuni tergelak. Setelah Tante Yuni dan Dina duduk di ruang santai dengan cemilan yang sudah kujanjikan, aku segera mengambil sebuah kantong dari kamar. “Ini dia!” kusodorkan kantong bermotif batik yang segera disambut Dina dengan riang. “Aku suka Kak, makasih.” Dina langsung memeluk dan mencium kedua pipiku. Dipakainya langsung dress batik dengan kolaborasi warna merah muda dan putih kesukaannya, lalu berlagak layaknya model. “Oh, iya. Ini ada titipan dari Juna,” seolah baru teringat, aku membuka tas dan memamerkan sebuah aksesori kalung dan sepatu yang sangat pas dengan baju yang dikenakannya saat ini. “Waw. Ini dari Om Juna?” tanya Dina dengan bola mata yang berbinar. “Tunggu, kenapa bisa sangat cocok begini? Kalian membelinya barengan ya?” selidik Tante Yuni yang tiba-tiba saja membuatku tergagap. “Ti… tidak,” aku mengutuk diriku yang harus berubah gagap. “Ahh… pasti kalian bertemu dan pergi berdua ya? Tapi, bukankah Sophi ikut pergi bersama Juna? Sebelum pergi ke Jogja, Juna sempat cerita tentang Sophi. Terlihat jelas betapa malangnya dia dibuntuti wanita aneh itu,” urai Tante Yuni dengan menyelipkan sedikit nada kesalnya. “Di sana Sophi juga sangat tak ingin jauh seinchi pun dari Juna. Sekarang saja mereka masih di sana. Jauh darinya sedikit saja mungkin bisa membuat Sophi kehilangan kewarasannya,” tambahku. “Hah… kenapa Juna tidak melamarmu saja supaya hidupnya tenang, aman, dan damai? Jika begitu kan Sophi tidak akan terus menguntitnya,” ungkapan Tante Yuni membuat kedua pipiku memanas. Tak pernah sedikit pun terlintas di benakku kisah seperti itu. “Iya, Kak Manda. Kakak juga suka kan sama Om Juna?” imbuh Dina yang membuatku semakin tak bisa berkata apa-apa. Ah, kenapa perbincangannya menjadi merambat ke hal seperti ini? “Bagaimana?” dengan serentak ibu dan anak itu menatap ke arahku dan memojokkanku. “Ba… bagaimana a… apanya?” lagi-lagi aku kembali tergagap. Aku merasa ingin bumi menelanku saat ini juga. “Itu, Tante yakin kamu…” Ting… tong … Aku mengembuskan napas lega. Suara bel yang memotong pembicaraan Tante Yuni membuatku merasa tertolong. Dengan bergegas aku menuju pintu dan membukanya. Namun, senyum yang baru saja kusunggingkan luntur seketika. “Riza?” gumamku dengan suara hampir tak terdengar. “Manda,” sapa laki-laki di depanku diiringi senyumnya yang terlihat dipaksakan. Lututku melemas. Andai tidak menyandar pada daun pintu, mungkin tubuhku langsung ambruk seketika. “Bagaimana kabarmu, Manda?” tanya laki-laki yang tampilannya tidak banyak berubah itu, terdengar seakan menusuk menyakiti pendengaranku. “Ke… kenapa kamu di sini?” masih dengan tatapan tidak percaya aku menatap Riza, seolah ingin membekukannya. “Manda, aku ingin meminta maaf untuk kisah pahit yang pernah kamu rasakan.” Kulihat telapak tangan itu bergetar. Kupalingkan wajahku ke arah sudut taman dengan lampu yang meremang. Ketika aku sudah hampir melupakannya, kenapa sosok itu malah hadir dan kini tepat di depanku? Ah, dunia memang aneh. Dan, di mana wanita berambut sebahunya? “Manda, aku minta maaf,” Riza mengulang kata yang sama saat aku bergeming dan menundukkan kepala. “Aku sudah memaafkanmu. Jadi, kamu bisa pergi sekarang!” tanpa menunggu lama, kututup pintu, namun sesuatu terasa menghalanginya. “Manda, tolong dengarkan aku! Aku masih mencintaimu!” BLUG. Kututup pintu sekaligus dengan keras. Tanpa terasa air mata sudah merebak dari setiap sudut kelopak mataku. Mengapa begitu mudah baginya menyatakan cinta lalu mengkhianatinya, dan sekarang kembali menyatakan perasaan pertama? Ketika semuanya mulai terasa sedikit kembali normal, detik ini alur cerita berbelok, seakan mempermainkan perasaanku. Angin malam menatapku sendu. Sudah cukup takut aku membuka hati untuk masa depan. Dan masa lalu? Aku tidak ingin kembali padanya.