Dua Bintang

Reads
108
Votes
0
Parts
21
Vote
by Titikoma

Lima Belas

Memang tidak semua berhak mendapat kesempatan kedua. Tapi, ia juga datang pada sebuah ketulusan untuk memperbaiki kesalahan di kesempatan pertama. “Papa,” dengan nada suara yang teramat pelan aku memanggil laki-laki di depanku. Dia tak banyak berubah. Hanya saja kerutan yang menghiasi wajah tegasnya semakin terlihat. Wajah yang terus membuatku menelan perasaan cinta dan benci sekaligus. Logikaku segera mengambil keputusan untuk kembali ke dalam dan menutup pintu dengan keras. Tapi, hati menahan langkah kakiku, terdiam mematung menatapnya dengan bola mata yang kini mulai berembun. “Manda… maafkan Papa. Maafkan Papa,” suara yang lembut itu terdengar serak. Tangisan yang tidak pernah kulihat itu kini membuncah pilu tepat di hadapanku. Tubuhnya bergetar. Kedua telapak tangannya saling menggenggam di depan dadanya. Sesak. Aku seolah merasakan sesak yang kini sedang dirasakan olehnya. Kenapa harus seperti ini? Apa yang harus kulakukan? “Kenapa… Papa ke sini?” aku masih berada di ambang pintu. Lututku benar-benar melemas hingga membuatku terduduk seketika. Luka lama itu kembali merekah. Perih. Bertambah perih saat melihat papa terisak seolah menahan luka yang sama sakitnya denganku. “Manda… maafkan Papa. Maafkan Papa.” Hanya kalimat itu yang keluar berulang-ulang dari mulut papa untuk beberapa menit. Aku sungguh tak bisa melakukan apa-apa selain melihatnya. Isak tangisnya semakin terdengar jelas. Aku tak sanggup. Aku ingin pergi. Namun, lagi-lagi hatiku mengunci niatku. “Papa sadar Papa salah, Manda. Sungguh, Papa meminta maaf. Papa bukanlah orang tua yang baik. Sebagai ayah yang seharusnya melindungi, menyayangi, dan membahagiakan anaknya, justru malah membuatnya terluka. Sejak Papa pergi dari rumah, Papa tahu Papa salah. Namun, ego Papa membuat Papa tak kembali untuk segera meminta maaf. Kamu  memang pantas untuk membenci Papa. Bahkan kamu berhak untuk membenci Papa selamanya. Tapi, Papa mohon maafkan Papa, Manda. Maafkan Papa. Papa tidak bisa hidup tenang tanpa maaf darimu. Maafkan Papa yang telah gagal menjadi seorang ayah yang baik. Kamu… mau memaafkan Papa, Manda?” Embusan angin yang tiba-tiba dingin menelusup membekukan semua aliran darahku. Hening. Yang terdengar hanya isak tangis Papa, sedang tangisanku keluar tanpa suara. Semuanya terasa sesak. Di satu sisi aku ingin menghapus air mata Papa, mengatakan padanya untuk berhenti mengeluarkan butir kristalnya. Tapi, di sisi lain masa lalu itu kembali menghantui, mengingatkan bahwa luka itu teramat sakit, bahkan mungkin tak bisa diobati. “Mama. Bagaimana dengan Mama?” tanyaku saat pikiranku mulai merangkak mengingat seorang wanita yang bahkan lebih terluka dariku. Papa terdiam. Dia seperti sedang menyusun kata-kata yang tepat. “Apa Papa sudah meminta maaf pada Mama?” Tak ada jawaban. “Apa Mama memaafkan Papa?” Tetap tak ada jawaban. “Apa Mama…” “Kami sudah rujuk dua bulan yang lalu, Manda.” DEG. Kali ini untuk sekadar menggerakkan jemari saja aku tak mampu. “Kenapa aku tidak diberi tahu?! Kenapa Papa datang sekarang?! Kenapa…” Hening kembali mengudara. Kali ini sayup-sayup suara Tante Yuni dan yang lainnya terdengar. “Biarkan Manda berbicara berdua dengan Papanya. Biarkan mereka menyelesaikan masalah mereka. Semoga dengan itu hubungan mereka kembali baik dan Manda tidak lagi merasa terbebani oleh luka masa lalunya.”  “Ada apa memangnya dengan Papanya?” tanya Sophi. “Kamu tidak perlu mencampuri urusan orang lain. Lebih baik kita kembali ke dalam,” suara Juna kali ini yang terdengar. “Mama tidak ingin membuatmu sedih, Manda. Kami memutuskan untuk kembali. Papa ingin menebus semua kesalahan Papa. Papa malu sama kamu. Papa merasa sangat bersalah. Papa mohon, berikan Papa kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya.” Aku tersenyum getir. “Lalu, bagaimana caranya Papa memperbaiki hatiku?” Papa tak memberikan jawaban. Dia sudah ikut terduduk di depanku beberapa menit yang lalu. Andai aku harus jujur, aku ingin memeluknya sekarang juga. Aku ingin membenamkan kepalaku di dadanya. Tapi, logikaku berkata, dia adalah orang yang pernah menyakitimu hingga lukanya masih kamu rasakan saat ini. “Sejak kamu mulai tinggal di Jakarta, Papa terkadang melihatmu dari kejauhan. Papa ingin meminta maaf, tapi Papa teramat malu. Akhirnya, setelah kembali pada Mamamu dan dia memberi harapan bahwa semua akan kembali baik-baik saja, Papa mulai mengambil keberanian untuk memulainya dengan memberikan sarapan kesukaanmu.” “Jadi…” “Iya, dengan pesan singkat permintaan maaf itu. Itu Papa. Papa lagilagi harus menyesali karena hal itu malah membuatmu harus ke rumah sakit. Papa adalah seorang Ayah yang buruk, bukan? Papa sangat sadar itu. Meskipun kamu tidak akan menerima Papa kembali, tidak apa-apa. Papa hanya ingin mendengar kamu memaafkan Papa. Meski kamu tidak ingin melihat Papa lagi, meski kamu tetap membenci Papa, Papa rela asalkan kamu setidaknya mau memafkan Papa. Atau… apa yang harus Papa lakukan supaya kamu mau melakukan itu? Papa akan melakukan semuanya. Maafkan Papa, Manda. Maafkan Papa.” Air mata itu kembali membasahi wajahnya. Tahun demi tahun berganti. Papa sudah tidak seperti dulu lagi. Dia bahkan lebih kurus dari terakhir kali aku melihatnya. Rambutnya yang hitam kini sudah memutih sebagian. Papa pasti juga menyimpan beban yang sama beratnya.  Tak ada manusia yang sempurna dalam melalui hidup tanpa melakukan kesalahan. Bukankah kesempatan kedua selalu ada bagi mereka yang bersungguh-sungguh? Papa memberikan kasih sayangnya semenjak aku masih kecil. Kenangan itu masih teringat jelas, meski luka itu pun sama jelasnya. Tak ada salahnya, bukan? Tak ada salahnya jika aku memaafkan papa? Bukankah selama ini aku juga merindukannya? Bahkan mama saja—yang jauh lebih terluka—menerima papa kembali. Ada waktunya logika yang menimbulkan keegoisan tak perlu menjadi acuan. “Maaf sudah mengganggumu, Manda. Selamat ulang tahun. Semoga kamu selalu berbahagia. Sekali lagi, maafkan Papa yang tidak bisa menjadi seseorang yang terbaik untukmu. Terima ini sebagai hadiah ulang tahunmu. Ini dari Papa dan mama. Semoga lekas sembuh dan tidak lagi mendapat kesusahan seperti apa yang telah Papa berikan. Semoga ada yang mampu menjagamu dengan sepenuh hatinya. Kamu sedang ada acara, bukan? Masuklah. Istirahat. Terima kasih sudah mau mendengarkan kata-kata Papa yang tak berguna ini. Papa akan pulang sekarang. Baik-baik ya, Manda. Kami di rumah selalu merindukanmu.” Papa menyodorkan sebuah bingkisan berbalut kertas berwarna biru tua. Aku tak bisa melihat ekspresinya dengan jelas karena pandanganku mulai kabur oleh genangan air mata. Setelah mendengar langkah kakinya yang perlahan mulai menjauh, entah kekuatan dari mana aku langsung menyusulnya dan memeluk tubuhnya yang ringkih itu dari belakang. Aku tak bisa menahan semuanya. Di tengah isak tangis yang semakin keras aku berkata, “Papa, aku rindu. Jangan pernah lagi meninggalkanku dan Mama.”


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices