Dua Bintang

Reads
105
Votes
0
Parts
21
Vote
by Titikoma

Sembilan Belas

Ketika jiwa membiarkan ketakutan berada paling depan dan meninggalkan keyakinan pilihan, jangankan beberapa tahun ke depan, sedetik kemudian penyesalan akan mengubah semuanya Hujan masih menjelma gerimis saat pagi menyapa. Mentari mengalah pagi ini. Suara-suara dan tingkah burung kecil sedang beristirahat di antara celah dahan pohon cemara. Aroma butiran bening yang bercampur dengan aroma cokelat panas menyeruak. Akhir-akhir ini cuaca tidak dapat diterka. Panas dan hujan selalu berkompromi, mempermainkan anak-anak manusia yang sibuk dengan aktivitasnya. Di ambang jendela aku terduduk, memeluk kedua lutut yang ditekuk seraya sesekali kubenamkan wajah di atasnya. Snowglobe yang kudapat dari Dina tempo itu—yang ternyata pemberian dari Juna—mengalun, memainkan melodi yang seolah memandu gerimis untuk menari indah. Tanpa sengaja ibu jari tangan kananku menyentuh cincin bermata bening yang masih melingkar di jari manisku. Aku baru sadar ternyata masih memakainya. Begitu banyak pertanyaan yang kini menjejal. Apa maksud Juna dengan semua ini? Sempat kubertanya malam itu, tapi dia hanya menjawab, “Biarkan malam ini berlalu dengan tenang tanpa pertanyaan apa pun, oke?” dan dengan polosnya aku menurut. Terkadang aku merutuki diriku sendiri atas sikap yang selalu berubah bodoh ketika sedang bersama laki-laki bergigi gingsul itu. Ya, seolah di depannya seorang Manda menjadi sosok yang berbeda dari Manda yang sebelumnya. Aku kembali memperhatikan emas putih itu dengan saksama. Ah… mungkin ini hanya penyempurna adegan saja. Mungkin saja Juna tahu bahwa Dion tidak akan percaya jika dia tidak melakukan hal ini. Aku mencoba berpikir normal. Tapi, lagi-lagi sebuah pertanyaan mencuat. Lantas, kenapa hingga saat ini Juna tidak menyinggung soal cincin ini dan masih membiarkan aku memakainya? Astaga, aku bahkan sempat berpikir bahwa aku tidak ingin melepaskan cincin tersebut. Apa yang kamu pikirkan, Manda?! Sadarlah!! Suara dering ponsel terdengar, tepat saat aku sedang menghela napas panjang dan berniat untuk melepaskan barang yang bukan milikku itu. “Hai, Nona. Ini aku,” aku terkesiap, seolah belum siap untuk mendengar suara dengan nada altonya. “Sedang apa pagi ini? Oh ya, apa kamu tidak ingin berterima kasih untuk yang telah kulakukan kemarin malam?” lanjutnya. “Bbu… bukannya aku sudah mengucapkan terima kasih?” Refleks aku langsung menipuk kepalaku saat menyesali ucapanku yang tergagap. Memalukan. “Hmm? Apa kamu hanya memberikan ucapannya saja?” “Maksudmu?” “Zaman sekarang di dunia ini tak ada yang gratis, Nona. Aku ingin kamu membayarku dengan makan malam, setuju?” aku seketika termangu. “Hei, setuju, kan? Aku ingin makan malam dengan melihat pemandangan pantai dan langit yang cerah.” “Hari ini hujan,” kilahku. Aku sedang tidak ingin melihatnya. Tepatnya, aku sedang tidak bisa melihatnya. “Hujan hanya turun pagi ini.” “Aku tidak bisa.” “Harus bisa! Aku akan menjemputmu sore nanti,” Juna memang selalu memaksakan keinginannya, dan anehnya aku selalu berubah idiot dengan tak bisa berusaha melawannya. “Cincin itu tetap kamu pakai, jangan dulu dilepaskan!” Aku ingin menyanggah bahwa aku tidak bisa memakainya, namun Juna sudah lebih dulu mematikan sambungan telepon. Entah karena apa, tapi sebagian hatiku tiba-tiba terasa ngilu. Jendela pandangku menerawang, menatap gerimis yang sepertinya memang akan segera mereda. Sebenarnya, apa yang sedang aku rasakan?  Sekitar lima detik aku menatap sosok laki-laki yang sedang menikmati makan malamnya dengan lahap. Sejak menjemputku sore tadi, tak ada obrolan apalagi lelucon yang diciptakannya. Sangat canggung. Aku kehilangan nafsu makan, hingga hanya memesan jus alpukat yang sedari tadi pun belum kusentuh juga. “Kamu tak lapar?” tanyanya memecah hening. Aku mendengus kesal. Dengan polosnya dia bertanya seperti itu sedangkan sikapnya sedari tadi membuatku jengah. Aku lebih suka dia cerewet seperti biasanya. Apa sesuatu sedang terjadi padanya? Apa itu berhubungan dengan Sophi? Lagi-lagi hatiku terasa ngilu tanpa alasan. “Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya lagi. Kali ini sorot matanya beralih menatap ke arahku. Andai situasinya tidak secanggung ini, aku mungkin sudah menertawakan sisa kecap yang melumuri mulutnya. “Bukankah aku yang seharusnya bertanya seperti itu? Hari ini kamu seolah berubah menjadi manusia es,” pandanganku balik menatap tajam bola mata di balik kacamata itu, “Apa terjadi sesuatu? Apa Sophi tidak mau berhenti mengejarmu?” “Tidak, dia sudah berangkat ke Amerika tadi siang dan untuk terakhir kalinya dia memintaku mengantarnya ke bandara.” “Lalu?” “Lalu apa?” “Kamu merasa menyesal dan sedih karena dia pergi?” “Heh? Bagaimana bisa kamu menyimpulkan seperti itu?” “Lantas kenapa sedari tadi kamu hanya diam seolah sedang memikul beban yang berat? Apa kamu pikir aku boneka yang mengusir jenuhmu?” Seketika Juna terdiam lalu meneguk jus jeruknya hingga kandas. Dia menghela napas panjang dan kembali menatap ke arahku. Andai aku bisa, aku ingin melihat apa yang berada di pikirannya saat ini. Ya, aku benarbenar kalah. Setiap menyangkut tentangnya aku selalu berubah bodoh. “Aku hanya sedang menampangkan sikap seriusku hingga saat aku bicara sesuatu kamu tidak menganggapnya sebuah lelucon.”  Aku mengerutkan kening, tak paham dengan maksud perkataannya. “Maukah berjalan-jalan sebentar?” Angin pantai memainkan rambut yang kubiarkan tergerai. Malam terlihat begitu megah dengan formasi bintang-bintang yang memesona, sedang dewi malam hanya terlihat separuh. Deburan ombak yang tenang menambah suasana canggung semakin kentara. Perasaanku mulai tak tenang. Semuanya akan mudah jika saja Juna tidak mendadak bersikap tidak biasanya. Sikap serius? Itu hanya membuatku kikuk. “Manda…” meski dengan nada pelan, tapi suara Juna yang memanggil namaku dengan lembut terdengar begitu jelas. Jantungku kembali berdegup lebih kencang. “Hmm?” timpalku seraya memalingkan pandangan ke arah pantai. Sekuat tenaga aku mencoba menetralisir seluruh keadaan tubuhku yang seolah syok secara tiba-tiba. Langkah Juna terhenti dan mengambil posisi di sampingku seraya menatap ke arah yang sama. “Manda, bolehkah aku bertanya sesuatu?” “Tentang apa?” “Kenapa kamu menolak Dion?” Aku sedikit memberi jeda, merapatkan sweater abu-abu yang kukenakan. “Karena aku tidak ingin menyakitinya.” “Tapi, apa kamu mencintainya?” “Tidak! Aku bahkan tidak pernah berpikir aku mencintainya.” “Lalu, apa kamu mencintai seseorang?” Apa aku mencintai seseorang? Pertanyaan yang sama dengan Risa tempo itu. perasaanku semakin berkecamuk. Apa yang harus aku katakan? Apa aku mencintai seseorang? Apa aku memang… “Karena aku mencintaimu.” DEG. Puluhan bintang terasa berjatuhan seketika saat kalimat itu mengalir  tenang dari bibir Juna. “Ja… jangan bercanda seperti itu, Juna. Itu benar-benar tidak lucu,” sanggahku cepat sebelum akhirnya mengambil langkah menjauh. Tapi baru saja satu langkah, Juna sudah lebih dulu menarik pergelangan tanganku. “Apa sejak tadi aku terlihat membuat lelucon? Sudah kukatakan aku bersikap seperti ini supaya kamu tidak berpikir demikian. Seperti yang dirasakan Dion, cinta tidak bisa disalahkan. Sejak di Bandung, aku sudah memikirkan semuanya. Aku sudah berniat untuk mengungkapkannya secara serius padamu. Jika kamu bertanya sejak kapan aku mencintaimu, aku tidak bisa menjelaskannya. Entah itu terjadi sejak pertemuan pertama tanpa kesengajaan atau sejak kemarin saat aku menjadi kekasih palsumu. Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku ingin memilikimu secara utuh dan nyata.” Seluruh sendiku melemas. Sesuatu yang hangat terasa membasahi kedua pipiku. Kini sepertinya aku tahu jawaban atas pertanyaan yang Risa dan dia lontarkan. Apa aku mencintai seseorang? Ya, aku memang mencintai seseorang. Aku mencintai laki-laki yang berada di depanku saat ini. Dia yang sering membuatku kesal, dia yang menyebalkan, dia yang selalu ada saat aku tertimpa masalah dan membantu menyelesaikannya, dia yang membuatku tertawa untuk pertama kalinya lagi, dan dia… yang baru saja menyatakan cintanya padaku. Ada rasa bahagia yang meletup, namun secara bersamaan dadaku terasa sesak. Hatiku kembali terasa ngilu. Entah kenapa rasa bimbang merasuk hingga separuh jiwaku yang kosong terasa lebih sakit. Kenapa aku merasakan hal seperti ini? Kenapa aku harus merasakan cinta dan takut sekaligus? “Manda, aku tahu semua tentang masa lalumu dan itu membuatku ingin bersamamu untuk kembali membuka lembaran baru. Aku tidak akan berjanji untuk tidak menyakitimu, tapi aku berjanji akan selalu membahagiakanmu. Tidak akan kubiarkan setetes air matamu jatuh karena luka. Kamu percaya padaku, bukan? Aku tidak akan memaksamu mencintaiku, aku hanya ingin kamu mempercayaiku. Percayalah padaku bahwa masa depan yang kamu takutkan tentang cinta tidak akan pernah terjadi.” Air mata semakin deras keluar dari kedua sudut mataku. Aku tak mampu  mengatakan apa pun. Juluran tangan Juna tentang masa depan itu membuat bimbangku menjadi-jadi. Apa aku harus menerima uluran tangan itu? Apa aku memercayainya? Apa cintaku tidak akan kembali keliru? Apa takdir itu akan berpihak padaku? Apakah… ah, terlalu banyak pertanyaan yang semakin membuat dadaku bertambah sesak. “Manda, cincin yang kusematkan malam itu bukan untuk sekadar menyempurnakan adegan yang mungkin kamu pikirkan. Aku serius. Aku telah menuliskan namamu dan namaku di dalamnya. Aku memang sudah merencanakan semuanya. Jadi, maukah kamu percaya padaku? Bolehkah aku terus mendampingi dan membahagiakanmu? Bolehkah aku membawamu ke dalam kehidupanku seutuhnya?” Aku ingin mengucapkan “iya”, tapi tenggorokanku tercekat. Aku tidak bisa, bahkan aku semakin takut tidak hanya aku yang terluka, dia mungkin akan lebih terluka. Dengan pandangan nanar aku menatap cincin yang masih berada di jariku, perlahan menyentuhnya, lalu menariknya. Dengan isak tangis yang tertahan aku mencoba berkata, “Maafkan aku,” lingkaran emas putih itu kukepalkan pada telapak tangan Juna yang dingin. “Maafkan aku,” hanya kalimat itu yang mampu keluar dari pita suaraku. Dengan deburan ombak yang kini terdengar keras, aku melangkah pergi meninggalkannya. Setelah berjalan cukup jauh aku berhenti, berbalik untuk sekadar melihatnya yang kini masih mematung. Tatapan matanya yang terlihat pilu tak bisa kuterjemahkan. “Maafkan aku, Juna. Aku mencintaimu.”


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices