
by Titikoma

Keputusan
Di saat semua orang mulai beranjak dari tempat duduk masing-masing. Dua orang prajurit yang mengapit Anton bangkit dan menarik lengannya ke arah singgasana. Anton meronta, berusaha keras melepaskan tangannya dari para prajurit itu. Akan tetapi, seberapa keras pun ia meronta, semua yang ia lakukan tetap sia-sia. Ia terus berjalan menuju singgasana dengan lengan yang dicengkeram erat. “Tidak.” Giselia menghadang kedua prajurit yang membawa Anton. “Kalian tak bisa membawa anak itu. Apa kalian tak mendengar kalau Raja telah membebaskan aku?” “Anda yang dibebaskan Tuan Putri, bukan anak ini,” sahut prajurit yang berada di sisi kiri Anton. Giselia melirik Anton. Ia mendapati anak kecil itu tengah meringis ketakutan. “Dia bersamaku,” tegas Giselia. “Anak ini boleh bersama anda jika Yang Mulia Raja Walmond mengizinkannya.” Dua prajurit itu menyenggol Giselia hingga terjatuh. Giselia bangkit dan berlari kecil untuk mengejar. Namun, ia terlambat. Prajurit itu telah menapaki anak tangga. Dan semua orang yang ada di sana telah melihat Anton. “Maaf, Yang Mulia.” Kedua prajurit itu menunduk. “Ada apa? Siapa anak kecil yang kalian bawa?” tanya Raja Walmond.. “Maaf, Yang Mulia. Kami menemukan anak kecil ini berada di tahanan Putri Giselia. Kami tak tahu bagaimana caranya ia bisa masuk ke dalam penjara. Tak seorang pun prajurit yang membukakan pintu untuk anak ini.” Dahi Raja Walmond mengerut. “Bagaimana bisa anak kecil itu bisa masuk, sedangkan kalian tak membukakan pintu untuknya?” Anton mengamati garis wajah raja di depannya. Ada sebuah bekas luka di sana. Bekas sayatan pedang yang sepertinya sangat sulit untuk disembuhkan. Menyadari tatapan Anton yang tertuju pada luka itu. Raja tiba-tiba merasakan darahnya mendidih. Ia tak suka seseorang melihat luka itu seperti cara Anton menatapnya sekarang. Pada zaman sekarang, di mana Anton berada saat ini, menyembuhkan luka seperti itu adalah hal yang mudah. Dokter spesialis kecantikan mampu menghilang bekas luka dengan cepat. Namun, Raja Walmond tak menginginkan itu semua. Raja tetap ingin luka itu berada di wajahnya. Karena dengan luka itu, sebuah kenangan menyakitkan yang terjadi lima belas tahun lalu tak hilang dari ingatannya. “Beraninya kamu menatap wajahku seperti itu?” Raja Walmond maju meraih bagian depan baju yang dikenakan Anton. “Aku … aku ….” Anton kesulitan bernapas. Ia tak bisa menggapai oksigen. Ketakutan yang menghunjamnya membuat ia tak bisa berpikir dengan normal. “Di mana kamu tinggal?” bentak sang Raja. “Siapa orangtuamu? Akan kupastikan mereka mendapatkan hukuman yang berat karena memiliki anak yang tak punya sopan santun sepertimu.” Giselia buru-buru menapaki anak tangga melihat Anton berada di cengkeraman raja. “Yang Mulia, tolong lepaskan anak itu. Anak itu tak tahu apa-apa. Dia hanya anak kecil. Dan ….” “Apakah anda mengenalnya, Tuan Putri?” Raja Walmond mengalihkan tatapannya pada Giselia yang tengah menunduk. “Hamba tak mengenalnya, Yang Mulia. Tapi, anak itu tidak berasal dari kerajaan ini. Aku sudah bertanya padanya. Ia mengatakan kalau ia berasal dari dimensi waktu yang berbeda.” “Apa yang anda katakan, Tuan Putri? Apakah anda hendak membodohi saya?” “Tidak. Hamba tidak berniat seperti itu, Yang Mulia. Hamba hanya ingin mengatakan bahwa anak kecil ini tidak memiliki salah apa-apa.” “Baiklah, Tuan Putri. Ini Kerajaan Egler, bukan Kerajaan Aurora. Di sini saya yang memerintah, bukan anda. Saya meminta anda untuk diam atau ….” “Semua keputusan saya serahkan pada Yang Mulia,” potong Giselia sebelum ia mendengar kalimat yang tidak menyenangkan dari Raja Egler. “Siapa namamu?” tanya Raja Egler tanpa sedikit pun kesan ramah. “A-Anton.” “Di mana kamu tinggal?” “Jakarta.” “Jakarta? Di mana itu?” Di mana? Anton membuka mulut. Namun, tak ada kata yang keluar. Tak ada kata di kepalanya yang bisa menjelaskan di mana letak Jakarta. “Indonesia,” sahut Anton asal. “Indonesia?” Raja Walmond memijat keningnya. “Bicara yang jelas. Dari kerajaan mana kamu berasal?” “Aku dari Jakarta. Dan, itu kotaku.” Raja Walmond menyeringai. Ia menyorot prajurit yang membawa Anton lalu memberikan perintah, “Tahan anak ini. Paksa dia untuk mengatakan dari mana ia sebenarnya berasal.” “Tidak, Yang Mulia.” Giselia memegang kaki Raja Walmond. “Dia masih kecil. Hamba mohon, jangan kurung dia! Saya yang akan memastikan bahwa anak ini akan mengatakan dari mana ia berasal.” “Tuan Putri mau membantah apa yang saya perintahkan?” “Saya tidak membantah apa yang dititahkan oleh Yang Mulia. Tapi ….” Tiba-tiba pandangan Giselia tertuju pada seorang perempuan yang duduk di kursi roda. Perempuan di atas kursi roda yang dari tadi hanya diam dengan pandangan kosong. Giselia menunggu perempuan itu menoleh padanya. Dan … perempuan itu pun menoleh. Giselia langsung meminta perempuan itu untuk membantu Anton dengan sebuah gerakan mata. Ia pun berhasil. Perempuan itu menatap Anton. Perempuan itu, yang merupakan Ratu Luxia, meminta dayang yang ada di belakangnya untuk mendorong kursi roda mendekat pada Giselia. Tangannya menjulur, meraih tangan Raja Walmond. “Ada apa, Ratuku?” tanya Raja Egler pada istrinya itu dengan lembut. “Apakah aku boleh meminta sesuatu?” “Ya. Kamu boleh meminta apa pun dariku. Akan kuturuti semua permintaan yang kamu ajukan.” “Aku meminta kamu untuk tidak memasukkan anak itu ke dalam penjara. Setidaknya, sampai kamu menemukan bukti bahwa anak itu memang benar-benar bersalah.” Raja Walmond berpikir sejenak. “Baiklah. Jika itu yang kamu minta, akan aku kuturuti. Aku tak akan menjebloskan anak itu ke dalam penjara. Aku akan mengurungnya di salah satu kamar istana,” katanya kemudian. Apa yang dikatakan Raja Egler membuat Giselia tenang. Meskipun raja tidak membebaskan Anton sepenuhnya, tapi dengan ditahan di kamar istana itu sudah jauh lebih baik. Dalam cengkeraman dua prajurit, Anton mengembuskan napas lega. Ia sudah melihat bagaimana penjara itu. Dingin dan menakutkan. Mungkin ia tak akan apa-apa jika ditahan dalam penjara yang sama dengan Giselia sebelumnya. Namun, bagaimana kalau ia ditahan di penjara yang ia lewati? Membayangkan berada satu tahanan dengan orang-orang yang berwajah sangar itu sontak membuat perutnya mual. “Terima kasih, Yang Mulia,” kata Giselia. Tanpa memedulikan ucapan terima kasih dari Giselia, Raja Walmond berbalik dan pergi diikuti oleh Ratu Luxia serta para pengawalnya. “Aku akan ikut kalian ke kamar istana,” kata Giselia di saat ia melihat dua orang prajurit menggiring Anton. “Maaf, Tuan Putri. Anda tidak boleh ikut. Rombongan dari Kerajaan Aurora sudah menunggu Tuan Putri di gerbang istana. Lebih baik Tuan Putri segera menemui mereka,” kata Raja Walmond penuh hormat. Giselia mengentakkan kaki, lalu bergegas menuju gerbang. “Kamu akan baik-baik saja,” kata Giselia pada Anton sebelum pergi. Anton mengangguk. Anton memasuki sebuah kamar bersama dengan dua orang prajurit. Kamar yang berukuran dua kali lebih besar dari kamarnya di rumah. Mulut Anton menganga melihat apa yang ada di dalam kamar. Perabotan yang mewah dengan ukiran yang indah. Meski tak mengerti dengan masalah ukiran, namun menurut Anton kamar itu tetap luar biasa. Satu hal yang membuat ia sangat kagum adalah TV selebar dinding di sisi kamar. “Apa itu beneran TV?” ujar Anton spontan. Dua prajurit yang mengawal Anton bertukar pandangan. Salah satu dari mereka kemudian menjawab, “Ya.” Sejenak, Anton lupa bahwa ia adalah tahanan. Atau ia memang tak peduli dengan statusnya sebagai tahanan. Ia anak kecil. Selama ini, yang ada di pikirannya hanya game. Tak ada masalah yang dipikirkan olehnya. Nilai yang anjlok pun tak ia pedulikan. “Tim penyelidik akan datang beberapa saat lagi,” kata seorang prajurit. Anton tak peduli. Ia masuk lalu rebah di atas tempat tidur. Empuk dan nyaman. Jauh lebih empuk dari tempat tidurnya. Rumah. Ia tak lagi mengingat rumah. Semua yang ada di depan matanya begitu menakjubkan untuk dilewatkan. Menjadi tahanan? Siapa yang peduli dengan status itu jika penjaranya adalah istana. Terutama untuk anak kecil seperti Anton. Untuk mencegah kebosanan, Anton menyalakan TV. Layaknya sedang bersantai, ia menikmati fasilitas dalam kamar. Tidak ia pedulikan dua orang prajurit yang sedang mengawasi. Lagi pula, ini juga ia lakukan untuk membalas perlakuan para prajurit di ruang makan tadi.Setelah diperlakukan layaknya seorang budak, kini saatnya ia merasakan menjadi seorang pangeran. Sebenarnya, ia masih merasa ini semua tak cukup. Namun, untuk saat ini ia tak bisa melakukan lebih. “Nikmatilah hidupmu sebelum hal yang paling menyakitkan menghampirimu!” ujar salah seorang prajurit merusak ketenangan Anton. Anton menoleh dengan dahi mengerut. Bukan karena marah, melainkan karena ia tak mengerti dengan ucapan prajurit barusan. “Kamu itu tahanan, Nak,” jelas si prajurit. Anton tercekat oleh ludahnya. Kepalanya berputar mengamati sekeliling. Perlahaan bibirnya bergetar menggumamkan nama tempat di mana ia berada, Egler. Ia sedang berada di sebuah istana kerajaan. Kerajaan yang sebentar lagi akan menjatuhinya hukuman karena diangggap sebagai penyusup. Namun, kerajaan ini tak seperti yang ada dalam benaknya. Yang ia tahu, kerajaan itu dipenuhi oleh orang-orang dengan pakaian yang terkesan berlebihan. Para pria memakai jubah yang longgar dan panjang hingga menyentuh lantai. Para wanita juga tak kalah heboh, mereka mengenakan gaun panjang. Semua itu berbeda dengan Kerajaan Egler. Mereka hanya mengenakan pakaian formal dan jauh dari kesan berlebihan. Bahkan, para prajurit kerajaannya juga mengenakan seragam yang hampir mirip dengan seragam tentara pada umumnya. Anton mematikan TV dan beranjak dari tempat tidur. “Apakah Om tahu tentang Jakarta?” tanyanya mendongakkan wajah pada prajurit. “Om?” Kedua prajurit itu saling bertatapan. “Apa Paman tahu tentang Jakarta?” tanyanya kembali. Ia sengaja mengganti kata Om dengan Paman. “Jakarta?” Kedua prajurit kembali bertukar tatapan. “Di mana Kerajaan Jakarta? Kami tak pernah mendengarnya.” Kali ini Anton berkeringat dingin. Ia bingung, bagaimana ia akan menjelaskan kalau ia berasal dari Jakarta, sedangkan semua orang tak ada yang mengenal kota itu. Kota sepopuler Jakarta tak ada yang mengenalnya, bagaimana bisa itu terjadi? Suara derap kaki terdengar beradu menuju kamar di mana Anton ditahan. Tidak satu, dua, atau tiga. Tapi lebih dari sepuluh orang. “Tim penyelidik sudah datang,” bisik prajurit pada rekannya. Mereka kemudian menyingkir ke sudut kamar, memberikan jalan untuk orangorang yang akan datang itu. Benar saja. Ada lima belas orang yang masuk ke dalam kamar tahanan Anton. Mereka mengenakan pakaian serba hitam. Setiap dari mereka memegang sebuah buku catatan dan pulpen. Anton yang merasa tersudut, duduk di atas tempat tidur. Jantungnya berdegup kencang, tangannya bergetar, serta bulir keringat berjatuhan membasahi tubuhnya. Tak pernah ia merasa setakut ini. Bahkan, di saat ia menerima hukuman karena tak mengerjakan PR, ia tidak sampai setegang ini. “Tidak usah takut, Nak.” Pria paling senior dari tim penyelidik mendekati Anton. Ia mengelus puncak kepala anak itu dengan lembut. “Ya. Kamu tak perlu tegang. Kami hanya ingin menanyakan beberapa hal.” Salah seorang dari tim penyelidik itu kembali mendekat. Anton tak menjawab. Ia sibuk mengamati satu per satu wajah di depannya. Ada yang ramah dan ada juga yang terlihat jauh dari kesan ramah. Beberapa saat kemudian, Anton mulai dihujani oleh berbagai macam pertanyaan. Tentang dari mana asalnya, bagaimana ia sampai di penjara Kerajaan Egler, nama orangtuanya dan beberapa pertanyaan lain. Semakin banyak pertanyaan yang diajukan padanya, Anton semakin nyaman. Para penyelidik itu sungguh pintar. Mereka mampu mencairkan ketegangan yang sempat menyergap Anton. “Bagaimana hasilnya?” Seorang pria menerobos masuk. Semua orang yang ada di dalam kamar menunduk serentak melihat pria yang datang itu adalah Raja Walmond. Mereka bergerak, memberikan jalan pada Raja Egler untuk mendekat. “Kami sudah menginterogasinya, Yang Mulia,” kata Tim penyelidik yang paling senior. “Hasilnya?” “Kami yakin, anak ini memang bukan berasal dari masa ini. Sebelum datang kemari, kami sudah memeriksa di mana letak Jakarta seperti yang diperintahkan oleh Yang Mulia. Jakarta itu memang ada. Namun, itu bukan sebuah kerajaan. Itu adalah sebuah kota.” “Kota? Di kerajaan mana kota itu berada?” “Kota itu sudah tak ada lagi, Yang Mulia. Kota Jakarta tenggelam pada bencana tujuh abad yang lalu.” Raja Egler mengangguk. “Pantas saja aku tak tahu tentang kota itu. Ternyata itu kota tujuh abad yang lalu.” “Iya, Yang Mulia.” “Lalu, bagaimana anak ini sampai di masa kita?” Raja Walmond kembali bertanya. “Lewat game,” kata seorang penyelidik, ragu. “Oh, ya, Yang Mulia. Bagaimana dengan proyek mesin waktu yang sudah dimulai lima belas tahun yang lalu?” Raja Walmond tak menjawab. Dadanya terasa sesak mengingat proyek yang sama sekali tak ingin ia bicarakan. Ada kenangan menyakitkan tentang proyek itu. Sebuah kenangan yang berhubungan dengan luka di wajahnya. Meskipun demikian, tanpa sepengetahuan orang banyak ia telah membuat sebuah rencana. Tangan Raja Walmond mengepal. Ia keluar dari kamar. Tak seorang pun yang berani mencegat. “Paman, apa aku sudah boleh pulang?” tanya Anton begitu Raja Walmond tak terlihat lagi. “Memangnya kamu tahu cara pulang ke rumahmu?” “Cara pu ….” Anton memikirkan jalan pulang ke rumah. Namun, bagaimana ia bisa pulang. Tak ada komputer papanya di Kerajaan Egler. “Apa di sini ada game Egler?” tanyanya. Orang-orang yang ada di dalam kamar bertukar tatapan, saling menanyakan hal yang ditanyakan Anton. Namun, tak ada dari mereka yang mengetahui tentang game. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing untuk bermain game. “Baiklah. Jika game itu bisa membawamu pulang, kami akan mencarikannya.” “Terima kasih, Paman,” ucap Anton sumringah. “Umm … apa aku boleh keluar bermain, Paman?” “Sepertinya, Yang Mulia tak akan mempermasalahkan hal itu.” “Yeay!” Anton bersorak girang. Ia melompat-melompat di atas tempat tidur hingga seorang penyelidik harus memaksanya turun. “Kalian tak perlu mengikutinya!” kata sang penyelidik senior pada dua prajurit yang mengawasi Anton. “Lebih baik kalian kembali pada posisi yang sudah ditentukan oleh Kepala Prajurit.” “Baik!” sahut dua prajurit itu serentak, lalu pergi meninggalkan kamar. Setelah dua prajurit itu berlalu, giliran para penyelidik yang meninggalkan kamar. “Kamar ini sangat besar,” gumam Anton. “Bagaimana dengan di luar? Pasti sangat hebat.” Anton berjalan keluar kamar. Ia ingin melihat setiap sisi istana. Apakah benar, istana itu seindah yang ada di dalam dongeng? Atau sehebat dalam film-film kartun? Entah ia kecewa atau tetap terpesona. Istana Kerajaan Egler ternyata tak seperti yang ada dalam dongeng ataupun film-film kartun. Istana Kerajaan Egler terdiri dari empat lantai dengan dinding beton dicat warna putih. Tepat di tengah atap istana ada sebuah lampu kristal besar. Dan terdapat beberapa lorong yang menuju ruangan tertentu. “Benar-benar istana yang besar,” kata Anton dengan napas megap-megap. Ia kelelahan setelah menyusuri beberapa lorong dan juga beberapa ruangan. Lelah dan letih. Ia kehausan. Sejak menjawab pertanyaan dari para penyelidik tadi, ia sama sekali belum minum apa-apa. Anton berlari. Mencari dapur atau ruangan apa pun yang terdapat air. Namun, beberapa ruangan yang ia masuki sama sekali tak ada air. Ia kembali berlari, melewati sebuah lorong yang dipenuhi pintu-pintu dalam keadaan tertutup rapat. Begitu berada di ujung lorong, ia melihat seorang prajurit yang berjaga di lantai tiga. Berniat untuk bertanya pada prajurit itu, Anton memacu kakinya untuk bergerak lebih cepat lagi. Tepat di ujung tangga, Anton terjerembab. Ia tersandung oleh karpet yang terlipat. Tubuhnya menghantam lantai dengan keras. “Apa kamu tidak apa-apa?” Sebuah suara yang sangat lembut menyapa Anton. Sepasang tangan kemudian membantunya berdiri. Juga merapikan rambut dan bajunya yang acak-acakan. “Dia tak apa-apa, Yang Mulia,” kata perempuan yang membantu Anton berdiri. “Bukankah anak ini adalah tahanan kerajaan kita?” Ratu Walmond yang tengah duduk di kursi roda mengamati Anton dari ujung kaki sampai ujung rambut. Untuk anak sekecil Anton, ia tergolong sangat menggemaskan. Pipinya yang agak tembem, hidung yang tidak terlalu mancung, juga mata yang bulat. Siapapun yang melihatnya pasti akan langsung menyayanginya. Ya. Terkecuali untuk orang-orang yang sudah mengenal bagaimana ia sehari-hari. Sikap yang tidak sopan dan tak pernah mendengar apa yang dikatakan orang membuat siapa pun langsung jengkel melihat wajahnya. “Iya, Yang Mulia. Anak ini adalah tahanan kerajaan.” “Ma-maaf, Yang Mulia,” ucap Anton gugup. “Tidak apa-apa,” kata Ratu Luxia lembut. Tangannya perlahan terulur menggapai wajah lucu di depannya. Dan entah apa yang terjadi. Butiran air, terjun bebas dari pelupuk mata. Tak ada yang mengerti. Semua terpaku. Dua dayang yang mengiringi Ratu Luxia menunduk melihat Ratu mereka menangis. “Kenapa Yang Mulia menangis?” Anton menghapus air mata Ratu Luxia. Perasaan gugup yang anak itu rasakan semakin mengguncang. “Tolong, Yang Mulia. Jangan menangis lagi. Nanti Yang Mulia Raja akan menghukum saya kalau Yang Mulia menangis,” pinta Anton. Ia semakin panik. Takut jika Raja Egler akan menambah hukumannya. “Raja tak akan menghukummu,” kata Ratu Luxia. “Oh, ya, kamu mau ke mana tadi buru-buru?” “Aku mau minum, Yang Mulia.” Sekilas senyuman tersungging di bibir sang Ratu. “Katakan pada penjaga untuk mengantarkan minuman ke kamarnya,” perintah Ratu Luxia pada salah satu dayang yang ada di sampingnya. “Baik, Yang Mulia.” Setelah dayang meminta penjaga terdekat untuk mengantar minuman ke kamar Anton. Mereka pun kembali membawa Ratu Luxia menuju kamar di lantai dua. “Yang Mulia,” sapa Ratu Luxia masuk ke dalam kamar. “Ada apa, Ratuku?” “Aku ingin meminta sesuatu.” “Silakan. Akan aku penuhi semua yang kamu minta.” Ratu Luxia tidak langsung menjawab. Ia menggerakkan kursi roda ke depan jendela. Menatap taman istana yang dipenuhi bunga berwarnawarni di bawah sinar rembulan. Satu menit … dua menit … tiga menit … tidak ada kata-kata yang terdengar. “Apa yang kamu inginkan, Ratu?” Raja Walmond meletakkan tangan di pundak Ratu Luxia. Ia ikut menatap apa yang dilihat istrinya itu. “Kamu ingat anak kecil yang menjadi tahananmu?” “Oh, anak kecil tadi? Ya. Aku baru menemuinya bersama dengan para penyelidik.” “Aku ingin kamu mengangkatnya menjadi anak kita.” Tubuh Raja Walmond membeku. Sekejap, ia lupa bagaimana cara bernapas. Apa yang dikatakan Ratu Luxia benar-benar tak pernah terpikir olehnya. Seorang tahanan dijadikan anak, menjadi seorang pangeran? Apakah itu keputusan yang tepat?