
by Titikoma

Kerajaan Egler
Anton membuka mata perlahan. Tubuh mungilnya terasa pegal serta remuk. Ia mengernyit, menahan teriakan yang hampir saja lolos dari tenggorokan. Tangannya yang sulit digerakkan perlahan meraba-raba tempat ia berbaring. Bukan. Itu bukan tempat tidurnya. Tempat ia tidur tak sekeras itu. Mamanya telah memberikan sebuah kasur yang sangat empuk dua bulan lalu. Tepat di saat ia ulang tahun yang kedelapan. Dan tempat ia berbaring sekarang jelas sangat berbeda dengan kasur itu. “Mama!” panggil Anton dengan napas megap-megap. “Apa kamu baik-baik saja?” Seseorang menanyakan keadaan Anton. Suara seorang perempuan. Namun, itu bukan suara mamanya. “Aku ….” Anton berusaha mengingat apa yang terjadi. Ada sesuatu yang ingat. Ia bermain game di komputer kerja papanya. Komputer itu menariknya, dunia berputar, kemudian ia tak sadarkan diri. “Di mana aku?” Anton lekas bangkit. Ia mengedarkan pandangan. Akan tetapi, hanya dinding putih yang menyapa. “Kamu ada dalam penjara,” sahut sebuah suara yang menanyakan keadaannya tadi. Anton terpaku, menatap seorang gadis di balik jeruji besi di depannya. Ia kembali memutar pandangan. Tak ada sel lain, hanya ada satu sel dan satu tahanan. “Ini adalah penjara khusus. Tempat para penjahat yang dianggap paling berbahaya untuk keluarga kerajaan,” jelas perempuan itu menjawab pertanyaan yang masih berada di benak Anton. Anton berdiri. Menghampiri perempuan di balik jeruji. Mata biru perempuan itu begitu sendu. Rasanya tak mungkin ia seorang penjahat berbahaya. Memang, pakaiannya terlihat lusuh. Namun, itu tidak menjamin kalau ia seorang penjahat, bukan? Rambut ikalnya ia selipkan ke belakang telinga. Pipi yang tirus dan senyumnya yang ramah benar-benar menyamarkan kalau ia seorang penjahat, itu pun jika ia memang seorang penjahat. “Di mana ini, Kak,” Anton memindai sekeliling, “bagaimana aku bisa sampai ke sini?” Perempuan itu mengedik. “Aku tak tahu. Ketika aku bangun, kamu sudah ada di sini. Bahkan, aku mau bertanya, bagaimana kamu bisa masuk ke sini? Apa ibu atau ayahmu tak akan marah kalau kamu sampai berada di penjara seperti ini?” Jika Anton adalah anak cengeng, ia pasti sudah meraung-raung sekarang. Menangis dan dan berteriak sampai urat lehernya terputus. Namun, ia bukanlah anak seperti itu. Ia sudah biasa ditinggal oleh Karina dan Andrian. Pernah juga ia dititipkan pada Bu Romlah, tetangga mereka, sampai berhari-hari. “Bagaimana cara keluar dari sini, Kak?” tanya Anton tak sedikitpun peduli dengan pertanyaan gadis itu. “Keluar? Kamu bisa keluar dari pintu itu.” Gadis menunjuk pada sebuah pintu baja di belakang Anton. “Tentu kamu sudah tahu kalau di sana ada prajurit, iya kan?” “Prajurit?” Mata Anton membola. “Kenapa kamu terkejut seperti itu? Bukankah kamu sudah mengetahuinya? Tak mungkin kamu masuk ke sini tanpa melewati para penjaga.” “Aku tak melawati penjaga apa pun. Aku hanya bermain game. Dan tibatiba saja aku terhisap ke dalam layar komputer Papaku.” “Terhisap? Ke dalam komputer?” Gadis itu tertawa. “Itu tidak mungkin. Ini sudah tahun 2744. Kenapa kamu masih mengkhayal seperti itu, Dik? Saat ini, teknologi memang sangat canggih. Tapi, Kakak belum menemukan satu pun yang bisa membuat manusia masuk ke komputer.” “Kalau Kakak tidak percaya. Tidak apa-apa. Aku mau keluar dari sini.” Anton berbalik, menunju pintu. Namun, di saat Anton menyentuh kenop pintu, ia kembali menoleh ke belakang. “Bagaimana Kakak bisa ditahan? Apa yang Kakak lakukan?” “Kenapa aku harus membicarakan hal serumit ini pada anak kecil sepertimu?” kata gadis itu meremehkan. “Walaupun aku masih kecil, aku ini hebat, Kak. Aku sudah menyelesaikan banyak game. Dan teman-temanku selalu memujiku karena kehebatanku itu,” sahut Anton mengangkat dagu. “Ya. Kamu memang anak yang sangat hebat. Siapa pun orangtuamu, mereka pasti bangga memiliki anak yang sangat hebat sepertimu.” Gadis itu menyunggingkan senyuman. “Sekarang, cepat pulang sana! Orangtuamu pasti cemas karena tak menemukanmu di rumah. “Aku tak akan pulang sebelum Kakak mengatakan, kenapa Kakak sampai ditahan di sini,” ancam Anton. Ia menepis keinginannya untuk segera pulang. Lagi pula, jika ia pulang sekarang mama atau papanya juga pasti belum kembali dari kantor. “Kakak ditahan karena dituduh meracuni sang Ratu.” “Meracuni sang Ratu?” “Sudah. Itu bukan urusan anak kecil. Cepat pulang sana!” usir gadis itu. Anton menurut. Dalam hati ia berkata, tak mungkin Kakak sebaik dia meracuni sang…. Ia terlonjak. Ratu? Sejak kapan ia tinggal di negara yang memiliki ratu? Ia berlari ke pintu. Tangannya menarik kenop. Namun, pintu itu tak bisa dibuka. Sepertinya dikunci dari luar. “Buka!” teriak Anton, menggedor-gedor pintu. “Percuma kamu berteriak, Dik. Ruangan ini kedap suara. Seberapa kencang pun kamu berteriak. Orang yang ada di luar tak akan mendengar suaramu,” ujar gadis itu. “Lalu, bagaimana aku bisa keluar dari sini, Kak?” tanya Anton panik. “Kamu harus menunggu sampai seseorang masuk. Dengan begitu, mereka akan melihat kemudian membawamu keluar.” “Lalu, kapan? Kapan mereka akan masuk ke dalam ruangan ini, Kak?” “Mungkin sebentar lagi. Jadwal makan malam sudah hampir tiba, jadi mereka pasti akan segera masuk ke sini.” Anton duduk. Tubuhnya terasa lemas. Andai waktu bisa diputar. Ia tak akan memainkan game aneh yang ada di komputer papanya. Jika ia tak memainkan game itu, maka ia tak akan berada di sini. Ia tak akan ada dalam penjara yang sedikit pun tak mampu ditembus oleh cahaya matahari seperti ini. “Siapa namamu?” tanya gadis dalam penjara memecah keheningan. “Anton … Anton Albern Prasetyo.” “Namaku Giselia Nafta Aurora.” Gadis itu memperkenalkan dirinya. “Aku putri dari Kerajaan Aurora.” “Kerajaan Aurora?” Dahi Anton mengerut. “Sepertinya, aku sedang bermimpi.” Anton terkekeh. Ia yakin ia sedang bermimpi. Bagaimana mungkin ia bisa berada dalam penjara secara tiba-tiba. Ini pasti mimpi! Tak mungkin ada putri kerajaan yang ditahan di penjara kedap suara seperti ini. Ia juga tak pernah mendengar nama Kerajaan Aurora dari guru atau orangtuanya. Atau apa mungkin ia tak mendengar nama negara itu karena ia tak menyimak di saat gurunya sedang menjelaskan pelajaran? “Ini bukan mimpi. Semua ini nyata. Jangan katakan kamu tak tahu Kerajaan Egler,” kata Giselia. “Kerajaan Egler?” Anton mendekat padanya. “Kerajaan apa itu, Kak?” “Bagaimana bisa kamu tak tahu Kerajaan Egler, sementara kamu sedang berada dalam penjaranya. Jika tidak tinggal di Kerajaan Egler, lalu kamu berasal dari mana?” “Sudah aku katakan, aku tiba-tiba ada di sini karena aku terhisap oleh komputer waktu aku bermain.” Anton teringat seseuatu. Ya. Nama game yang terakhir ia mainkan. “Nama game yang aku mainkan itu namanya Egler, Kak. Game itu yang membawaku ke tempat ini. Waktu itu ada tiga pilihan. Ada penjara, istana dan taman. Aku tidak sengaja memilih penjara. Dan …. Tidak salah lagi. Aku yakin, game itu yang membawaku ke sini.” Giselia menggeleng. “Bagaimana bisa sebuah game bisa membawamu ke sini. Aku sudah delapan belas tahun. Dan aku juga sudah memainkan banyak game. Tapi, game yang seperti kamu katakan, aku tak pernah lihat.” “Kalau Kakak tidak percaya, terserah Kakak.” Anton memindai jeruji besi di depannya. Tak ada pintu atau gembok. Ia berpikir bagaimana cara memasukkan tahanan ke dalam penjara tanpa pintu. “Di mana pintu penjara ini, Kak? Bagaimana Kakak bisa masuk kalau penjara ini tak memiliki pintu?” “Sepertinya kamu benar-benar terhisap oleh game seperti yang kamu katakan. Tidak mungkin kamu tak pernah melihat jeruji seperti ini. Apa kamu tak pernah menonton film?” “Aku sering menonoton film, Kak. Tapi, aku tak pernah melihat jeruji seperti ini.” “Lalu, kalau tidak seperti ini, seperti apa lagi?” “Ya. Penjara itu memang seperti ini. Tapi, seharusnya ada pintu dan gemboknya.” “Kak.” Anton duduk bersila. “Sebelum penjaga datang, ayo ceritakan bagaimana kerajaan Aurora.” Gisel ikut duduk. “Baiklah. Kamu mau tahu tentang apa? Akan kuceritakan.” “Semuanya.” “Baik. Kerajaan Aurora itu kerajaan yang sangat besar. Ya. Meskipun Kerajaan Egler masih tetap lebih besar. Dalam beberapa hal, kerajaan kami sangat diunggulkan, seperti dalam bidang sumber daya alam. Kerajaan Aurora memiliki sumber minyak yang melimpah, tambang-tambang yang masih berproduksi tinggi dan ….” Gisel menceritakan tentang kerajaan di mana ia tinggal dengan semangat. Namun, untuk anak sekecil Anton, semua yang diceritakannya bukanlah hal yang menarik. Ia masih kecil, sama sekali tidak tertarik dengan sumber daya alam, sumber minyak, tambang dan yang lainnya. “Apakah Kerajaan Aurora memiliki pabrik game?” tanya Anton polos. “Ada. Kenapa anak kecil sangat tertarik dengan game, ya?” “Karena menyenangkan.” Gisel tergelak mendengar jawaban Anton yang begitu singkat dan apa adanya. Namun, suara tawanya tiba-tiba berhenti. Tatapannya tertuju ke arah pintu. “Sepertinya, kamu sudah bisa keluar, Anton,” kata Gisel. “Maksud, Kakak?” Anton memutar kepala. Matanya membola. Sosok pria berbadan tegap yang berdiri di belakang membuat nyalinya menciut. Di saat matanya bertemu bola mata pria itu, butiran keringat mengalir dari pelipis dan tangannya bergetar hebat. “Apakah kamu mendapatkan tamu tak diundang?” ujar pria itu sinis. “Bukankah kalian yang mengizinkannya masuk?” jawab Giselia tanpa sedikit pun rasa takut. “Jangan bodoh!” bentak pria itu dengan suara yang menggelegar. “Kami tak akan pernah mengizinkan seekor lalat pun untuk masuk ke dalam penjara ini.” Pria itu maju beberapa langkah. “Cepat katakan, bagaimana anak kecil ini bisa masuk ke sini atau kamu tak akan mendapatkan jatah makan malam,” ancam pria itu melirik sebuah baki berisi makanan di tangan kanannya. “Kamu itu bodoh atau dungu? Coba kamu pikir, bagaimana aku bisa memasukkan seseorang ke dalam sini, sedangkan penjara ini dijaga sangat ketat? Bukankah kamu juga yang mengatakan kalau kalian tak akan mengizinkan seekor lalat untuk masuk?” Pria itu berpikir sejenak. “Kamu benar juga,” katanya sembari mengeluarkan sebuah benda dari saku. Benda itu memiliki satu tombol berwarna merah. Dan, di saat pria itu menekan tombol merah, semua jeruji yang menghalangi Gisel menyusut ke dalam lantai. Anton mengikuti pergerakan jeruji di depannya hingga jeruji itu benarbenar menyatu dengan lantai. Satu kata yang terlintas di benaknya, menakjubkan. “Hari ini akan ada persidangan di depan raja. Jadi, cepat habiskan makan siangmu.” Pria itu melirik Anton. “Sementara menunggu kamu menghabiskan makan malammu, aku akan membawa tamu kecil ini.” “Tidak. Biarkan kami bersama. Aku akan membawanya menghadap raja,” kata Giselia. “Ya. Kamu akan bersamanya menghadap raja, setelah kamu menghabiskan makan siangmu. Tapi sebelum itu, kami akan mengajarinya sedikit sopan santun agar mengucapkan salam sebelum masuk.” Giselia tak lagi mempertahankan Anton untuk bersamanya. Ia tahu, ia tak akan menang dengan apa pun argumen yang ia berikan pada pria itu yang merupakan prajurit Kerajaan Egler. Meski ia memiliki firasat buruk tentang kalimat mengajari sedikit sopan santun yang diucapkan prajurit barusan, tetap saja ia tak bisa berbuat apa-apa. Pria itu, atau lebih tepatnya prajurit Kerajaan Egler meletakkan baki makanan yang ia bawa di depan Gisel. Beberapa detik kemudian, Anton sudah berada di jinjingannya. Anton meronta. Namun, perbandingan tenaganya dengan penjaga itu bagaikan tenaga semut dengan gajah. Seberapa keras pun Anton meronta, tak sedikit pun prajurit itu berguncang. Pintu baja yang menahan Gisel tertutup. Membuat Anton berada di ruangan terpisah. Kini anak kecil itu berada di ruangan yang dipenuhi jeruji besi berisikan orang-orang yang sepertinya … tidak baik. Apakah penjaga itu akan memasukkannya ke dalam penjara? Tidak. Mereka melewati barisan jeruji besi lalu berjalan di sebuah lorong panjang. Begitu sampai di ujung lorong, mereka kembali masuk ke sebuah ruangan. “Hai, teman-teman! Aku membawa tikus kecil untuk kalian!” ujar pria itu pada teman-temannya. Prajurit itu membawa Anton ke ruang makan khusus prajurit kerajaan. Di ruangan itu terdapat enam buah meja panjang yang di sisi kiri dan kanannya dihuni oleh prajurit-prajurit yang makan dengan rakus. “Dapat dari mana?” tanya seorang pria berkulit sawo matang yang tengah menyantap makan siang. “Aku mendapatkannya di penjara, tempat putri dari Kerajaan Aurora ditahan.” “Apakah dia mata-mata dari Kerajaan Aurora?” Seorang prajurit berambut cepak menyorot tajam seakan Anton adalah mangsa yang empuk. “Mata-mata? Sepertinya tidak. Bagaimana mungkin kerajaan sebesar Aurora mengirim mata-mata seorang anak kecil yang tidak bisa apa-apa seperti ini,” sahut prajurit yang masih menjinjing Anton. “Kamu benar juga. Bisa kamu suruh tikus kecil itu untuk mengambilkan aku minum?” “Tentu,” sahut si prajurit melempar Anton ke lantai. Anton menatap nanar pada prajurit yang membantingnya bagaikan sampah. Tak pernah orangtuanya memperlakukan ia seperti itu. Seberapa marah pun mama atau papanya, mereka tak akan sampai memukul bahkan membanting Anton. “Cepat, ambilkan kami minum!” perintah pria berkulit sawo matang itu padanya. Anton bergeming. Giginya bergemeratakan menahan kemarahan yang sudah berada pada puncak tertinggi. “Apa kamu tidak mau?” tanya pria yang membawa Anton tadi. Anton tak menjawab. Ia tetap diam. Dalam hati, ia berandai memiliki kekuatan super hero seperti yang sering ia tonton di TV. Dan dengan kekuatannya, ia akan membalas perbuatan para prajurit itu. Akan tetapi, semua itu hanyalah khayalan. “Cepat lakukan!” bentak pria itu menggema. Tak ada pilihan lain untuk Anton. Ia terpaksa mengambil air seperti apa yang diperintahkan padanya. Tidak cukup dengan hanya mengambil air. Masih ada perintah selanjutnya. Mengepel lantai, membereskan makanan yang berceceran di meja, memijat dan yang lainnya. Persis seperti yang dilakukan oleh Mbak Darti, asisten rumah tangga neneknya. Pandangan Anton mulai mengabur. Butiran air mengalir melewati garis wajahnya. Tak pernah ia merasa sesakit ini. Di saat tangan mamanya menarik telinganya hingga memerah, di saat mamanya berkoar-koar hingga hampir memekakkan telinga. Kenapa ia begitu merindukan itu semua? Padahal, belum sampai ia satu hari berpisah dari orangtuanya. Anton mengedarkan pandangan. Ia melabuhkan tatapannya pada prajurit yang membawanya tadi. Tangannya mengepal, otaknya berputar, mencari cara untuk membalas perlakuan pria itu padanya. Namun, apa yang bisa ia lakukan? Ia hanya anak kecil dengan tinggi tidak sampai satu meter. “Perhatian seluruhnya!” Pengeras suara yang berada di empat sudut ruang makan itu berbunyi dengan nyaring. Seluruh prajurit yang ada di ruangan itu berdiri. Mereka menghentikan semua aktifitas dan bergegas memakai seragam yang bergelantungan di dinding. “Hari ini, putri dari kerajaan Aurora akan menerima keputusan dari Kerajaan Egler atas tuduhan meracuni sang ratu. Untuk semua prajurit, segera berkumpul di alun-alun kerajaan.” “Siap!” Suara koor menggema di ruang makan, tempat Anton berada. Bulu kuduknya sampai merinding berada di antara suara itu. Prajurit. Ia sedang berada di antara prajurit kerajaan. Kenapa ia baru sadar? Di antara tubuh yang kekar dan tampang yang sangar. Yang ada di benaknya hanyalah ketakutan. Namun, orang-orang menakutkan yang ada di depannya ini adalah orang-orang yang rela bertarung mengorbankan diri mereka untuk melindungi kerajaan. Berselang lima menit, semua prajurit yang ada di ruangan itu sudah siap dengan seragam masing-masing. Baju zirah, senjata api, pedang dan perisai, benar-benar membuat Anton semakin takjub. “Ayo, tikus kecil!” Seseorang menarik ujung baju yang dikenakan Anton. “Kamu harus ikut, karena kamu juga akan menerima hukuman karena sudah berani menyusup ke kerajaan ini.” Anton pasrah menerima perlakuan prajurit yang menjinjingnya bagaikan kantung belanjaan yang tak berharga. Dengan muka masam, Anton memindai setiap lorong yang ia lewati. Mereka tidak berjalan di lorong yang sama sebelumnya. Mereka melewati lorong yang berbeda. Dan, berakhir di sebuah lapangan yang amat luas. Anton menyipitkan mata. Cahaya lampu di sekeliling alun-alun yang mendadak menimpanya sungguh menyilaukan. Tak cukup dengan menyipitkan, Anton memejamkan matanya. Udara yang begitu panas sontak menyergap. Dahinya mengerut, merasakan jilatan bola api di setiap jengkal kulitnya. Suara riuh memaksanya untuk kembali membuka mata. Ia meneguk ludah dengan kasar. Matanya melebar menyadari ia sedang berada di antara ribuan orang-orang yang menantikan pertunjukkan. Itu bukanlah lapangan sepak bola atau panggung teater. Itu adalah aula penghakiman. Tempat para tersangka akan dijatuhi vonis oleh sang Raja. Lantai aula itu dilapisi oleh keramik hitam. Di kelilingi oleh bangku penonton yang mampu menampung ratusan ribu orang. Di atas, terdapat atap kaca berhiaskan simbol Kerajaan Egler yang berupa elang mencengkeram anak panah. Di ujung aula, terdapat sebuah podium dan sebuah singgasana berwarna merah menyala tempat raja akan membacakan hasil vonis. Terompet tanda kedatangan raja berbunyi. Semua orang berdiri dan menunduk. Prajurit yang berada di tengah aula berlutut. Anton pun ikut dalam barisan prajurit itu. Dengan kepala yang dicengkeram dengan kuat oleh seorang prajurit, ia tertunduk. Terompet kembali berbunyi. Semua orang kembali ke posisi semula. Namun, tak ada lagi suara riuh yang berisik seperti tadi. Mendadak suasanya menjadi sepi, layaknya pemakaman. “Kami dari keluarga kerajaan mengucapkan terima kasih pada rakyat Kerajaan Egler karena telah bersedia hadir di aula ini. Malam ini, kita akan mendengarkan keputusan Sang Raja atas tuduhan kejahatan yang telah dilakukan oleh Putri Giselia Nafta Aurora.” Mata semua orang mendadak bergerak pada pintu masuk aula. Beberapa saat kemudian, Giselia muncul dengan tangan terikat bersama dua orang prajurit. Giselia tak peduli dengan kondisinya. Begitu memasuki aula, ia mencari anak kecil yang tadi bersamanya di dalam penjara. Ya. Ia menemukan anak kecil itu sedang diapit oleh dua orang prajurit di tengah aula. Sebelum bergerak ke tengah aula, Giselia menyunggingkan senyuman pada Anton. Ia memberikan semangat sekaligus menyatakan semua akan baik-baik saja. “Putri Giselia Nafta Aurora, apakah anda sudah siap dengan vonis yang akan dijatuhkan oleh Kerajaan Egler?” tanya pembawa sidang. “Ya. Saya siap. Saya yakin, saya tidak bersalah,” tegas Giselia yang disambut oleh suara sorakan mencemooh. Rakyat Kerajaan Egler begitu marah dengan pernyataan yang baru saja ia ucapkan. Pembawa sidang memberi aba-aba untuk kembali tenang. Setelah suasana kembali tenang, ia mempersilakan raja untuk menjatuhkan vonis. Pria yang dari tadi duduk di singgasana berdiri dan menatap Giselia lekatlekat. Ia menarik napas sejenak lalu mulai berbicara. “Untuk rakyat Kerajaan Egler yang aku cintai, terima kasih telah mencintai kerajaan ini.” Anton melihat senyum kebahagiaan di bibir orang-orang yang duduk di bangku penonton. “Di saat sang Ratu jatuh sakit lima hari yang lalu, saya tahu kalian juga merasakan sakit. Saya tahu kalian selalu berdoa untuk kesembuhan sang Ratu. Dan berkat doa kalian semua, sang Ratu kembali sehat.” Raja melirik perempuan di atas kursi roda yang ada di sampingnya. “Untuk itu aku mengucapkan terima kasih pada kalian semua.” Anton kembali melihat tersenyum sumringah di bibir para penonton. Bahkan, ada yang sampai menjatuhkan air mata. Anton tak mengerti, bagaimana bisa hanya dengan kata-kata seperti itu bisa membuat orang sebanyak itu tersenyum sampai menangis? “Kalian sangat marah begitu mendengar bahwa penyebab sakit sang Ratu adalah karena ulah seseorang.” “Gantung dia! Hukum dia!” terdengar teriakan yang bersahut-sahutan dari bangku penonton. Pembawa sidang kembali meminta penonton agar kembali tenang. Setelah itu, ia meminta raja untuk lanjut berbicara. “Tim penyelidik kerajaan telah mencari tahu siapa yang bertanggungjawab dengan apa yang terjadi pada ratu. Dan mereka menemukan Putri Giselia Nafta Aurora sebagai tersangka. Karena pada hari di mana ratu diracuni, Putri Giselia sedang berada di Kerajaan Egler. Oleh karena itu, kerajaan memutuskan bahwa Putri Giselia Nafta Aurora … dibebaskan.” Semua orang yang duduk di bangku penonton bertukar tatapan. Mereka bingung dengan keputusan sang raja. Bagimana bisa raja memutuskan orang yang meracuni ratu dibebaskan. “Kerajaan membebaskan Putri Giselia Nafta Aurora ….” Raja kembali berbicara dan semua penonton yang sempat riuh kembali menyimak. “Karena tim penyelidik tidak menemukan bukti keterlibatan Putri Giselia dalam kejahatan tersebut. Namun, tim penyelidik telah menemukan siapa yang meracuni sang Ratu. Dan dia adalah koki istana yang memang berniat mencuri harta kerajaan. Koki istana yang telah terbukti melakukan kejahatan akan dijatuhi hukuman minggu depan.” Raja kembali duduk di singgasana setelah selasai membacakan vonis. “Karena sang Raja telah menjatuhkan vonis bebas pada Putri Giselia Nafta Aurora, maka dengan ini sidang ditutup.” Pembawa sidang menutup acara dengan satu tiupan terompet yang sangat keras dari sisi aula. Giselia mengembuskan napas lega. Akhirnya, ia bebas. Ia akan pulang ke kerajaannya. Ia sudah sangat merindukan orangtuanya, begitu pula dengan rakyatnya. Namun, bagaimana dengan nasib Anton? Tak mungkin ia meninggalkan anak kecil itu sendiri menghadapi persidangan yang menakutkan.