
by Titikoma

Find You
Jujur Kinanti tidak mau terlalu memikirkan rencana sempurnanya yang kandas, tapi sepertinya ada trauma menjejali hatinya. Tiga semester terlewati dengan hati hampa, Mas Fauzi tidak lagi pernah menyapanya sejak kata putus yang Kinanti ucapkan. Semakin menguatkan bahwa Mas Fauzi sudah mantap dengan pilihannya, dengan cewek yang dilihatnya satu setengah tahun lalu di sebuah mal. “Ih ngelamun saja sih kerjaannya...” Lintang menyenggol Kinanti yang sebenarnya tengah menikmati pemandangan pegunungan yang membawa ke lokasi KKN mereka sambil menyumpal kuping dengan MP3. KKN (Kuliah Kerja Nyata) merupakan suatu program wajib di beberapa universitas. KKN merupakan suatu program pengabdian diri mahasiswa terhadap masyarakat yang bertujuan melatih mahasiswa untuk dapat berbaur dengan lingkungan sosial serta untuk menghidupkan sikap mahasiswa yang kritis terhadap permasalahan-permasalahan sosial secara realita, bukan hanya secara teori yang selama ini mereka dapatkan di kampus. Lama pelaksanaan KKN tergantung kebijakan universitas masingmasing, biasanya sekitar satu bulan bahkan ada yang tiga bulan. Dalam pelaksanaan KKN mereka diharuskan untuk menetap di suatu daerah yang telah diputuskan oleh universitas, biasanya daerah yang ditempati KKN adalah daerah yang kurang maju dan identik tertinggal dalam segi ekonomi, pembangunan, hukum, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Para mahasiswa berbagai jurusan di sana harus membuat suatu program kerja yang ditujukan agar suatu daerah yang mereka gunakan sebagai tempat KKN mampu menjadi suatu daerah yang lebih maju. Mereka KKN tidak membawa biaya untuk memajukan suatu daerah, namun mereka membawa suatu ide serta konsep yang sudah matang untuk diimplementasikan di dalam masyarakat, itu artinya suatu rencana program kerja ini juga harus mendapatkan dukungan dari perangkat desa setempat. Tapi KKN juga momok karena akan merasa terasing dari kehidupan rutinitas yang serba ada, kadang lokasi KKN dengan kondisi air keruh, penerangan seadanya dan segala keterbatasan akan jadi mimpi buruk. Tapi ada juga KKN malah menjadikan Kisah Kasih Nyata atau Cinlok alias Cinta Lokasi beberapa mahasiswa. Cinta dapat tumbuh di mana saja, kapan saja, tidak mengenal waktu dan tempat. Kinanti membuka MP3 nya yang menyumpal dari awal bus jalan dan balik mencolek Lintang yang menjadi satu tim KKN-nya. “Ada apa sih...?” “Nggak apa-apa, kamu nggak mau apa dengerin suara gitar Bagus yang dari awal pemberangkatan sudah menyajikan lagu-lagu keren.” “Ohhh ...” “Tuh-tuh cowok itu! Anak Fakultas Kimia! Keren lagi suaranya! Kamu jangan pasang MP3 lagi, hargailah teman satu tim KKN yang coba menghibur kita yang akan terdampar di desa terpencil.” Kinanti menatap sekilas cowok yang ada di belakang bangku bus tempat dia dan Lintang duduk sambil memegang gitar. Sekilas ada senyum menawan yang tersaji dari cowok yang bernama Bagus, mau tidak mau Kinanti tersenyum membalas senyumnya. “Tuhh kan anaknya ramah, kamu lagian nggak menghargai suaranya!” Lintang lanjut mengomelinya. “Iye… lagian siapa suruh dia genjranggenjreng, sementara kita kepikiran lokasi KKN yang pastinya nggak nyaman sama sekali,” jawab Kinanti asal. Tapi memang harus diakui Bagus mulai menyanyikan lagu Yogyakarta dari Kla Project dengan keren ala acoustic, “Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu... Masih seperti dulu... Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna... Terhanyut aku akan nostalgia saat kita sering luangkan waktu... Nikmati bersama suasana Jogja... Di persimpangan, langkahku terhenti... Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera... Orang duduk bersila... Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu... Merintih sendiri, di tengah deru kotamu... Walau kini kau t’lah tiada tak kembali Oh… Namun kotamu hadirka senyummu abadi... Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi... Bila hati mulai sepi tanpa terobati Oh… Tak terobati.” Beberapa tepuk tangan dan suitan terdengar setelah Bagus selesai menyanyikan lagu yang tak pernah membosankan. Kinanti jadi yakin setelah dengar lagu Yogyakarta-nya Kla Project yang barusan dinyanyikan oleh Bagus, setelah Jakarta memang Yogyakarta-lah yang menggoreskan perjalanan hidupnya. Pastinya akan banyak kenangan selama menempuh S1-nya di sini. Perjalanan menuju Desa dan Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang membutuhkan waktu satu jam dari kampus Universitas Pembangunan Nasional, perjalanan yang cukup tenang dengan kontur jalan naik turun. Setelah beramah tamah dengan pak RW tempat Kinanti dan kawan-kawan dari fakultas yang berbeda menginap, baru bisa bongkar-bongkar bawaan mereka. Sekitar pukul 12.00 Kinanti dan kelompok KKN sampai di Desa Dukun, Kecamatan Dukun, Magelang, Jawa Tengah dan sekitar 6,5 km jaraknya dari puncak Gunung Merapi. Sekitar pukul 13.00 WIB setelah menjalankan salat zuhur, Kinanti dan kelompoknya WIB mengikuti upacara penerimaan oleh Pemerintah Desa setempat. Walaupun acaranya begitu sederhana, namun berkesan. Dengan menu sajian sederhana ada pisang goreng, kacang tanah, tahu bakso, tela goreng, dan tempe mendoan yang masih hangat mereka ngobrol dengan Pak Sarjo, RW tempat mereka menginap selama dua bulan. Pembicaraan tampak semakin asyik ditemani teh hangat tentang beberapa kekurangan-kekurangan di Desa Dukun yang belum ada. Beberapa fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan tetapi belum ada menjadi prioritas program kerja Kinanti dan teman-temannya selama dua bulan ke depan. Sepertinya akan jadi KKN yang sibuk karena selain banyak fasilitas yang harus dipenuhi agar sukses progran kerja KKN-nya, dana juga yang jadi benturan Kinanti dan kelompoknya. Kelompok terdiri dari tujuh orang, untuk cewek Kinanti dari Fakultas Ekonomi Manajemen dan Lintang dari Fakultas Hubungan Internasional, sementara yang cowok ada Jaka Fakultas Pertanian, Latif anak Akutansi, Om Paul Fakultas Manajemen yang harusnya sudah lama dari tahun kapan KKN tapi tertunda karena kesibukan bekerja dan berkarier, sekarang baru sempat dapat izin KKN, Pak Dewo juga setali tiga uang dengan Om Paul seorang pengusaha yang terbentur wisudanya karena belum ambil KKN dan terakhir Bagus dari Fakultas Kimia. Jaka terpilih sebagai ketua kelompok karena sudah terbiasa aktif di organisasi kemahasiswaan, dia juga mantan ketua di Himpunan Mahasiswa Pertanian, Lintang menjadi bendahara, Kinanti menjadi sekretaris, sementara Pak Dewo dan Om Paul tegas-tegas tidak bisa seaktif berlima mahasiswa normal semester enam yang waktunya KKN. Tapi keuntungannya mereka akan menjadi pencari sumber dana dari proposal yang mulai disusun oleh lima anggota yang tidak ada aktivitas lain di luar KKN. Pak Dewo dan Om Paul masih tetap ngantor dan mengawasi kerjaan mereka, jujur mereka terang-terangan meminta bantuan pada kelima anggota lain untuk tidak melaporkan bila mungkin pas ada kunjungan pihak universitas mereka tidak di tempat, bisa dilaporkan sedang berkeliling mencari dana agar tidak dianggap melanggar presensi kehadiran. Sebenarnya berat juga untuk berbohong, tapi rasa setia kawan ditambah mereka berjanji akan menjadi tulang punggung pencarian dana, setidaknya kelima mahasiswa yang masih mengandalkan kiriman orang tua dan harus berputar mencari dana ke beberapa instansi ini merasa sedikit lega. Om Paul pengusaha kayu katanya mempunyai beberapa rekanan yang pasti bisa dimintai dana untuk program KKN, demikian juga Pak Dewo yang bekerja di salah satu BUMN juga akan memberikan sejumlah dana dari proposal yang akan dia bantu edarkan. Jaka meminta hasil notulensi yang Kinanti tulis saat rapat bersama Pak Sarjo. Dan membaca seksama, lalu otaknya berkerut. “Sepertinya lebih baik kalian beristirahat dahulu setelah merapikan barang-barang bawaan kalian. Untuk Lintang dan Kinanti tidur di kamar yang sudah disiapkan keluarga Pak Sarjo. Sedangkan untuk kita yang cowok-cowok tidur gelaran di ruang depan yang sudah di sekat.” “Oke ...” Serentak semua membereskan perbekalan dan mulai merapikan tas-tas ransel besar untuk dua bulan di lokasi KKN. Kinanti dan Lintang berbagi lemari kecil untuk menyimpan barang yang penting saja seperti baju dalam, sementara sisanya bertumpuk di sebuah meja kayu dan dipan kayu tempat tidur. Bersyukur meskipun kasurnya tipis tapi berdua tidak tidur beralas tikar saja seperti yang cowok-cowok, lagipula dapat kamar jadi bisa ganti pakaian dengan mudah. “Untung deh Kinan kita masih dapat lokasi yang tidak terlalu primitif, tadi aku lihat kamar mandinya juga bersih, tapi sayang... pintunya cuma selembar kain lho.” “Ah serius Lin?” mata Kinanti bulat membesar. “Lihat aja sendiri!” Rasa penasaran menyeret kaki Kinanti ke ruang belakang yang masih berlantai tanah dan kamar mandi bertembok bata terletak setelah beberapa langkah ada lorong terus pas kanannya ada penutup plastik, tepatnya yang menjadi penghalang antara lorong dan ruangan kamar mandi yang berukuran 1.5 m x 1.5 m. “Hai ngapain kamu? Bengong!” Ternyata Bagus juga sedang lihat-lihat lokasi sekitar. “Nggak ngapa-ngapain, cuma...” “Hehehe kamu takut ya pintu kamar mandinya kritis banget?” Bagus tersenyum penuh arti. “Sialan, iya gimana mau tenang ke kamar mandi jika pintunya cuma selembar plastik gini, hmmm nggak transparan sih... tapi kalau ada orang iseng kan ngeri banget! Tinggal buka, gila aja ya!” Kinanti menggerutu. “Sudah pasrah dan bersyukur aja Non, gua udah keliling di beberapa lokasi lain yang lebih parah dari kita banyak. Bayangin kamar mandinya di luar, gak ada atap dan harus menimba. Kita mendinglah tetap memompa tapi gak menimba dan terlindung di dalam. Lagian sudah ada WC, bersih lagi. Udah nikmati saja!” Bagus berceloteh panjang lebar. “Gitu ya...” “Iyalah!” Bagus meninggalkan Kinanti yang masih berkeliling lebih jauh. “Eh Mbak Kinan, aneh ya liat dapur Emak? Hehe... Emak masih pakai kayu bakar Mbak, jadi jangan kaget ya kalau bantu-bantu Emak ya siap siap berkeringat dan bau sangit,” Ternyata ada ibu RW istri Pak Sarjo yang mengenakan kebaya hijau pupus dan jarik yang sudah agak pudar warnanya. “Iya siaap, kita tim KKN sudah harus siap kondisi apapun Emak,” ucap Kinanti yakin. “Ah benar kata Bagus harus bersyukur nih, airnya juga bening,” Kinanti tersenyum simpul sembari memainkan telapak tangannya pada bak di kamar mandi berpintu plastik. Tadinya sudah membayangkan airnya keruh makanya Kinanti sudah siapkan cairan antiseptik untuk antisipasi gatal-gatal yang akan dipakai setiap mandi. Tidak hanya cairan antiseptik, berbagai lotion pun sudah dibawa dari lotion pelembab, lotion pencegah ultraviolet dan lotion anti gigitan nyamuk. Juga berbagai minyak dari minyak kayu putih, minyak tawon dan tentu saja minyak wangi. Persediaan untuk mandi dari sabun cair, sabun padat, sampo, odol, sikat gigi juga membawa cukup banyak. Ternyata lokasi KKN nggak seprimitif bayangannya, masih ada warung yang menjual keperluannnya jika habis, masih ada pasar dan masih ada televisi di ruang depan rumah pak RW, setidaknya nggak ketinggalan berita-berita yang sedang hits. Puas berkeliling Kinanti merebahkan diri di samping Lintang yang sudah terlelap kecapean. Tak terasa hampir satu jam tidur. Jam tangannya menunjukkan pukul 15.30, Kinanti terbangun dan mendengar suara petikan gitar. Siapa lagi kalau bukan Bagus, Kinanti masih ingat tadi petikan lagu Yogyakarta yang sempat dimainkan Bagus menuju perjalanan ke lokasi KKN rasanya menghadirkan perasaan yang berbeda. Sementara Lintang di sampingnya masih saja tertidur pulas. Ada rasa aneh juga menyelimuti hatinya. Biasanya jam segini rutinitas hariannya masih berkutat dengan mata kuliah di kampus, sementara sekarang serasa liburan saja. Kinanti duduk menekukkan kakinya, meresapi apa yang tengah dialami. Kuliah Kerja Nyata yang membawanya pada desa terpencil jauh dari keramaian dan pasti sangat bertolak belakang dengan metropolitan. Terbersit kerinduan pada ayah bundanya, tapi mengingat hubungan mereka yang masih saja memanas membuat hatinya kembali pedih. “Apakah Ayah dan Bunda merindukan anak gadisnya yang kini tengah berada di kaki Gunung Merapi?” Aluanan gitar Bagus masih terdengar, dan kali ini lagu Superman mengalun dengan enak I can’t stand to fly I’m not that naive I’m just out to find The better part of me I’m more than a bird…I’m more than a plane More than some pretty face beside a train It’s not easy to be me ...Wish that I could cry Fall upon my knees Find a way to lie About a home I’ll never see It may sound absurd…but don’t be naive Even Heroes have the right to bleed I may be disturbed…but won’t you conceed Even Heroes have the right to dream It’s not easy to be me (Superman_Five For Fighting). Ingatan Kinanti kembali saat awal jadian dengan Mas Fauzi, lagu ini mengalun di mobilnya saat dirinya juga dalam situasi kacau, selalu pertengkaran ayah bunda dan waktu itu dengan adegan banting membanting barang yang mengerikan. Kembali hatinya terusik tentang hubungannya yang harus kandas begitu saja, hubungan yang sebenarnya Kinanti pun tidak ingin salahkan sepenuhnya pada Mas Fauzi. Kinanti sadar selama tiga tahun jalan bersamanya, sepertinya dirinya tidak memiliki andil apapun untuk keberhasilan Mas Fauzi. Dia hanya tahu beres, mungkin saja Mas Fauzi segan berbagi dengannya karena dianggapnya anak kecil dan rapuh. Padahal dalam hati terdalam Kinanti ingin mejadi pasangan yang mempunyai pengaruh yang berarti bagi kekasihnya, bukan hanya tahu beres dan sepertinya hanya bunga perhiasan saja atau bisa sarkasmenya seperti parasit saja. Memang akhirnya Kinanti sadar meski sudah tiga tahun menjalin hubungan, menyakitkan kalau kenyataan dirinya tidak tahu apapun tentang Mas Fauzi, sementara dirinya banyak menuntut secara tidak langsung untuk selalu dimengerti, dilindungi, dan disayangi. “Ah sudahlah...” Kinanti bangkit dan mengenakan sandal jepitnya, sementara celana flanel tiga perempat dan kaos Snopy terasa nyaman lekat di badannya. Melintasi ruang depan ternyata Om Paul dan Pak Dewo tengah terlelap. Jaka entah ke mana, sepertinya dia berkeliling dengan sepeda motor yang sengaja sudah ditaruh saat survey sebelum pemberangkatan KKN, Latif sedang asyik menikmati petikan gitar Bagus. Kinanti mendekati Bagus dan Latif ikutan nimbrung nyanyi-nyanyi genjrengan Bagus dan Latif bergantian, ternyata Latif juga pandai memainkan gitar walau tidak sekeren Bagus. “Wuiih bagus juga Kinan suaranya...” Latif nyeletuk membuat Kinan tersipu. Sementara Bagus hanya senyum-senyum sambil tetap genjranggenjreng. Semilir angin senja, dingin menyusup dalam raga. Ya, suasana Desa Dukun yang tenang, tapi entah kenapa perasaan Kinanti mengatakan desa ini menyimpan misteri dengan keindahannya dan entahlah perasaan campur aduk menyelimuti dalam keterasingan. Tapi hatinya terasa tenang saat Bagus, Latif sepertinya bersikap dekat seperti saudara saja. Mungkin rasa kebersamaan memang otomatis terjalin saat kita merasa kesepian terasing dengan kebiasaan ditambah suasana yang sendu. “Eh Kin mau ke mana?” Bagus menahan Kinanti yang mau ngeloyor pergi. “Mau mandi sambil mau ngeliat Lintang, mosok tidur nggak bangunbangun.” “Yakin mau mandi? Nggak takut diintip?” Bagus menggoda dengan senyumnya yang khas dan giginya tampak berderet putih. Sejenak Kinanti terdiam, perasaan aneh menyelimutinya, “Kenapa aku berdebar menatap dia...” Tatapan Bagus seakan terparti dalam benaknya, apakah karena dia terlalu larut barusan dengan lagu-lagu yang diiringinya ataukah suasana, waktu, dan situasi mendukungnya? Kinanti berputar-putar dalam otaknya mencoba menerjemahkan semua secara rasional akan perasaannya yang mejadi melankolis tidak karuan. Padahal satu setengah tahun hatinya kosong setelah semuanya jelas cintanya dengan Mas Fauzi telah berlalu menyakitkan. Belum ada keinginan untuk bisa memulai hubungan baru lagi, tapi di sini saat keterasingan kenapa dirinya menemukan hati yang menyentuhnya. Kinanti jadi ngeri kalau dia akan membuktikan sebuah teori tentang cinta saat menjalankan KKN, “Cinta dapat tumbuh di mana saja, kapan saja, tidak mengenal waktu dan tempat dan Cinlok atau cinta lokasi banyak dijumpai ketika KKN berlangsung.” Buktinya belum apa-apa hatinya merasa terpaut dekat dengan Bagus yang masih menggodanya kembali. “Hati-hati ya kalau ke kamar mandi, kita bisa saja nggak sengaja masuk lho soalnya pintunya cuma plastik!” Bagus berteriak masih nada menggoda. Kinanti membalikkan tubuh sambil mengepalkan tangannya, “Awas saja kalau berani!” “Sudah-sudah sana!” Latif mengusir agar Kinanti cepat berlalu.