
by Titikoma

Feel Change, But
Dan waktu berjalan dengan sendirinya tanpa pernah bisa kita menghentikan detik demi detiknya. Kesibukan yang menggila dengan sebuah target yang dipatok tanpa bisa kompromi. Ada sisi hati yang keras untuk memperjuangkan apa yang menjadi sebuah idealisme dan kadang tanpa kita sadar ada pihak yang merasa terabaikan dengan waktu kita yang tidak adil proporsinya. Ini sudah malam Minggu ketiga dari bulan Juli. Bagus marah-marah tidak jelas hanya karena Kinanti tidak bisa menemani keluar menghabiskan waktu bersamanya. Sampai Kinanti mulai merasa kehilangan pribadi Bagus yang dia kenal selama KKN, hampir sembilan bulan berjalan dengannya sepertinya tidak akan ada yang berubah seusai dari KKN. Semua berjalan normal dan baik-baik saja Kinanti rasa, hanya sesekali Bagus menunjukkan rasa yang amat tersaingi karena dia melejit pesat akan prestasi akademiknya dan mempunyai planning yang matang untuk masa depannya. Ternyata semakin jelang skripsi apalagi mengetahui proposal skripsinya di-acc dosen pembimbing utama, wajah Bagus menjadi muram. “Sepertinya kamu memang ingin segera meninggalkan aku di Yogya sendirian, mengejar karier ke Jakarta atau mengejar pacar lama kamu… siapa tuh… Mas Fauzi!” “Gus kamu kenapa sih? Kok sensitif banget! Harusnya kamu senang dong proposal aku di-acc dan aku mulai bisa garap skripsiku. Kamu kan tahu ini obsesiku untuk segera kelar kuliah, kamu kenapa nggak mendukung?” “Obsesi kamu Kinan, bukan kita! Kamu egois! Kamu mengejar apa yang kamu inginkan tanpa peduli perasaanku. Aku cowok! Apa kata orang kalau pacarnya sukses bahkan kamu akan hengkang lebih dulu dan mulai menjadi wanita karier! Eksekutif muda! Sementara aku, pacar kamu masih di sini! Terpuruk dengan mata kuliah yang susah dan masih mengejar skripsi kamu sudah enak-enak dengan gaji dan fasilitas kantor! Bahkan bisa saja hati kamu mulai melirik laki-laki mapan! Kamu kira enak jadi aku?” Baru kali ini Bagus marah dan berteriak-teriak, seakan apa yang Kinanti capai adalah ketakutan bagi kredibilitas Bagus. Padahal dalam hati Kinanti tidak terbersit kalau ini sebuah persaingan, bahkan Kinanti merindukan saat mereka bisa sinergi saat masa-masa KKN. Bagus begitu antusias dan mendukung apa yang menjadi tanggung jawabnya sebagai koordinator beberapa kegiatan. Bila mengingat saat Bagus diam-diam mewujudkan keinginannya membuat taman bacaan. Bagus diam-diam membuatkan rak dan mengharu biru hatinya dengan rak sederhana yang dibuatnya dengan tulisan Taman Bacaan Kinanti, juga mengarahkan anak-anak didik untuk menyampuli buku-buku dengan plastik sehingga akan awet dan dia rela membeli plastik sampai beberapa meter di pasar grosir alat tulis kantor, lalu membantu menginventaris menemaninya mengetik data-data buku agar Mbak Sani nanti tinggal meneruskan bila ada buku-buku baru lagi. Saat Bagus membantu dirinya melakukan acara balita sehat, mengangkat kacang hijau dalam panci besar dan panas. Saat Kinanti mengajari remaja dan ada beberapa ibu juga belajar berdandan yang Kinanti dan Bagus sempet-sempetin turun dari lereng Gunung Merapi untuk membeli alatalat make up-nya. Kenangan konyol saat mandi ramai-ramai di air sungai dan air terjun, saat hanya berdua menapaki candi-candi tersembunyi menyimpan cerita sejarah misterius yang belum terungkap. Semua tersimpan dalam album foto yang akhir-akhir ini kerap Kinanti buka. Saat merindukan masa-masa mulai dekat hatinya, terutama saat memberikan ruang hatinya setelah menerima telepon bunda yang akhirnya bercerai dengan ayah. Hati Kinanti yang rapuh dan Bagus bisa begitu menenangkannya. Ke manakah Bagus yang di hatinya selama KKN? Usaikah juga hatinya dengan kembali ke dalam kehidupan nyata? Kehidupan yang memang harus diri kita sendiri yang memperjuangkan nasib kita, bukan lagi kerja kelompok yang solid karena dari kita dan untuk kita. Saatnya kembali ke dunia nyata berjuang sendiri untuk diri sendiri. Tapi bukan juga sendiri karena Kinanti sudah mempunyai satu hati yang seharusnya menjadi teman berbagi suka dan duka, demikian Bagus. Inilah yang Kinanti takutkan jelang KKN berakhir, perubahan yang membawa pada sebuah kenyataan tidak selamanya hati bisa ditebak. Bahkan hati bisa berubah kembali dalam keseharian yang normal, keseharian hidup yang butuh perjuangan setiap slide-nya. Kinanti diam membisu, hanya mulai paham perubahan demi perubahan yang mulai harus terlewati saat bersamanya. Jadi serba salah, dia selalu ingin menceritakan apa saja yang teraih satu per satu menuju wisuda, malah membuat Bagus menjadi down dan terpuruk. Mungkinkah dalam berpacaran cewek harus yang kalah dalam prestasi? Ah itu sepertinya naif sekali. Seharusnya Bagus mendukungnya dan bukannya kesal tidak jelas, malah menganggap kekasihnya seperti rival saja. Kinanti nggak habis pikir, tapi mungkin inilah yang harus Kinanti lewati dengan memutuskan hatinya bertambat pada Bagus, apapun konsekuensi harus dilalui bersama. Kinanti berpikir dirinya sudah bukan anak kecil lagi, yang mungkin akan kabur begitu saja bila ada hal yang membuatnya tidak nyaman. Apalagi ini menyangkut hati, hati orang yang Kinanti cintai sebagai cinta kedua yang hadir dengan menyenangkan. Kinanti berharap ini hanya kegundahan Bagus karena stress dengan beban sisa mata kuliah dan juga skripsi yang berat. Kinanti mencoba bersikap maklum dan bijaksana. Sebenarnya Kinanti berharap dengan mendengarkan keluh kesah Bagus dan mencoba menenangkan Bagus lebih tenang, nyatanya Bagus malah berubah menjadi pribadi yang tidak dikenal sebelumnya. Bagus terkadang marah tidak jelas tapi kemudian bisa kembali baik lagi seperti yang dikenal semasa KKN. Kinanti memilih mengalah, dirinya benar-benar ingin berkonsentrasi pada skirpsinya yang mulai maju bab demi bab, dan terlebih mendapatkan dosen pembimbing terbang yang kadang sulit ditemui. Kinanti berinisiatif menjemput bola, setiap dosennya pas ada di kampus maka Kinanti akan merevisi apa yang diminta. Kalau bisa secepatnya revisi tanpa lebih dari satu hari sudah balik lagi. Sampai-sampai dosen pembimbingnya dibuat bosan, tapi sebenarnya dalam lubuk hati dosennya salut dengan kegigihan mahasiswi cantik yang dibimbingnya. Dengan langsung merevisi, Kinanti jadi menyempitkan ruang luas dosennya untuk mengulang-ulang revisi. “Kinan kamu bisa nemanin aku nggak ke Bringharjo sepulang kuliah?” Bagus tiba-tiba menelepon selepas bimbingan skripsi. “Aduh gimana ya Gus, sore ini aku ditunggu nih revisian skripsiku. Kalau besok gimana?” Clik! Tut... tut... tut... Kinanti menghembus napas, dia tahu pasti Bagus marah karena dia tidak bisa menemani dirinya pergi ke Pasar Bringharjo. Lagipula mau ngapain ke Pasar Bringharjo? Memangnya Bagus mau belanja batik? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Kinanti. Kinanti mengirim SMS : “Maaf Gus aku harus revisi segera dan sore ketemu Pak Dharma, soalnya dia kan terbang lagi besok.” Kinanti sesiangan mengutak-atik skripsinya dan menge-print ulang lalu pukul 16.00 langsung ke kampus lagi demi mengejar Pak Dharma. Kinanti menunggu SMS balasan Bagus tapi tidak ada. Selesai bimbingan Kinanti coba menghubungi tapi tidak aktif. Kinanti memutuskan pulang dan merapikan berkas-berkas yang membuat kamarnya yang rapi jadi berantakan. Dia paling tidak bisa tinggal dengan tempat berantakan. Sampai jelang tidur Bagus tidak ada kabar apapun, Kinanti memutuskan untuk tidur. Apalagi hari ini benar-benar membuatnya lelah. Tengah tidur nyenyak, sepertinya telepon genggamnya berbunyi dan sebuah nama “Bagus Saputera” muncul di layarnya. “Halo...” Kinanti setengah ngantuk menerima telepon Bagus lebih dari tengah malam. Kinanti melihat jam dinding pukul 01.15. “Kinan, huk... huk... kamu masih ngerjain skripsi juga? huks...” “Bagus, Bagus kamu mabuk ya?” Kinanti menebak-nebak kondisi Bagus yang menelepon dengan suara yang terdengar aneh. Kinanti tidak yakin karena tidak pernah muncul di pikirannya kalau Bagus akan mabukmabukan hanya karena dia menolak mengantar ke Pasar Beringhardjo. Tiba-tiba rasa bersalah menyelip di hatinya, hampir sebulan ini memang dia dan Bagus tidak sempat ketemuan. Kinanti merasa bersalah, dia sangat berambisi dengan skripsinya dan sisa-sisa mata kuliah yang diperjuangkan agar mendapat nilai A sempurna. “Gus maaf ya, tapi kamu kenapa sih?” Kinanti jadi membuka matanya, hatinya berdegup. Kinanti takut Bagus kenapa-kenapa, mana orang tuanya di Jakarta. “Aku baik-baik saja Kinan, seperti kamu yang sukses sebentar lagi meninggalkan aku! Kamu sudah tidak ada waktu untukku lebih lanjut,” Bagus meracau seenaknya. “Bagus, maafin aku... aku tidak bermaksud mengabaikan kamu... aku... aku...” Belum selesai Kinanti memberikan penjelasan yang dia sendiri ragu, pasti Bagus yang mabuk tidak akan pernah paham dengan penjelasannya. “Kamu berubah Kinan... berubah... huk... huk...” Clik! Tut... tut... tut... Kembali telepon Bagus mati begitu saja. Sisa malam jelang pagi Kinanti tidak bisa tidur dengan tenang, ada rasa bersalah menyelinap karena kesibukan mengejar ambisi melalaikan Bagus yang mungkin butuh dukungannya dia juga agar bisa menyelesaikan kuliahnya. Kinanti menenangkan diri berharap pagi segera menjelang dan Kinanti akan menemui Bagus besok di kampusnya. Selepas jam mata kuliah pertama sedari jam 08.00 dan sekarang jam tangannya menunjukkan pukul 10.00, Kinanti melangkah ke Fakultas Kimia. Setahu Kinanti, Bagus hari Jumat ada kelas, tapi yang ditunggu tidak ada. Menelepon dan SMS dari dua jam lalu dan dicoba berulang tapi tidak ada respons. “Hmm aku ada kelas lagi jam 14.00, sebaiknya aku coba tengokin Bagus ke kostan.” bisik hati Kinanti. Bagaiamanapun Kinanti tetap merindukan Bagus, sudah sebulan dia sibuk dan Bagus pun sepertinya enggan mengusiknya. Kinanti sejak Bagus kerap mengeluh dan merasa minder dengan kuliahnya yang masih lama membuat Kinanti agak menghindar berceloteh skripsinya atau mata kuliah yang sedang ditempuhnya. Butuh lima belas menit menuju kostan Bagus dengan naik ojek kampus. Kostan Bagus tampak sepi, pasti kostan yang dihuni sebagian besar anak kuliahan juga ada orang kantoran pastinya semuanya tengah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Kamar Bagus masih tertutup, Kinanti mendekati perlahan dan mengintip dari kaca jendela nako. tampak Bagus masih tidur lelap dengan memakai celana jeans robek-robek dan kaos. Kinanti memanggil dan mengetuk pintunya, “Bagus... Gus...” Berulang kali, tapi tampaknya Bagus terlalu lelap dengan tidurnya. Kinanti memutuskan masuk dan kamar Bagus yang biasanya rapi, saat ini seperti kapal pecah. Buku-buku kuliah juga buku politik yang kadang memang suka dibacanya berhamburan kesana-kemari tidak tersusun rapi di raknya. Puntung rokok bertumpuk memenuhi asbak berbentuk lidah menjulur, sempat membuat Kinanti bergidik. Perasaan Bagus bukan perokok berat. Kinanti tahu kalau orang stress yang di awalnya merokok hanya sesekali bisa saja jadi berubah drastis menjadi perokok berat. Dan juga ada botol minuman keras, benar dugaan Kinanti kalau jam dua pagi tadi Bagus menelepon dengan keadaan mabuk. Pria yang dicintai masih tertidur lelap, Kinanti menatap wajahnya yang tampan. Wajah yang membuat dirinya juga jatuh hati. Mencintainya sampai sekarang walau ada yang tengah berubah dari diri Bagus yang Kinanti anggap terlalu berlebihan kalau dia merasa tersaingi dengan kesuksesannya dalam akademik. Dan sebentar lagi bila skripsi kelar dan mulai maju sidang, dalam hitungan bulan dia akan meninggalkan kota pelajar untuk mencari pekerjaan di Jakarta. Apalagi pasca perceraian bunda kerap sakit, bersyukur Kak Melati sudah duluan menemani bunda di Jakarta. Tapi rumah besar mereka pasti terasa sunyi tanpa ayah lagi. Ayah sudah langsung tinggal dengan wanita idaman lainnya, begitu yang Kinanti dengar seminggu lalu saat bunda dan Kak Melati bergantian menelepon dan memberikan dukungan agar segera lulus kuliah lalu bergabung dengan mereka. Kinanti sudah berjanji pada dirinya akan menjaga bunda secepatnya, apalagi setelah pensiun Bunda kadang kerap stress dengan kesehariannya yang biasa bekerja sekarang hanya di rumah. Kata Kak Melati, bunda seperti mengalamu post power syndrome. Kinanti memegang kening Bagus dan panas, dia agak panik. Sepertinya Bagus demam. Kinanti membuka lemari kayu berisi baju-baju dan menemukan sapu tangan lalu menuju dapur umum kostan untuk mengambil air panas dan mencampurkan dengan air ledeng agar hangat, lalu mengompreskannya. Bagus tetap saja bergeming, Kinanti menungguinya sambil merapikan kamar Bagus. Buku-buku dikembalikan di rak seperti biasa, semua putung rokok dibuang ke tong sampah di luar kamar, banyak kertas corat-coret tidak jelas Kinanti buang juga bersamaan botol minuman yang Kinanti cium asam menyengat. Jendela nako dibuka agar udara luar yang segar masuk dari sebuah taman, Kinanti juga menyemprotkan pewangi ruangan untuk menghilangkan bau rokok yang melekat dan minuman yang menyengat. Biasa beberes cepat kamar Bagus sudah rapi dan bersih dengan Kinanti lap lalu sapu dan pel sambil sesekali mengganti kompres. Kinanti juga membuatkan teh manis hangat dan sempat membeli roti manis isi keju tadi di kantin kampus yang sekarang sudah menjadi teman teh hangatnya. Kinanti menatap wajah Bagus dengan kompres, rasa bersalah masih menyelimutinya. Bagus tampak agak kurus sebulan ini mereka tidak bertemu. Kinanti ingat dirinya memang secara tidak langsung seperti menghindar setiap Bagus mengajaknya bertemu. Entah kenapa setiap akan bertemu pas Kinanti juga sedang ribet dengan skripsi dan dosen pembimbing utamanya yang sulit ditemui. Pak Dharma sedang mengambil S3-nya di Bandung jadi kerap bolak-balik YogyakartaBandung yang membuat Kinanti tidak bisa leluasa setiap saat bisa berkonsultasi setelah direvisi. Sudah satu setengah jam dan Bagus tidak ada tanda-tanda akan bangun, Kinanti memutuskan untuk pulang saja. Apalagi suhu badannya juga mulai stabil. Kinanti memajukan kepalanya dan mencium pipi Bagus perlahan, hatinya hanya mengikuti keinginannya saat akan berlalu, Bagus menahan tangannya sehingga wajah mereka sangat dekat. Per sekian detik Kinanti diam membeku larut dalam pelukan Bagus yang sepertinya sengaja tetap tertidur saat dirinya di sisinya. Tapi tahu Kinanti akan meninggalkannya Bagus menahannya, pelukan yang sangat erat membuat Kinanti tersengal. “Gus, aku nggak akan ke mana-mana jadi aduh… kamu meluk aku kaya aku mau kabur saja sih...” Kinanti pura-pura marah. “Kamu Kinan semakin susah saja aku temui, aku sebulan ini serasa tidak punya pacar saja. Kamu tahu aku kebingunagan. Sampai kemarin aku iseng mau ngajakin kamu nemenin aku beli kado buat mama yang ulang tahun. Mama ingin dibelikan seprai batik bercorak kawung, aku bertanyatanya pada penjual batik di Beringharjo dan dapat.” “Iya maafkan aku ya Gus, ah gak usahlah aku jelasin lagi alasanku... kamu juga tahu,” Kinanti bisa bernapas lega, berdua duduk di samping tempat tidur Bagus dan Bagus sudah mulai sadar. Sesaat berdua terdiam, sepertinya sebulan tidak ketemu juga tidak ada banyak cerita yang tersembunyi. Kinanti bingung mau cerita apa, cerita kuliah hanya akan buat Bagus jadi bad mood lagi. Dia sangat sensitif masalah kuliah, apalagi Kinanti sempat dengar tadi di dapur pas ada Toto yang sempat menginfokan beberapa hasil test mata kuliah Bagus ada yang D dan harus ngulang. “Kamu kok ndengaren bisa main kemari? Lihat sendiri kan kamar tanpa sentuhan wanita, hehehehe… kaya kapal pecah,” suara Bagus tampak datar menyindir. “Iyah maaf Gus, aku benar-benar tidak ada waktu. Udahlah Gus jangan mulai lagi, tokh sekarang aku ada di sini,” Kinanti tidak mau ribut lagi. Tapi harapan Kinanti buyar dengan kekagetan Bagus membanting asbak di dekatnya ke tembok dan pecah berkeping-keping. Kinanti otomatis menutup telinga dan memejamkan matanya. “Bagus kamu kenapa sih? Kok jadi marah-marah lagi?” Kali ini mata Kinanti sudah merebak tinggal mengucurkan air mata saja. “Kamu Kinan… aku sangat mencintai kamu tapi... sepertinya cinta ini hanya sepihak! Kamu berubah Kinanti! Kamu sibuk mengejar masa depan kamu sendiri tanpa memedulikan aku yang setengah mati kesulitan dengan mata kuliahku!” “Bagus kamu jangan berpikiran seperti itu! Aku mau berbagi apapun denganmu, kamu jangan terlalu berperasaan yang nggak-nggaklah! Tapi apa yang bisa aku bantu agar bisa mengatasi kuliah kamu yang sulit?” “Hmmm gimana kamu akan bantu, waktu saja kamu sangat tidak mau berbagi! Kamu egois Kinanti!” tangan Bagus bergetar, apakah Bagus ingin memukul? Kinanti sekarang benar-benar menangis. Sudah pasti Kinanti tidak bisa ikut kuliah yang jam 14.00, perasaannya sekarang sakit dan entahlah tidak jelas. Kinanti memutuskan untuk diam dan membiarkan Bagus yang agak sempoyongan mengambil baju dan handuk untuk mandi. Memutuskan berdiam diri saja, menunggu Bagus yang tengah mandi. Seperti orang yang menunggu vonis saja, Kinanti diam terpekur di kamar Bagus dan hatinya resah. Bagus sudah mandi dan tampak lebih segar. “Minum dulu Gus dan makan dulu ya, kamu pasti lapar,” Kinanti menyodorkan teh yang sudah tidak panas, hanya menyisakan hangat dan kue bantal manisnya. Kinanti cukup lega, Bagus tidak lagi menunjukkan rasa kesal. Menikmati segelas teh dan roti manis isi keju cukup membuatnya berpikir jernih. “Kinan, maaf tadi aku terlalu emosi. Kemarin aku sangat merindukanmu dan mencoba apakah kamu bisa menemani aku ke Beringharjo mencari kado, tapi yah... kamu masih berkutat dengan skripsimu. Aku harusnya maklum, tapi sepertinya aku sudah jauh tersisih dari hatimu. Di dalam hatima hanya mengejar ambisi tanpa pedulikan aku.” “Bagus, maaf aku bukannya mau mengesampingkan kamu sayang... apa yang aku kejar semata juga bukan untuk kepentingan aku saja, tapi masa depan kita. Aku harus bisa cepat menyelesaikan kuliah karena bunda sekarang hanya berdua dengan Kak Melati setelah resmi bercerai. Aku tidak mungkin juga berharap banyak Ayah akan terus mengirim uang setiap bulan untuk kebutuhan hidup aku di Yogyakarta, Ayah sudah memiliki keluarga baru,” kembali setiap berkisah perceraian kedua orang tuanya terungkit, Kinanti tidak bisa menahan air matanya. Kali ini Bagus yang terhenyak. Tapi rasa dinomorduakan dan kegagalan dia di beberapa mata kuliah yang membuatnya akan lebih panjang menjalani semester yang harus ditempuh membuatnya merasa terpuruk, apalagi Kinanti akan melejit jauh meninggalkannya. Antara rasa cinta, cemburu, kesal bercampur aduk. Rasa egois sebagai lelaki yang terkalahkan oleh pacarnya kerap membuat emosi yang menggebu. Dan semalam memang Bagus ingin menghilangkan kekusutan hatinya dengan meneguk minuman keras. “Tolong Gus, jauhi minuman keras seperti ini! Buat apa kamu merusak diri? Aku tetap mencintai kamu walau mungkin kamu masih ketinggalan dalam beberapa hal. Tapi sungguh aku tidak pernah merasa ingin bersaing dan membuat kamu seakan-akan bodoh di hadapan orang lain,” Kinanti menjelaskan panjang lebar. Bagus tahu hati Kinanti jadi kembali sedih akan keadaan keluarganya, dan Bagus tahu harus menenangkan hatinya. “Kinan, maafkan aku... aku sangat mencintaimu dan aku takut kehilangan kamu bila kamu harus meninggalkan aku terlebih dahulu. Kinanti kamu milikku selamanya, tidak ada yang paling mencintai kamu selain diriku,” Bagus memeluk Kinanti. Setiap kemarahan akan kembali membaik, sebuah pelukan cukup kembali membuat hubungan mereka membaik. Kinanti yakin kalau cinta Bagus memang hanya untuknya. Walau Kinanti pun sadar ada yang berubah dari sikap Bagus yang dianggapnya semakin protective sekaligus possessive. Tapi tetap Kinanti konsekuen akan cintanya.