Hold Me Closer

Reads
108
Votes
0
Parts
20
Vote
by Titikoma

Cinta Tumbuh Seiring Waktu (rasyid Alfatih)

Setelah seharian kemarin saya merenung dan nekat istikharah, akhirnya saya mendapat satu kesimpulan. Saya belum benar-benar jatuh cinta pada Sapna, tapi saya ingin sekali mempersuntingnya. Ada semacam perasaan ingin menjaga dan melindungi setiap kali melihat wajahnya. Dan dari hasil salat malam, hati saya juga semakin condong ke arah sana. Saya semakin ingin menikah dengannya. Maka, setelah mempertimbangkan semuanya masak-masak, pagi ini saya memutuskan untuk menemuinya sebelum berangkat kerja. Untuk satu hal ini saya membutuhkan bantuan Arsene dan tentu saja mamanya. Mama Arsene, kakak saya, selalu saja banyak bertanya bila saya mengatakan akan mengantar Arsene ke sekolah. Apa yang harus saya katakan untuk menjawab pertanyaannya nanti? Pertanyaan yang biasanya akan dia lontarkan pertama kali adalah “Apa alasanmu mengantar Arsene? Aku bisa mengantarnya sendiri”, dan yang paling saya benci adalah dia mengatakannya dengan begitu pongah. Pertanyaan kedua dan selanjutnya adalah improvisasi dari jawaban saya pada pertanyaan pertama. Jadi, yang harus saya lakukan, mencari jawaban yang nggak akan memunculkan pertanyaan baru. Dan sungguh itu sulit. Karena Rana, kalau sudah bertanya akan sama seperti mama dan Rani, nggak ada habisnya. Tapi saya tidak bisa mundur lagi. Hari ini juga saya harus memperkenalkan diri padanya. Lebih cepat akan lebih baik lagi bagi kesehatan jantung dan kepala saya. Tiap kali saya memikirkan Sapna, selalu saja saya didera sakit kepala tak tertahankan. Belum lagi keadaan jantung saya yang jadi tak normal detaknya. Saya juga selalu mengalami halusinasi, melihat Sapna di mana-mana. Saya sangsi ini gejala penyakit mental, tapi kalau hal ini masih berkelanjutan bahkan setelah saya berkenalan dengannya, saya akan ke psikiater secepatnya. Nah, ya kan, saya mulai melantur lagi. Lebih baik saya segera menemui Rana dan meminta izin untuk mengantar Arsene. “Fatih, titip anterin Arsene ke sekolah ya,” Rana datang menggandeng Arsene yang tengah tersenyum ceria.  Ah, eh. Apa ini? Baru saja saya mau menawarkan diri, tapi mereka sudah datang sendiri. Apa ini yang namanya mestakung—semesta mendukung? “Nggak bisa ya?” tanyanya ketika melihat saya bengong. “Aku harus ke salon pagi-pagi benar, ada supervisi dari pusat,” kakak saya ini pekerjaannya adalah Manager Marketing di sebuah salon kecantikan terbesar di Surabaya. Saya tergeragap ketika menyadari Rana dan Arsene akan beranjak dari hadapan saya. Mereka pikir saya bengong karena nggak enak mau menolak permintaan itu, padahal saya sedang senang sekali. Saya berdehem dua kali. “Sebenernya Fatih ada rapat direksi, tapi bolehlah dianterin Arsenenya. Sekalian, searah ini sama kantor,” Oh, beruntung sekali Arsene bersekolah di dekat bank tempat saya bekerja. “Nggak ngerepotin? Udah deh, aku bawa sendiri aja kalau gitu.” “E... eh. Nggak kok, nggak ngerepotin. Ya kan, Arsene? Sama Om aja ya?” saya harus berbaik-baik merayu anak ini. “Ya udah kalau emang nggak ngerepotin. Titip ya, Tih.” Saya memberikan sikap hormat pada Rana. “Siap Bu Bos!” Ibu satu anak itu terkekeh sambil mengibaskan tangannya seolah menghalau saya. Eh, dikiranya saya ini nyamuk apa? Bisa diusir pakai kibasan tangan. Duh, tapi kalau protes, bisa-bisa rencana hari ini gagal. Saya diam-diam sajalah daripada nanti ditendang sama Rana. Tak berapa lama, Rana sudah berpamitan pada anaknya. Saya lihat dia membisikkan sesuatu pada Arsene lalu mengakhirinya dengan ciuman gemas di pipi gembul anak itu. Lalu kami keluar bersama menuju garasi.  Jantung saya berdebar kencang ketika melihat Sapna menyambut kami. Dengan ramah dia menyapa Arsene, senyumnya lebar saat mengajak Arsene bercanda. Napas saya tertahan sekejap saat senyum itu beralih pada saya. Senyum ramah dan manis yang bisa saja membuat jantung saya melesak keluar dari rongganya. “Wah, pagi ini Arsene diantar Papa, ya.” Jegeeerr! Saya seolah disambar petir di pagi yang cerah ini. Masa saya dikira papanya Arsene? Ya sih, level ketampanan saya dengan papanya Arsene nggak jauh bedanya, tapi memangnya saya ini kelihatan seperti bapak-bapak? “Maaf, Bu, saya bukan....” “Saya paham, nggak semua Papa mau disebut mengantar anaknya, kebanyakan maunya dibilang sekalian dibawa karena jalan ke kantor searah,” dia terkekeh pelan. Saya mendesah. Satu lagi wanita dalam hidup saya yang suka memotong kalimat orang. “Tapi saran saya sih Pak, orang tua memang seharusnya berganti-gantian mengantar anaknya ke sekolah, agar sama-sama tahu bagaimana kegiatan anaknya di sekolah. Selain itu, supaya perkembangan anak bisa optimal. Anak akan merasa disayangi kedua orang tuanya kalau Papanya juga mau mengantar ke sekolah.” Mau bilang apa lagi kalau sudah begini? Setiap kali saya jalan dengan Arsene juga selalu begini kejadiannya. Dianggap sebagai papanya Arsene oleh perempuan lain nggak jadi masalah buat saya, tapi ini Sapna. Perempuan yang bisa membuat hati saya jedag-jedug hanya karena melihat senyumnya. Bagaimana mungkin dia akan mau berkenalan dengan saya kalau dia sudah berasumsi bahwa saya adalah papa Arsene. Apa sebaiknya saya tanya padanya, belum pernahkah dia bertemu dengan papa Arsene? Kak Zayn belum pulang dari dinas luar negerinya sejak dua bulan lalu, tapi bukan berarti dia dulu nggak pernah mengantar Arsene ke sekolah. Seharusnya Sapna sudah pernah bertemu dengannya. “Bapak ini termasuk ayah yang pantas diapresiasi. Saya perhatikan  beberapa bulan ini Bapak sering sekali mengantar Arsene. Bu Rana pasti sedang sibuk ya, Pak?” “Ya, begitulah,” jawab saya enggan. Ingin sekali rasanya saya meluruskan kesalahpahaman yang terjadi pagi ini, tapi entah kenapa sulit sekali mendapat kesempatan berbicara ketika berhadapan dengan ibu guru cantik satu ini. Lidah saya mendadak seperti dipenuhi sariawan. Membuat sulit mengeluarkan kata-kata barang sepatah pun. Sapna kembali tersenyum. “Pak Zayn pasti sudah mau berangkat ke kantor. Kalau begitu, saya ajak Arsene masuk ya, Pak,” pamitnya kemudian. Saya tersadar beberapa detik kemudian, saat Sapna yang menggandeng tangan kecil Arsene akan berlalu. “Eh, Bu, tunggu!” Sapna menoleh. “Ya, kenapa Pak?” Demi menjaga privasi, saya pilih mendekat. “Ada yang perlu saya luruskan di sini,” saya berdeham. Kening Sapna tampak berkerut, “Diluruskan?” “Ya, Bu. Ada kesalahpahaman di sini,” saya menghela napas sebentar. “Yang pertama, saya bukan papanya Arsene. Papa Arsene sedang di Australia sejak dua bulan lalu. Saya mengantar Arsene karena memang kantor saya berada tepat beberapa rumah dari sini, jadi sekalian.” “Tunggu dulu, kalau Anda bukan papanya Arsene, Anda siapanya?” tanyanya khawatir. Kerut di dahinya semakin kentara. “Oh, Fatih. Nganter Arsene, ya?” sebelum saya sempat mengatakan siapa saya, seseorang menyela pembicaraan kami. Bu Lisa, Kepala TK ini. Saya memberinya senyum. “Ah, iya Bu. Kebetulan Kak Rana sedang ada supervisi pagi ini, jadi dia harus buru-buru ke salon,” Bu Lisa ini masih ada hubungan kerabat dengan keluarga saya, keponakan mama saya, anak dari kakaknya. Usianya kurang lebih sama dengan Rana. Sapna menatap saya dan Bu Lisa berganti-gantian. Saya nyaris tertawa melihat ekspresinya yang lucu. Bu Lisa segera paham. “Dia ini Om-nya Arsene. Adiknya Bu Rana.”  Tangan saya terulur ke hadapannya dengan harapan akan mendapat balasan, karena tampaknya Sapna masih terlihat cengo. “Tadi kan Arsene udah bilang kalau itu bukan papa,” suara kecil Arsene menyela di antara kecanggungan kami, Sapna menoleh pada Arsene dengan tatapan ‘kapan kamu bilang begitu?’, kemudian menyambut tangan saya. “Maafkan saya, Pak...” “Fatih,” sebut saya, memperkenalkan diri. “Ah, iya. Pak Fatih. Saya Sapna,” senyumnya kini jadi tampak kaku dan canggung. Dia juga buru-buru melepaskan jabatan tangan kami, lalu meninggalkan saya dan melenggang masuk bersama Arsene. Yes! Misi sukses, meski dengan sedikit salah paham yang nyaris saja membuat saya dianggap sebagai bapak-bapak beranak satu. Nanti saya harus berterima kasih pada Bu Lisa yang sudah membantu saya mengatasi salah paham tadi. Sekarang, kalau saya beberapa kali mengantar Arsene lagi dan dengan sengaja mengajak Sapna mengobrol, apa sudah bisa dikatakan sebagai pendekatan? Saya rasa sih sudah, soalnya saya mau melamarnya dalam waktu dekat. Nggak mungkin kan saya akan melamar sementara dia masih belum mengenal saya sama sekali! Akan saya berikan waktu untuknya mengenal saya, tapi tidak lama. Akan saya biarkan cinta tumbuh seiring dengan waktu yang berjalan.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices