Hold Me Closer

Reads
109
Votes
0
Parts
20
Vote
by Titikoma

Lamaran Nyasar (sapna Kanaya)

Seluruh bagian wajahku masih terasa panas sejak kejadian tadi pagi. Kok bisa-bisanya sih aku salah mengenali orang. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, itu bukan salahku sepenuhnya kok. Aku kan memang belum pernah ketemu sama papanya Arsene selama ini, lagian kok dia nggak memperkenalkan diri dulu? Eh, lah, waktu dia mau memperkenalkan diri kan kusela sama penjelasan nggak penting tentang parenting. Kutepuk jidatku pelan, memang aku sih yang salah. Banyak omong kalau udah ketemu sama orang tua murid. Dia pasti lagi ketawa-ketawa sekarang. Siapa tadi namanya? Fa-tih? Hmm... nice name. Orangnya juga, kalau dilihat-lihat nice juga. Kesan pertama aja udah kelihatan sopan banget, mana ganteng pula. Aku menggeleng beberapa kali. No, no. Nggak boleh kejadian lagi yang begini. Love at the first sight itu nggak ada. Mungkin bagi orang lain fenomena itu ada dan bisa saja berakhir bagus, tapi untukku, cinta pada pandangan pertama hanya akan berakhir menyakitkan. Sudah beberapa kali kubuktikan sendiri. Jadi sebaiknya, kuhapuskan saja kata itu dari kamus hidupku. Tapi untuk yang satu ini, entah mengapa instingku berkata lain. Menatap langsung ke matanya, membuatku sedikit bergetar. Sorot mata sipit itu tajam dan seolah mengeluarkan aliran listrik kecil yang mampu menyengat hingga ke hati. Aku tersadar satu hal. Dia adiknya Bu Rana kan? Itu artinya, dia kakak Rani, teman sekantor Alma yang dikenalkan padaku sewaktu pernikahannya kemarin. Eh, atau adiknya Rani? Tapi dari garis wajahnya nggak terlihat dia lebih muda dari Rani, meski wajahnya bisa dikategorikan baby face. Tapi, aku kembali menyangkal, kenapa tipe wajahnya berbeda dengan Bu Rana maupun Rani ya? Fatih ini tampak lebih oriental dengan mata sipit dan dua lesung pipit yang aku yakin bisa membuat banyak cewek klepekklepek melihatnya. Termasuk aku. Eh, aku? Aku tertawa kecut. Yah, begitulah aku. Asal cowok itu ganteng dan sopan pada kesan pertama, pasti aku langsung terjatuh dalam pesonanya. Apalagi, si Fatih ini punya aura yang berbeda dengan cowok- cowok sebelumnya. Tuh, kan, dalam beberapa puluh menit saja sudah berapa kali aku menyebut namanya. Fatih, Fatih, Fatih. Dia berhasil menginvasi pikiranku. Gimana, nih? Dia kelihatannya bukan tipe yang gampang dideketin. Lho, masa aku yang mau deketin? Kan aku cewek, kebalik dong ya polanya. Tapi zaman sekarang kalau cewek diam menunggu, cowok-cowok bisa aja lari ke cewek yang lebih agresif. Kembali aku menggeleng-geleng. Aku kan udah janji nggak mau deketdeket cowok lagi. Apalagi udah terikat sumpah simalakama sama si Farun. Jadi apa lagi yang bisa aku lakukan selain menunggu orang yang akan datang melamar?  Aku terkaget-kaget saat mendapati Fatih mengantar Arsene kembali pagi ini. Ini pertemuan kedua kami, ah, atau mungkin sudah lebih dari dua kali kami bertemu seperti yang diralatnya tadi, tapi aku tak pernah menyadari atau memperhatikannya. Pokoknya hari ini adalah pertemuan resmi kami yang kedua. Kami ngobrol cukup banyak pagi ini, sampai-sampai aku membiarkan Arsene ke kelas sendiri tanpa kutemani. Mulai dari obrolan basa-basi tentang pekerjaan, sampai akhirnya dia bertanya sesuatu yang sifatnya pribadi. “Rani cerita waktu di pesta pernikahan Alma dan saya melihat kamu keluar dari gedung dengan marah, kata Rani, pernikahan kamu pernah gagal ya?” Mataku membelalak. Aku begitu syok mendengar kalimat itu. Bukan karena pertanyaannya menyinggungku atau apa, aku sih udah kebal dengan pertanyaan semacam itu. Tapi ini Fatih yang bertanya. Berarti benar katanya tadi bahwa kami bukan baru dua kali bertemu. Dia melihatku ngobrol dengan Ayu waktu di pesta Alma. Dia melihat wajah marahku, apa yang akan dia pikirkan tentang aku? “Saya nggak bermaksud menyinggungmu dengan pertanyaan itu, saya hanya ingin tahu kebenarannya. Benarkah kamu trauma menjalin hubungan serius setelah kejadian itu?” dia menambahkan penjelasan saat melihatku terdiam. “Ah, saya nggak merasa tersinggung kok. Jadi, Rani cerita apa saja sama Pak Fatih?” mendadak aku kebat-kebit, jangan-jangan Rani juga cerita soal aku yang gampang dikompori. “Jangan panggil saya Pak, Fatih saja!” lelaki ini begitu tampan ketika tersenyum dan dua lesung pipitnya terlihat. “Nggak banyak kok, hanya soal kejadian tentang pernikahan kamu itu aja.” Diam-diam aku lega. Ternyata Alma nggak ember-ember banget. Kukira semua tentangku akan diceritakan pada temannya itu. Kan Alma kalau sudah nyerocos nggak bisa dihentikan begitu aja, kayak mesin, harus ada password dan hanya orang-orang tertentu yang sudah terlatih saja yang bisa menanganinya. “Bu?” “Ah, panggil Sapna aja. Saya seumuran Rani, kok.”  Fatih kembali tersenyum. “Jadi, gimana? Bener atau nggak?” “Soal apa? Kalau yang gagalnya sih bener,” aku nyengir, tak tahu harus merespons bagaimana saat mengatakan itu. “Kalau soal trauma, dulu sih iya sedikit takut. Sekarang, setelah banyak tekanan dari mana-mana, sepertinya kalau saya trauma justru akan merugikan saya sendiri. Saya pengin membuka hati sebenarnya, tapi masih ragu-ragu.” Oh, Tuhan. Bisakah orang ini berhenti tersenyum? Senyumnya mengganggu kesehatan jantung dan paru-paruku. Aku mendadak sesak napas hanya karena melihat senyumnya. “Kalau misalnya saya yang pengin menjalin hubungan serius dengan kamu, gimana?” dengan tenang Fatih mengatakan itu. Aku mengerjap sekali, lalu dua kali. Apa aku salah dengar? Apa orang ini baru saja mengajakku menjalin hubungan serius? Menikah, maksudnya? Ini lamaran? “Saya sudah nggak muda lagi, usia kepala tiga sepertinya jadi momok buat semua orang,” katanya, menyambung kalimat sebelumnya. “Saya juga nggak pengin pacaran, karena saya pikir akan buang-buang waktu saja. Kalau kamu setuju, nanti sore biar orang tua saya ke rumah kamu untuk melamar secara resmi.” Kali ini aku benar-benar sesak napas. Siapa saja, cubit aku! Ini mimpi kan? Zaman sekarang ternyata masih ada cowok yang punya pikiran begini. Faruuunnn... kamu harus tanggung jawab kalau ternyata dia bukan orang baik seperti kelihatannya. “Sapna, gimana?” Ini pertama kalinya dia memanggil namaku, tapi dia sudah berani melamarku? Dia ini naif atau bodoh sih? Pasti banyak kan cewek yang lebih cantik, kaya, dan pintar dibanding aku yang bisa dia lamar? Kenapa harus aku? Aku ingin meneriakkannya langsung, tapi yang keluar hanyalah napas yang sepotong-sepotong dan terasa berat di dada, seperti tengah ditindih oleh tubuh seksi Lee Minki. Haha, aku juga pilih-pilih dong kalau ada yang harus menindih dadaku sampai sesak begini. “Hati saya condong ke arahmu, saya nggak bisa memikirkan wanita lain yang jauh lebih pantas dibanding kamu untuk bisa mendampingi saya.” Damn! Kali ini Minki bawa godam seberat satu ton rupanya. Dia menimpakan godam itu tepat di jantungku. Membuatnya semakin jadi remah-remah. Lalu dengan cekatan Minki mengumpulkan remah-remah itu dan menyatukannya kembali dengan menggunakan lem super yang terbuat dari senyum Fatih. Minki juga melapisi jantung itu kini dengan emas murni 24 karat lalu menempanya hingga melekat kuat. Jantung itu kini telah siap menerima cinta, meskipun akan menyakitinya kembali. “Sekarang, saya menunggu keputusanmu.” Kalimat itu segera saja mengaburkan sosok Minki dalam imajinasiku dan melemparkanku ke alam nyata. “Saya nggak bisa memberi keputusan sekarang. Saya harus membicarakannya dulu dengan orang tua dan keluarga. Lagipula, kita baru saja kenal, apa kamu yakin dengan yang kamu katakan tadi?” Fatih mengangguk. Cowok ini punya keyakinan yang tinggi pada dirinya sendiri. Dia tak pernah meragukan pilihannya. Ada tiga jenis manusia saat berhadapan dengan bus. Jenis yang pertama, orang yang nggak pernah salah jurusan ketika naik bus. Jenis yang kedua, orang yang walaupun tahu dia salah naik bus akan terus naik dan menikmati perjalanannya hingga ke pemberhentian selanjutnya. Lalu yang ketiga, orang yang ketika sadar dirinya salah jurusan akan segera turun dari bus itu. Aku adalah jenis yang kedua, sementara Fatih kemungkinan besar adalah jenis yang pertama. Aku sangsi sebenarnya, akankah kami bisa berjalan bersama-sama nanti? “Tidak masalah kalau kamu ingin membicarakannya dulu dengan keluargamu. Lagipula, saya juga harus mengenal keluargamu, kan?” Dan dia berbeda dengan cowok-cowok yang dekat denganku sebelumnya. Dia sudah menawarkan diri untuk berkenalan dengan keluargaku sebelum aku memintanya. Cowok lain, boro-boro. Yang ada mereka lari ketika kukatakan ayahku ingin bertemu. “Nanti sore, mainlah ke rumah. Nggak apa-apa kan kalau kita mulai dari tahap yang paling dasar dulu?” Ya, aku sudah membuka pintu hatiku. Tapi untuk memberikan kuncinya pada Fatih, tunggu dulu. Kita dengar dulu apa kata ayah, ibu, dan Farun nanti sore. Dia tersenyum. “Nggak masalah. Setidaknya dengan mengizinkan saya main ke rumah, kamu sudah memberi kesempatan saya untuk mengenalmu lebih dekat. Itu artinya kamu sudah membuka diri untuk saya. Terima kasih.” Aku hanya bisa ternganga mendengar kalimat panjangnya itu. Setelah ini, bolehkah aku memulai menulis cerita cintaku dari sini saja?


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices