
by Titikoma

Menikah Untuk Menyempurnakan Ibadah (rasyid Al Fatih)
Sepulang kerja, saya kumpulkan seluruh keluarga. Baru kali ini saya tidak merasa tenang saat bekerja. Seharian tadi saya ingin cepat pulang dan mengatakan apa yang terjadi pagi ini antara saya dengan Sapna pada seluruh keluarga. “Ada apa ini, Fatih?” tanya mama begitu semua anggota keluarga berkumpul. “Jangan bilang ini ada hubungannya dengan yang kamu katakan pada Mama beberapa hari lalu,” tebak beliau. “Memangnya apa yang kalian bicarakan? Tentang apa?” Papa menyela. “Ah, jangan-jangan tentang Sapna ya, Kak?” Rani membelalak terkejut saat mengeluarkan tebakannya itu. Tapi sebentar kemudian mata itu berubah jadi berbinar-binar. “Kalau memang benar ini tentang Sapna, pasti itu berita bagus!” serunya. “Tunggu-tunggu, Sapna siapa yang kalian bicarakan ini?” tanya Rana, dia memang yang belum tahu apa-apa tentang ini. “Sapna itu, gurunya Arsene. Masa Kakak nggak tahu?” jawab Rani antusias. Sesuai dugaan saya, Rana sangat terkejut mendengar hal ini. “Fatih sama dia? Sejak kapan?” Histeria Rani menular juga akhirnya. “Heh, kalian ini kenapa ribut sendiri sih? Biarkan Fatih menjelaskan ada apa ini sebenarnya!” Papa menyela keributan yang ditimbulkan oleh Rana dan Rani. “Nah, Fatih... katakan! Ada hal penting apa yang membuat kamu mengumpulkan kami semua?” Saya berdeham, sebenarnya sambil menahan tawa karena melihat ekspresi orang tua dan saudara saya yang seperti sedang menahan kentut. Mereka ini ingin tahu atau apa sih? Kok pasang tampang aneh begitu. “Fatih ingin kalian bersiap-siap. Dalam beberapa hari ini Fatih ingin Papa melamarkan seorang gadis untuk Fatih.” Rana dan Rani bersorak. “Jadi benar, kamu dan Sapna udah pacaran?” tanya Rana yang segera saja mendapat gaplokan keras dari Rani. “Kak Fatih kan nggak mau pacaran, Kak. Masa lupa? Dia baru ketemu beberapa kali sama Sapna dan udah langsung jatuh cinta. Gitu pas di pestanya Alma kemarin pura-pura nggak butuh,” cibir Rani. “Kamu yakin?” tanya papa, saya tahu papa hanya memastikan saja. Beliau mengerti saya luar dalam. Sekali saya yakin pada satu hal, sampai akhir saya akan tetap yakin. “Sore ini Fatih mau ke rumahnya buat kenalan sama orang tuanya. Kalau sore ini orang tuanya kasih restu, secepatnya Fatih kabarin Papa biar bisa cepat lamar dia,” sesuatu di dada saya seperti terpompa, saya jadi menggebu-gebu saat membicarakan hal ini. “Kalau gitu Mama akan siapin bawaan buat lamaran nanti. Feeling Mama sih, keputusannya pasti ya, mengingat Sapna sudah memberi lampu hijau buat datang dan ketemu keluarganya,” Mama, dengan penuh sayang mengelus kepala lalu turun ke pundak. “Lagian, siapa sih yang bisa menolak anak lelaki Mama satu-satunya ini?” Saya tertawa saja mendengar kalimat mama ini. Rana dan Rani mencebik, pura-pura merasa tersaingi. “Eh, tapi, emangnya tadi Fatih bilang ya kalau orangnya Sapna? Kok kalian bisa nyimpulin sendiri?” saya teringat, saya kan memang nggak pernah bilang ini tentang Sapna, tapi mereka udah main tebak aja. “Kita udah tahu. Sejak beberapa hari ini cuma Sapna yang bikin kamu galau,” kata mama jemawa. “Kecuali Kak Rana,” saya menimpali. Lalu sebuah bantal sofa melayang keras ke muka saya. Saya tertawa-tawa menangkapnya, lalu membalas menggebuk Rana dengan sebuah bantal. Semua berjalan cepat saat kita merasa bahagia. Ungkapan itu saya rasa ada benarnya. Sejak saya ke rumah Sapna sore itu dan mendapat sambutan hangat dari keluarganya, lalu semuanya berjalan seolah saya sedang diberi karunia oleh Tuhan untuk mengendalikan kehidupan. Farun, adik Sapna, sekarang menjadi dekat dengan saya. Saya akhirnya merasakan memiliki saudara laki-laki yang selama ini saya impikan. Berada di antara para wanita di rumah cukup membuat saya gila. Orang tua saya sudah melamar Sapna dan diterima dengan baik oleh orang tuanya. Tak sampai hitungan minggu, keluarga Sapna mengembalikan lamaran itu dan menyatakan keputusan untuk menerima lamaran. Lalu kini mereka sibuk dengan persiapan pernikahan. Sedangkan saya dan Sapna tetap disibukkan oleh pekerjaan. “Mas Fatih, kita langsung ke penjahit ya, buat fitting,” ujarnya ketika saya menjemput ke rumah sore ini. “Kamu nggak pakai jilbab?” tanya saya. Sehari-hari, di rumah, Sapna memang tidak mengenakan jilbab. Tapi biasanya jika keluar rumah dia akan memakai jilbabnya seperti ketika bekerja. “Nggak ah. Gerah. Aku juga penginnya ntar pas resepsi pakai baju adat tanpa jilbab ya, Mas,” rajuknya. Saya tersenyum kecut. “Sekali ini dengarkan saya, Sapna. Pakai jilbabmu mulai saat ini. Lepas ketika berada di depan saya saja nanti ketika kita sudah menikah. Jangan biarkan orang lain melihat rambutmu yang indah ini.” Dia cukup terkejut mendengar itu. “Pakai jilbab sewaktu bekerja atau keluar jauh dari rumah aku nggak akan menolak, tapi kalau keluar ke depan rumah aja aku harus pakai jilbab, itu bikin gerah, Mas,” ini pertama kalinya dia memprotes kata-kata saya. “Saya hanya akan meminta kamu satu kali saja, kalau kamu nggak mau menurutinya, terserah kamu. Tapi yang harus kamu tahu, saya yang akan mempertanggungjawabkan semuanya nanti di hadapan Allah. Kamu mau nanti di akhirat kita terpisah? Saya sih maunya nanti kita tetap jadi satu di surga.” Bibirnya lalu mengerucut. Sambil menggerutu panjang lebar, dia masuk rumah dan keluar lagi setelah beberapa saat dengan mengenakan jilbab. Oke, meski sempat protes, tapi ini awal yang baik. Sejak perbedaan visi tentang jilbab itu, menjelang pernikahan kami jadi sedikit sering berselisih. Mulai dari perbedaan pandangan tentang acara resepsi nanti, sampai hal-hal yang agak berat seperti tinggal di manakah kami nanti setelah menikah. “Kita kan masih baru, Mas. Nanti setelah menikah, tinggal dululah di rumahku seminggu dua minggu, baru pindah ke rumah kita sendiri.” Saya memang sudah menyiapkan sebuah rumah, jauh-jauh hari menabung demi menyenangkan calon istri, eh, malah dianya minta tinggal di rumah orang tuanya. Tentu saja ini perbedaan pendapat paling subtansial di antara kami selama ini. Tapi kali ini saya sepakat mengalah. Sapna gampang sekali terbakar emosinya. Dan kalau sudah ngamuk dia akan berhenti bicara pada semua orang. Dengan tabiatnya yang seperti itu saya tahu saya harus banyak mengalah agar tidak timbul perselisihan lebih besar. “Please, Mas Fatih kan ngerti. Aku belum pernah jauh dari orang tuaku selama ini. Kita tinggal dulu ya di rumah orang tuaku setelah menikah?” pintanya merajuk. Ini nih, saya paling nggak bisa melihat wajah memelasnya ini. “Iya, iya. Mas ngerti kok. Tapi cuma seminggu ya. Kasihan rumah kita kalau nggak cepat-cepat dihuni,” kata saya akhirnya. “Iya, deh, seminggu.” Itu perdebatan terakhir kami sebelum dipingit. Ya, kami akan berhenti berdebat kalau sudah tak bertemu dan tentu saja tak memegang ponsel. Karena meski kami tidak bertemu, lewat ponsel kami masih tetap berdebat. Selama masa pingitan, Rani menyita semua alat komunikasi saya. Entah apa yang terjadi pada Sapna. Mungkin saja Farun juga melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Rani. Kami bertemu lagi setelah masa pingitan yang lamanya seminggu tapi terasa bagai ratusan tahun bagi saya ketika akad nikah. Akad nikah sederhana yang hanya dihadiri keluarga dan teman-teman dekat saja. Resepsi dilakukan esok malamnya setelah akad berlangsung. “Na, salat isya dulu yuk,” saya sempatkan untuk mengingatkannya salat sebelum kami dipajang semalaman di pelaminan. Saya lihat dia sedang menyelesaikan riasannya dibantu oleh seorang pegawai salon tempat Rana bekerja. “Nanti aja deh Mas, kalau udah kelar acaranya. Isya kan panjang waktunya, masa sih pestanya sampai subuh? Nggak mungkin, kan?” Saya tahu dia berkelakar, tapi entah kenapa kalimat itu justru menyinggung saya. Biasanya dia selalu salat tepat waktu tanpa pernah diingatkan, atau mungkin saya yang nggak pernah melakukannya? Saya memang tidak pernah mengingatkannya untuk salat karena saya pikir dia memang sudah paham dengan kewajibannya itu. “Sebentar doang, Na. Nggak sampai sepuluh menit kan, salat?” saya masih berusaha mengajaknya. “Kita jamaah, itung-itung latihan sebelum nanti tinggal bersama.” “Ya Allah, Mas. Sapna udah dirias nih, ntar dipakai wudu harus ngebersihin riasannya lama. Belum lagi habis salat nanti harus dirias lagi. Undangan kan udah banyak yang datang, Mas.” Tersentak saya mendengarnya beralasan. “Wudu-mu maghrib tadi udah batal?” tanpa sadar, saya berseru cukup keras. Dia tak kalah kaget mendengar seruan saya, bukan hanya Sapna, bahkan pegawai salon yang meriasnya pun ikut kaget. Sebenarnya saya sendiri pun kaget bisa berseru sekeras itu pada Sapna. “Mbak Sapna, riasnya udah selesai. Saya tinggal dulu ya, nanti panggil aja kalau udah selesai ngobrolnya,” sela pegawai salon itu takut-takut. Bergegas dia keluar dari kamar rias meninggalkan kami berdua. “Mas, Sapna bukannya nggak mau diajak salat. Tapi memang keadaan kita begini. Lagian kan waktu salat isya panjang, paling nanti jam sepuluh pestanya juga udah selesai. Kita bisa jamaah setelah acaranya selesai.” “Ya, terus nanti setelah acara kamu alasan udah ngantuk, terus akhirnya nggak salat. Gitu kan, maksud kamu?” saya kaget sendiri ketika mengeluarkan kata-kata itu. Baru saja saya akan meralat atau memberinya penjelasan, Sapna sudah menyahut dengan ekspresi yang sulit saya definisikan. “Astaghfirullah, Mas. Mas bisa suudzon gitu sama Sapna? Sapna kira Mas Fatih udah mulai mengenal Sapna, tapi ternyata belum. Mas Fatih sama sekali nggak kenal siapa Sapna.” “Bukan begitu, Na. Ada hal-hal yang bisa memancing amarah Mas dengan mudah, salah satunya tentang salat ini,” saya coba menjelaskan. “Dan Sapna sudah menjelaskan dengan baik bahwa Sapna bukannya nggak mau diajak salat, tapi kita bisa salat setelah acara selesai. Lalu Mas malah suudzon sama Sapna. Kalau kayak gitu, apa tetap Sapna yang salah?” Saya mengembuskan napas kasar. Memang sulit membuatnya mengalah, tapi saya nggak mau mengalah untuk hal prinsipil begini. “Mas masih mau berantem? Sapna mau ganti baju soalnya, kalau Mas nggak keberatan silakan keluar dulu. Kalau memang masih mau berantem nanti kita lanjutkan. Sapna hanya nggak mau jadwal acaranya molor, kasihan teman-teman dan saudara-saudara kita yang udah nyiapin resepsi ini.” Telak. Kali ini saya tak bisa menolaknya. Meski enggan akhirnya saya mengalah lagi.