
by Titikoma

Reuni, Artinya Terbebas? (sapna Kanaya)
Kalau Farun sih sejak awal emang pro sama Mas Fatih, tapi ibu dan ayah? Baru dua minggu jadi menantunya sudah dibela sampai segitunya. Sapna yang salahlah, Sapna yang nggak dewasalah, Fatih cuma menjalankan kewajibannyalah, memangnya kewajiban suami itu marah-marah nggak jelas sama istrinya? Kewajiban suami itu bikin istrinya emosi terus? Bukan itu kan? Kata ayah, tugas suami itu membimbing istrinya ke jalan yang benar. Lah, selama ini emangnya aku berada di jalan yang salah? Aku nggak pernah berbuat maksiat, apalagi kriminal. Aku nggak pernah ninggalin salat, itu kan yang paling penting? Aku juga menjaga kehormatanku. Entah kenapa itu semua kayak nggak ada harganya di mata Mas Fatih. Dia selalu menuntutku lebih. Dia bilang aku cantik kalau pakai jilbab, aku tahu itu siasatnya biar aku mau pakai jilbab di luar jam kerja, termasuk di rumah. Dia bilang suaraku merdu saat mengaji, aku juga tahu, dari situ dia akan memintaku belajar murotal, qiraah, atau bahkan ikut tadabburan. Aku nggak pernah menolak selama itu baik, tapi yang kuminta melakukannya secara bertahap. Jangan menuntutku melakukan semuanya bersamaan! Kalau dia bisa mungkin aku udah disuruh ikut pesantren kilat. “Aku nggak tahu apa yang lagi kamu pikirin, tapi aku tahu mood-mu pasti lagi jelek banget,” siang ini, sepulang mengajar aku mampir ke rumah Alma. Sengaja. Aku sudah nggak tahan. Harus ada yang mendengarkanku. Aku menggeleng. “Bukan hal penting sih sebenarnya, cuma lagi sebel aja sama Mas Fatih. Oh, ya. Udah tahu kan kabar di grup Whatsapp alumni SMA angkatan kita?” aku memberikan topik yang kuyakin sudah diketahui oleh Alma. Matanya berubah berbinar-binar. Nah, aku benar kan, dia pasti sudah menungguku untuk membicarakan ini. “Udah, hari Minggu kan? Untung aja sih, kalau hari kerja bisa-bisa aku datang sendiri.” Aku mencibirnya. “Harusnya aku kan yang pamer suami,” kelakarku. Dia tertawa. “Aku juga mau pamer, tauk. Suamiku yang perhatian, romantis, dan manis itu sayang banget kalau nggak dipamerin,” sahutnya bangga. Lalu dia menunjukkan tangannya padaku. Aku terbelalak, ada cincin berlian terlingkar di salah satu jarinya. Meski kecil tapi kuyakin harganya lebih dari sepuluh juta. “Ini hadiah dari Gino untuk perayaan sebulan pernikahan kami. Bagus, kan? Tapi yang paling membuatku terkesan sih bukan cincinnya, aku nggak sematre itu untuk meminta cincin berlian pada suamiku, aku cukup tahu dirilah.” “Terus apa dong yang bikin kamu terkesan kalau bukan cincinnya?” tanyaku antusias. Aku jadi membayangkan, Mas Fatih akan memberiku apa ya waktu sebulan pernikahan kami nanti? Eh tapi, kalau mengingat sifatnya yang begitu hati-hati, aku sangsi dia akan memberiku kejutan untuk hal-hal seperti itu. Dia pasti akan memperhitungkan apa manfaat melakukan perayaan-perayaan macam itu. Alma tersenyum-senyum mencurigakan. Seperti tengah membayangkan sesuatu yang menyenangkan. “Gino menyiapkan makan malam mewah dan mengajakku menginap di hotel bintang lima, lalu kami menghabiskan waktu seharian berdua. Dia begitu hebat di ranj....” “Aaarrggghh... Stop! Jangan dilanjutin! Aku geli dengernya,” seruku. Aku tahu apa yang terjadi selanjutnya, untuk itulah Alma kuhentikan. Dia malah tertawa terbahak-bahak. “Kenapa sih, Na? Kayak kamu nggak aja,” godanya. Aku mencebik, manyun. “Eh, jangan bilang kalian belum....” dia membelalak, kaget sendiri dengan apa yang akan diucapkannya. “Belum apa?” tantangku. Mana mungkin aku akan dengan begitu bodohnya mengatakan bahwa aku dan Mas Fatih bahkan belum melakukan itu. Di malam pertama, aku malah tidur memunggunginya, meski ketika bangun aku berada dalam pelukannya. Malam kedua dan seterusnya kami juga sibuk bertengkar. Beberapa kali aku malah memilih tidur dengan ibu. “Ah, nggak mungkin. Kalian udah jadi suami istri selama dua minggu, masa belum pernah berhubungan sekali pun?” dia yang bikin pernyataan, dia sendiri yang menyangkalnya. “Kamu sendiri kan yang bilang nggak mungkin, jadi ya udahlah, ngapain dibahas sih?” aku berusaha mengalihkan pembicaraan. “Jadi, gimana? Kamu dateng nanti ke reunian? Bareng Gino?” Alma mengangguk. Yes, aku berhasil mengalihkan perhatiannya dari masalah ranjang. “Ya, dong. Aku pasti dateng bareng Gino.” “Yah, padahal aku pengin ngajak kamu barengan. Datang berdua aja tanpa para cowok itu.” “Sapna, nggak mungkin dong kita datang berdua. Ya kalau kamu belum nikah sih lain lagi ceritanya. Tapi kan kamu udah nikah. Ntar kita bisa sekalian double date, asyik kan?” Alma tertawa riang. Aku menggigit bibir, sangsi Mas Fatih mau kuajak pergi. Entah ini pertanda baik atau buruk, tapi aku merasa aneh saat Mas Fatih menyetujui ajakanku untuk pergi ke reuni angkatan zaman SMA tanpa harus beradu argumen. Dia menyetujuinya begitu saja. Bahkan mengajakku membeli baju baru untuk dipakai ke acara itu. Dia memintaku mengenakan jilbab, kuturuti saja daripada dia mengurungkan niatnya untuk ikut. Lagipula, tidak ada yang buruk dengan jilbab, kan? Dan di sinilah kami. Berada di antara teman-temanku semasa SMA yang sekarang sudah banyak berubah. Dan di antara mereka tentu saja ada Winny, si biang gosip. Dia datang berdua saja dengan suaminya, entah di mana ketiga anaknya dititipkan. Ketika melihat aku dan Alma berkumpul bersama suami-suami kami yang asyik mengobrol tentang angka-angka dan persen-persen, dia langsung mendekat seperti laron yang melihat cahaya terang. “Haloo... para pengantin baru. Yang satu sebulan, yang satu baru dua minggu. Oh ya, maaf ya Al, aku nggak bisa datang pas hari pernikahanmu. Apa waktu itu Sapna datang bareng calon suaminya?” Mas Fatih tersenyum. “Ya, tentu saja,” jawabnya ramah. Yah, nggak bohong sih. Waktu itu Mas Fatih memang datang ke pernikahan Alma, tapi bukan denganku. “Oh, ya ampun. Harusnya aku datang ya, waktu itu. Tapi Sapna, pernikahanmu terkesan mendadak ya?” aku tahu dia sedang memancing, memancing di air keruh tepatnya. Lihat saja sebentar lagi dia pasti mengeluarkan jurus andalannya. “Kamu nggak hamil duluan, kan?” tuh, kan. Tanpa tedeng aling-aling dia menanyakan hal seperti itu. Alma membelalak, lalu tertawa. Bersamaan dengan senyum lebar Mas Fatih yang tampak seperti sedang meremehkan Winny. “Kamu kan tahu sendiri, Win. Aku nggak pernah pacaran sejak beberapa tahun lalu, gimana aku bisa hamil duluan?” jawabku santai. “Terus Mas Fatih ini?” “Mereka nggak pacaran, Win. Langsung nikah,” kali ini Alma yang menjawabnya. Sembari masih terkikik sesekali. “Oh, pantes.” Winny mengeluarkan senyum meremehkan. “Gesturenya beda sama kalian,” Winny mulai membandingkan aku dengan Alma. “Kalian jauh lebih akrab dan Gino tampak perhatian.” Alma tertawa, lalu berdeham. Aku yakin dia tidak terpengaruh oleh perbandingan konyol Winny. “Tentu saja dia perhatian, Gino juga romantis,” gadis itu bergelayut manja di lengan suaminya. Gino tertawa sambil mengecup puncak kepala Alma. Aku menoleh pada Mas Fatih dan terkaget-kaget saat tahu dia sedang menatapku. Dia memberikan senyum menenangkan untukku. Tapi bukan itu yang kubutuhkan. Aku butuh sebuah tindakan darinya yang bisa membungkam Winny. Karena Alma adalah tipe orang yang tak tahu situasi alias tidak peka, jadi aku tidak bisa lagi mengandalkannya lagi. “Wah, kalian emang pasangan romantis dan serasi.” Winny menunjukkan kekagumannya pada Alma dan Gino dengan berlebihan. Aku memutar mata dengan jengah. “Kalau kamu sendiri gimana, Win?” tanyaku. Aku tahu pertanyaanku ini sama halnya dengan memainkan daging yang digantung di depan seekor macan lapar. Bagaimana pun caranya macan itu pasti akan melahapnya dengan rakus. Winny tertawa riang. “Mau bagaimana lagi emangnya? Walaupun kalau tidur dia hobi banget ngorok dan nendangin orang di sampingnya, aku udah nggak bisa protes, kan? Lah, anak aja udah tiga. Apa kalian mau suami kalian ditukar sama suamiku?” candanya garing. Aku nyengir. Tanpa sengaja mataku melirik Alma, sahabatku itu sedang kesulitan menahan tawanya. Mungkin kalau tega dia pasti akan menimpali perkataan Winny tadi dengan “Kamu pikir suamiku mau ditukar sama barang rongsokan gitu?” Aku tertawa dalam hati, jahat sekali rasanya kalau kami menimpal dengan kata-kata semacam itu. Lalu, terbersit sebuah pikiran jahil di kepalaku. Mungkin kalau Gino ditukar dengan Mas Fatih, Alma akan dengan senang hati melakukannya. Secara, dia dapat barang gres gitu. “Ah, aku ke sana dulu ya,” pamit Winny akhirnya. Terlihat sekali dari caranya berpamitan, dia sedang malu dengan kami berempat. Mungkin saja tadi dia tidak sengaja ketika mengatakan kekurangan suaminya. Alma mengajakku menyapa teman-teman kami, setelah berpamitan dengan para suami, kami pun memisah. Ternyata lama nggak ngobrol dengan anak-anak seangkatan kangen juga. Kami ngobrol macam-macam. Tapi, dari sekian banyak obrolan, ada satu obrolan yang tetap mengusikku hingga acara selesai. Setelah pulang dari acara reuni, aku meminta izin pada Mas Fatih untuk pergi berdua saja dengan Alma. Kukatakan kami ingin belanja sebentar ke supermarket. “Kenapa sih, tumben ngajakin belanja?” tanya Alma. Dia sih, pasti mengerti kalau aku mengajaknya berdua saja pasti ada yang ingin kubicarakan. “Kamu kepikiran nggak sih sama yang dibilang Winny tadi?” Kening Alma mengernyit. “Yang mana?” “Yang soal bertukar pasangan itu. Tadi aku iseng jelajahi soal itu di internet, nggak nyangka ternyata itu marak di luar negeri, mana katanya bisa jadi salah satu solusi psikologi pasangan pula.” “Kamu nggak berniat melakukannya kan, Na?” tebakan Alma kali ini begitu tepat sasaran. Aku tersenyum saja menanggapinya. “Kayaknya seru deh, Al, kalau kita bikin perjanjian kayak gitu. Nggak usah lama-lama, sebulan aja.” Alma terbelalak. “Jadi kamu beneran mau melakukannya?” Segera kubekap mulut sahabatku yang bocor ini. “Jangan keras-keras!” “Ya abis kamu, jangan aneh-aneh deh, Na. Kamu baru aja nikah, belum ada sebulan pula. Aku juga nggak mau ambil risiko dengan pernikahanku.” “Apa sih risikonya, Al? Masa sampai kehilangan suami? Nggak kan? Lagian kalau kita bikin perjanjian yang ketat dan nggak ada celah, pasti aman kok,” aku meyakinkannya. Entah kenapa aku ingin sekali melakukannya. Bukan karena aku nggak suka hidup bersama Mas Fatih, aku hanya ingin melihat sampai sejauh mana Mas Fatih sanggup berpisah dariku. Alma tampak berpikir. “Aku juga bosen sih, tiap hari dibanjiri perhatian sama Gino. Aku pengin cari suasana baru, siapa tahu nanti ada yang berubah dengan kita. Mungkin saja cinta kita sama suami bakal jauh lebih besar.” Aku nyengir mendengar kalimat penuh filosofinya itu. “Oke, kalau gitu deal ya?” “Nanti kita ngomong sama suami masing-masing. Gino sih pasti mau aja. Dia nggak pernah nolak permintaanku. Tinggal gimana ntar sama Mas Fatih aja.” Aku mendesah. Ini dia masalahnya!