
by Titikoma

Kontrak Gila (rasyid Al Fatih)
Bayangkan! Saya yang setiap hari berkutat dengan angka, kertas, dan tagihan-tagihan, harus pula mengurung diri di kamar kerja pada hari Minggu begini. Hari yang biasanya akan saya habiskan dengan berkebun atau membersihkan rumah bersama Sapna, kini menjadi hari yang penuh penyesalan. Kenapa mudah sekali saya katakan talak jika pada akhirnya saya begitu menyesalinya? Bagaimana kalau setelah sebulan masa perjanjian ini Sapna benar-benar setuju untuk meninggalkan saya? Alma sudah sejak tadi memanggil saya untuk sarapan, tapi saya menolak. Saya katakan padanya untuk sarapan terlebih dulu. Sementara saya sedang mempelajari kontrak gila yang dia tanda tangani bersama Sapna. Dalam kontrak bermaterai itu disebutkan peraturan-peraturan tertulis dalam melaksanakan perjanjian ini. Peraturan yang diam-diam membuat saya lega. Yang pertama tertulis adalah tentang pemisahan tempat tidur. Selama masa perjanjian kami harus tidur di kamar yang berbeda. Lalu yang kedua, tidak boleh ada hubungan suami istri. Ternyata mereka berdua belum cukup gila untuk tidak memperhatikan hal ini, mereka masih berada di ambang batas kewarasan. Peraturan lainnya bagi saya tidaklah terlalu penting karena hanya beberapa hal remeh yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Peraturan terakhir adalah tentang denda. Hal yang tidak pernah dikatakan Sapna sebelumnya. Jika saya tahu perjanjian ini bisa dibatalkan dengan membayar denda, saya akan membayar berapa pun nominalnya asal kontrak ini tidak pernah terjadi. “Mas Fatih!” seru Alma sambil mengetuk pintu kamar saya. “Keluar dong, ngapain aja sih di dalam? Sarapan dulu gih, abis itu kita jalan-jalan ya.” Sedikit terpaksa saya pun keluar. Bukan apa-apa, tapi perut saya minta diisi. Sudah jam delapan, biasanya saya sarapan jam tujuh sebelum berangkat kerja. Alma menemani saya sarapan, sedangkan dia sendiri sudah sarapan—seperti yang saya pinta sebelumnya. Kalau Sapna, dia nggak akan mau sarapan dulu meski saya menyuruhnya. Dia akan menunggu saya, lalu sarapan bersama meski sambil ngomel karena terlalu lama menunggu saya. Alma sama sekali nggak pernah mengeluh tentang saya. Ketika saya mengingatkannya untuk salat, awalnya dia kaget. Katanya selama ini Gino tidak pernah menyuruhnya salat, apalagi sampai mengajaknya salat berjamaah. Dia senang sekali sewaktu saya bangunkan untuk salat subuh berjamaah. Nggak ada cerita pertengkaran di pagi buta seperti ketika bersama Sapna. Saya menggeleng berulang kali. Bisa-bisanya saya membandingkan mereka. Karena Sapna sudah terbiasa salat, jadi dia sebal karena saya selalu mengingatkannya. Dia selalu bilang, Sapna tahu kewajiban Sapna. Sementara Alma, mungkin saja selama ini dia tidak terbiasa dengan rutinitas seperti itu, jadi dia merasa antusias dengan rutinitas baru. “Mas, kenapa? Masakan Alma nggak enak ya? Maaf deh, Alma nggak sepandai Sapna dalam hal perdapuran,” dia terkekeh. Saya tersenyum menanggapinya. “Jadi selama ini dari mana masakan yang kamu makan? Jangan bilang ada pembantu di rumahmu?” kelakar saya. “Ah, nggak kok. Kan Gino juga jarang makan di rumah, jadi seringnya sih aku beli lauk, nanti tinggal masak nasinya. Beneran nggak enak ya, nasi goreng bikinan Alma? Kalau bikin nasi goreng sih Gino jagonya. Sapna pasti dibuat kenyang makan nasi goreng buatannya,” Alma ini, suka sekali bicara. Diberi satu topik saja dia bisa membicarakannya selama satu jam tanpa henti. “Enak kok, cuma emang agak asin dikit,” kata saya jujur. Dia lalu menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. “Oh, Mas Fatih nggak suka asin ya? Soalnya kalau buat Alma segini udah pas.” Saya nyengir. Ya sudahlah, saya mengalah saja. Memang nggak akan menang kalau bicara lawan perempuan. Nggak mama, nggak Rana, atau Rani, nggak juga Sapna, atau Alma, semua sama kalau sudah bicara. Melawan mereka sama saja menantang. Jadi lebih baik diam. “Kalau habis ini kita jalan-jalan ke Tunjungan, gimana, Mas?” setiap kali saya diam, dia selalu berhasil membuat saya bicara lagi. “Ngapain ke Tunjungan?” tanya saya. “Ya, jalan-jalan aja. Cuci mata, cari angin.” “Daripada jalan-jalan nggak jelas, mending kita berkebun. Beberapa hari lalu saya baru beli bibit bunga dan udah disemaikan, sepertinya sekarang udah bisa dipindah.” Alma membelalak kaget. “Berkebun?” serunya. “Jadi Mas Fatih suka berkebun? Kok Sapna nggak pernah bilang ya?” Sekali lagi saya nyengir. “Mau nggak? Kalau kamu nggak mau nggak apaapa. Tapi maaf, saya nggak bisa nemani kamu jalan-jalan.” “Mau kok, Mas. Alma juga suka berkebun. Kalau tahu Mas Fatih suka, sudah dari kemarin Alma ajakin. Kan kemarin Mas Fatih cuma kerja setengah hari aja.” Saya terkesima melihat antusiasme Alma. Dia benar-benar suka berkebun, atau karena nggak enak menolak ajakan saya? Tapi dilihat dari binar matanya, dia memang benar-benar suka berkebun. Kemarin sore saja saya pergoki dia menciumi anggrek-anggrek bulan koleksi saya. Terus melihat-lihat bunga kamelia di rumah kaca milik Sapna. Ya, Sapna lebih suka bunga-bunga subtropis, makanya saya bikinkan rumah kaca di pekarangan belakang rumah. Padahal rencana awal saya mau dibangun kolam renang di sana, tapi karena Sapna menyukai bunga subtropis, saya putuskan untuk membangun rumah kaca yang bisa diatur suhunya. Selain kamelia, ada beberapa jenis tulip dan lily di sana. Semuanya koleksi Sapna. Dia bahkan berencana menanam buah plum, tapi belum mendapatkan bibitnya. Tuh, kan. Apapun yang ada di rumah ini selalu mengingatkan saya pada Sapna. Lalu bagaimana kalau nanti kami jadi berpisah? Sanggupkah saya tetap tinggal di rumah ini? Napas saya berembus keras. Mengagetkan Alma yang langsung menoleh ke arah saya. “Mas Fatih kayaknya lagi bad mood ya? Atau udah kangen sama Sapna?” celotehnya lagi. Saya menggeleng. Bagaimana mungkin saya tidak merindukan orang yang menjadi cinta pertama saya? Tapi saya tidak ingin Alma tahu apa yang sudah terjadi di antara saya dan Sapna. “Bukan kangen, Al. Lebih tepat kalau disebut kepikiran.” Ekspresi Alma tampak kaget. “Saya nggak bisa berhenti memikirkan Sapna,” kata saya sambil memindahkan bibit bunga Marrygold kuning dari persemaian dengan menggunakan sekop. “Lah, emangnya siapa yang nyuruh Mas Fatih berhenti mikirin Sapna? Kalau Mas Fatih nggak mikirin Sapna, terus mikirin siapa? Masa Alma, kan istrinya Mas Fatih itu Sapna.” Saya tersenyum kecut. “Kamu benar, Al. Siapa yang suruh saya untuk nggak mikirin Sapna. Wajar dong ya kalau gitu?” “Ya wajarlah, kecuali kalau Mas Fatih malah mikirin cewek lain. Itu yang nggak boleh. Bukan cuma Sapna yang akan marah, Alma pun akan marah kalau sampai Mas Fatih nyakitin Sapna.” Senyum saya kembali terurai. “Kamu sayang banget ya, sama Sapna?” tanya saya. Saya ingin mengenal Sapna lebih baik lagi, dan sepertinya Alma adalah guide yang tepat. “Lebih dari Mas Fatih sayang sama dia. Eh tapi, beda ya sayangnya Alma sama sayangnya Mas Fatih. Sayangnya Alma kan sahabat,” dia terkikik. “Kamu sahabatan sama Sapna udah lama?” “Sejak SMP cuma Alma temannya, nggak ada yang lain. Sebenarnya Sapna bukan introvert, tapi dia susah bergaul. Dia punya masalah sama emosinya yang labil, dia gampang tersulut sama omongan orang lain. Udah gitu, orang maksudnya bercanda dianya tersinggung. Cuma Alma satu-satunya orang yang waktu itu bisa bertahan dengan semua kekurangan Sapna. Bukan berarti kami nggak pernah bertengkar, kami sering, eh bukan, selalu bertengkar. Tiada hari tanpa pertengkaran. Tapi setelah bertengkar kami asyik main bareng lagi, nggak ada dendam atau kesal yang berlamalama gitu.” Saya tepekur mendengar cerita Alma. Kalau Alma saja bisa bertahan, kenapa saya menyerah secepat ini? “Dia cuma butuh orang yang mau dengerin keluhannya, karena dia selalu ngerasa hidupnya nggak bahagia. Dia selalu membandingkan hidupnya dengan orang lain. Aku selalu memarahinya, kubilang, patokan hidup bahagia itu bukan dari hidup orang lain. Tadinya aku udah pesimis dia bisa bangkit dari keterpurukan setelah ditinggal sama Rio, tapi aku senang karena akhirnya dia mendapat pengganti seperti Mas Fatih.” “Dia terpuruk? Tapi setahu saya dia terlihat baik-baik aja.” Alma tertawa. “Sapna itu pintar menyembunyikan air matanya. Jangan tanya dia soal air mata, karena dia pasti akan mencatut namaku dan mengatakan bahwa akulah yang paling sering menangis karena cowok. Setahu Alma, dia begitu rapuh.” Saya membelalak. Apa yang sudah saya lakukan? Saya menggarami lukanya dengan kata-kata perpisahan itu. Kini, setelah mendengar cerita Alma, saya yakin dia sedang menangis. Dan itu karena saya. Kenapa saya begitu bodoh? Bisa-bisanya saya menganggap dia kuat dan tegar hanya karena saya tidak pernah melihat dia menangis. “Mas Fatih nggak ada niatan untuk ninggalin Sapna, kan?” tanya Alma yang sontak melesakkan jantung saya keluar dari rongga dada. “Ha... apa, Al?” “Bercanda, Mas...” dia tertawa. “Alma sih yakin Mas nggak akan pernah meninggalkan Sapna apapun yang terjadi. Meski kalian baru saling mengenal, tapi yang Alma lihat ada cinta di antara kalian.” Saya nyengir, lalu tersenyum miris. Apa yang akan dia lakukan kalau tahu saya akan menceraikan sahabatnya, ya?