Hold Me Closer

Reads
112
Votes
0
Parts
20
Vote
by Titikoma

Membayar Denda (rasyid Alfatih)

Selesai menelepon Sapna selama kurang lebih lima belas menit, dan hanya habis dengan menenangkan tangisnya, saya lega. Hari ini saya berangkat bekerja dengan perasaan seringan bulu. Tapi melihat wajah murung Alma yang sedang terpekur di meja makan sendirian membuat ketenangan hati saya terusik. Saya dekati dia. “Ada apa, Al?” Wanita itu buru-buru membenahi jilbabnya yang sedikit berantakan. Terhitung sejak tiga hari lalu kalau saya tidak salah, dia memutuskan untuk memakai jilbab. Entah apa yang mendasari keputusannya itu, yang jelas saya tidak pernah memaksanya. Dia berjilbab atas keinginannya sendiri. Alma tak lekas menjawab. Dia malah semakin tertunduk. “Kamu bilang saya sudah kamu anggap sebagai kakak kamu sendiri, terus kenapa kamu bungkam saat ada masalah? Cerita sama saya, Al!” saya melirik arloji di tangan kanan saya. “Masih ada waktu setengah jam lagi kok sebelum saya berangkat, saya mau kamu menceritakan semuanya,” saya menarik kursi di sebelah Alma kemudian mendudukinya. “Mas nggak keberatan kalau aku cerita sebentar?” Saya terkekeh. “Kenapa harus keberatan?” “Sapna di sana sudah banyak membantu Alma sama Gino soalnya, Mas. Masa Mas Fatih juga ikut Alma repotkan dengan harus mendengar curhatan Alma yang nggak penting ini,” dia masih saja berputar-putar, padahal kalau mau langsung ke pokok permasalahan, tentu waktu yang akan dia gunakan untuk bicara bisa dipersingkat lagi. Tapi tunggu, Sapna membantu Alma dan Gino dalam hal apa? Kok sepertinya cuma saya sendiri yang nggak tahu apa-apa di sini. “Sebenarnya ada apa sih, Al?” Lalu mengalirlah cerita dari bibir Alma. Tentang alasannya menyetujui kontrak ini yang sama sekali tidak diketahui oleh Sapna. Dia merasa bersalah karena harus membohongi Sapna tentang tujuannya itu. Waktu Sapna meneleponnya, memberi tahu tentang kabar yang kata Alma kemarin penting, sebenarnya dia sudah menduga hal itu.  “Kalau kemarin sampai terjadi sesuatu sama Sapna, aku nggak bisa memaafkan diriku sendiri, Mas,” dia terisak. Saya sendiri sudah tak keruan. Antara ingin menghajar Gino atau justru harus berterima kasih padanya. Kalau tidak ada kejadian itu, mungkin saja Sapna sudah melupakan saya. “Mas, jangan marah sama Sapna ya. Alma yakin dia melakukan ini hanya karena masih meragukan perasaannya sendiri. Mas kan tahu bagaimana masa lalu Sapna, tentu dia nggak mau itu terulang lagi sama Mas Fatih.” “Ambil hikmahnya aja, Al. Dengan semua kejadian ini, paling nggak Gino sudah mendapat perawatan medis yang tepat. Kalau bukan Sapna, nggak mungkin ada yang berani maksa-maksa orang untuk ke psikiater seperti itu. Lah, kamu yang istrinya aja nggak berani.” Alma terkekeh, meski kontras dengan air mata yang masih meleleh di pipinya. “Sebenernya aku tahu Gino mengidap hiperseks sejak kami masih pacaran. Kalau aku nggak kuat iman, mungkin kami sudah melakukannya sebelum menikah. Tapi ya, gitu. Emang cuma Sapna satu-satunya perempuan yang bisa memaksa orang lain menuruti keinginannya dengan sukarela.” Lalu saya teringat janji saya pada Sapna untuk mengajaknya pulang malam ini. Nanti, begitu pulang kerja saya akan langsung ke ATM untuk tarik tunai lima juta rupiah sebagai denda yang harus saya bayarkan demi membatalkan kontrak ini. Saya tidak mau memberi tahu Alma dulu, nanti saja kalau uangnya sudah di tangan.  Saya dapat melihat raut wajah heran bercampur dengan haru dan rindu di mata Gino ketika dia melihat Alma datang bersama saya dengan penampilan barunya. Malam ini Alma mengenakan dress selutut berwarna oranye pucat yang dipadukan dengan legging hitam. Rambut sebahunya yang bergelombang ditutupi selembar pashmina instan berwarna oranye. Alma langsung menghambur memeluk Gino. Saya tersenyum-senyum saat melihat adegan itu. Kepala saya melongok-longok mencari keberadaan Sapna. “Dia masih di dapur,” tegur Gino. Saya langsung menoleh padanya, menjabat tangannya erat. “Tahu nih, Mas Fatih. Nggak sabaran banget sih,” Alma ikut-ikutan meledek saya. “Tahu nggak, Sayang, masa nih di rumah tiap hari dia nanyain Sapna. Sapna telepon nggak, nanyain saya nggak, sampai capek aku dengerinnya,” Alma mulai mengadu yang bukan-bukan pada suaminya. Kapan coba saya bertanya seperti itu di rumah? “Bohong tuh dia, mana ada ceritanya saya tanya-tanya kayak gitu?” saya berusaha membela diri. “Bener juga nggak apa-apa, kok, Tih. Emangnya kenapa kalau kamu nanyain Sapna? Wajar kan, emang dia istrimu,” Gino terkekeh. “Udah deh, kalian tuh paling kompak kalau suruh ngeledekin gitu,” saya nggak tahu lagi bagaimana warna muka saya. Yang saya rasakan hanya panas dan jengah. “Nggak disuruh masuk nih?” Seolah diingatkan, Gino menyilakan saya masuk. Alma malah sudah berlari ke dapur, mungkin dia lebih kangen dengan Sapna daripada dengan suaminya sendiri. Setidaknya, tanpa para wanita itu saya lebih leluasa bicara dengan Gino. Saya sedikit menyinggung tentang keadaan psikis Gino dan dia malah dengan senang hati menceritakan proses terapi yang kini tengah dijalaninya. Saya pikir orang seperti Gino ini nggak akan mempan terhadap omongan orang lain. Dia tipe yang akan membiarkan anjing menggonggong sementara dia yang menjadi kafilah, tetap berlalu melewati kerumunan anjing-anjing itu dengan percaya diri yang tinggi. Nggak jauh berbeda dengan saya sebenarnya, tapi saya masih cukup malu untuk menceritakan sesuatu yang menurut saya sedikit pribadi dan tabu untuk dibicarakan. Alma muncul dari dapur membawa sebaki minuman, disusul Sapna yang membawa piring-piring berisi camilan. Sebenarnya dia tahu nggak sih, saya ke sini untuk apa? Kenapa sampai disiapkan camilan segala, memangnya kami mau nonton sepakbola? Sapna hanya melirik sedikit ke arah saya, tapi tiba-tiba tubuhnya limbung. Saya refleks menangkap tubuhnya, kami berpandangan sejenak sebelum saya tegakkan tubuhnya untuk duduk di samping saya. Hati-hati, bisik saya. Kemudian, ketika melihat gelagat mencurigakan dari Alma, saya langsung tahu dialah penyebab Sapna jatuh. “Al, jangan mulai deh,” tegur saya. Dia terkikik-kikik senang. “Lagian, kalian berdua tuh pakai malu-malu segala. Mbok ya kayak aku sama Gino gitu, aku nggak munafik, aku emang kangen kok sama suamiku,” dia bahkan tanpa malu-malu mengecup pipi kiri suaminya. Gino tertawa renyah. “Oh, jadi mulai sekarang kontrak pertukaran pasangan ini udah nggak berlaku ya? Berarti kalian yang harus bayar denda ya, kan kalian yang batalin duluan,” suara Sapna terdengar riang. Alma segera saja melepaskan tangannya dari lengan Gino. “Enak aja, nggak bisa. Yang teleponan duluan kan kalian. Kita anggap yang batalin duluan kalian,” Alma tersenyum pongah. “Kok kamu tahu saya dan Sapna teleponan?” tanya saya heran. Sebuah cengiran terulas di bibir Alma. “Alma nggak sengaja denger pas Mas Fatih telepon Sapna pagi tadi.” “Eh, jangan-jangan kamu juga dengerin pembicaraanku di telepon sama Mas Fatih tadi pagi ya, Gin?” tuding Sapna. Gino tampak gelagapan, tapi sebentar kemudian dia tersenyum lebar seolah sudah memegang kartu As yang akan membuat Sapna bungkam. “Pembicaraan apanya, kamu cuma nangis gitu. Sapna mau nangis di pelukan Mas Fatih,” ujar Gino menirukan suara Sapna tadi pagi. Dengan cekatan Sapna melempar sebuah bantal sofa ke muka Gino, lelaki itu malah tertawa-tawa dan toast dengan istrinya. Ketika Sapna akan mengambil bantal kedua untuk menimpuk Alma, saya mencegahnya.  Penuh sayang saya mengelus rambut sepunggung Sapna yang tengah tergerai cantik. Matanya tampak berkaca-kaca, tapi sebelum dia menangis saya bisikkan untuk menangis saja nanti di rumah. “Jadi gimana nih? Siapa yang kena denda sekarang?” tanya saya kemudian. Jujur saja saya ingin segera menyelesaikan urusan ini dan pulang bersama Sapna. Alma sontak menjawab. “Mas Fatih yang harus bayar dendanya.” “Nggak bisa dong, Gino yang harus bayar,” timpal Sapna. “Kamu berubah kayak gini kan karena Mas Fatih, itung-itung sebagai gaji ustad tuh,” saya tertawa mendengar pembelaan Sapna itu. Ada-ada saja dia, masa dibilangnya gaji ustad. “Gini deh, gini,” sela Gino menengahi. “Gimana kalau kita pergi liburan bareng-bareng, ke mana gitu, anggap sebagai bulan madu yang tertunda. Nah, masing-masing pasangan membayar uang dendanya untuk liburan itu. Daripada kalian berdua sama-sama nggak mau ngalah, dan kita yang laki-laki udah capek dengerin kalian ribut terus, ini jalan tengahnya. Gimana, Tih?” “Setuju, tuh,” sahut saya cepat. “Sekarang, Fatih sama Sapna biar pulang dulu, kasihan tuh udah mau kangen-kangen kita gangguin mulu, Yang,” kata Gino pada istrinya. Meski masih belum puas dengan keputusan itu, mereka akhirnya memilih mengalah. Saya jadi teringat cerita Alma yang mengatakan bahwa dia dan Sapna memang selalu bertengkar. Malam ini saya melihat sendiri bagaimana hebohnya ketika mereka bersama. Setelah berpamitan, saya segera mengajak Sapna pulang. Di perjalanan, untuk pertama kalinya dia memeluk pinggang saya erat ketika dibonceng. Beberapa kali pula saya dengar dia berbisik, mengucapkan terima kasih, dan entah apa lagi karena suaranya terhalau angin dan terhalang helm. Nanti di rumah, akan saya biarkan dia bicara tanpa henti, saya tidak akan menyelanya. Saya merindukan istri saya yang suka ngomel dan selalu mengatai saya menyebalkan.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices