Hold Me Closer

Reads
105
Votes
0
Parts
20
Vote
by Titikoma

Semakin Terikat Dengan Nya (rasyid Al Fatih)

“Tadi siang Sapna telepon,” Alma membuka pembicaraan setelah makan malam dengan topik yang saya hindari sekaligus ingin dengar. “Loh, bukannya dalam peraturan tertulis nggak boleh saling menghubungi, ya?” Alma tertawa renyah. “Iya sih, tapi untuk kali ini dia diberi perlakuan khusus karena teleponnya untuk menyampaikan berita penting.” Dahi saya mengerut. “Berita penting?” “Ah, cuma penting buat Alma, kok,” kilahnya. “Cuma ngomongin berita penting itu aja?” saya kaget dengan pertanyaan yang keluar dari mulut saya sendiri. Bisa-bisanya saya menanyakan hal seperti itu. Alma malah terkikik saat mendengar pertanyaan saya. “Mas Fatih berharap dia nanyain Mas, ya?” Saya mendesah. Saya memang berharap tadinya dia menelepon Alma untuk menanyakan keadaan saya yang tidak terlalu baik ini. Apalagi sejak melihatnya menangis secara langsung, meski hanya dari balik punggungnya, saya jadi terus menerus memikirkannya. Apa yang dia rasakan sekarang ini? “Sebelum dia sempat menanyakan Mas Fatih, Alma sudah menutup teleponnya.” “Kenapa, Al?” “Karena Alma tahu dia hanya akan menyimpan pertanyaan itu sendiri. Dia terlalu gengsi mengakui kalau dia sudah kangen setengah mati sama Mas.” Saya juga kangen setengah mati sama dia. Saya juga gengsi mengakuinya. Lalu bagaimana perasaan kami akan bertemu. “Kenapa bukan Mas Fatih aja yang menelepon duluan? Kalau nunggu dia sadar sih bisa-bisa sampai tua dia nggak sadar-sadar. Anak itu kalau nggak digetok duluan, nggak bisa memahami perasaannya sendiri. Tapi tenang  aja, Alma udah ngegetok dia kok tadi.” Saya bertanya dengan dagu, apa maksudnya menggetok itu tadi? Mereka kan hanya teleponan, mana bisa saling sentuh. Ah, jangan-jangan ada aplikasi khusus di smartphone yang bisa dipakai untuk saling menyentuh lawan bicara ketika bertelepon. Kalau memang ada, saya harus tanya pada Alma apa nama aplikasinya dan di mana saya bisa mengunduhnya. Alma tertawa keras saat melihat wajah saya yang keheranan. Oh, hei, apa wajah saya segitu anehnya kalau sedang heran? “Alma menggetoknya pakai kata-kata, Mas,” ujarnya seolah tahu apa yang sedang saya pikirkan saat ini. “Saya masih nggak ngerti, Al. Pakai kata-kata gimana sih, maksud kamu?” “Ya, pakai kata-kata. Kalau dia masih Sapna yang dulu, atau paling nggak, berpisah dengan Mas Fatih seminggu membuatnya kembali pada dirinya yang gampang dikompori itu, sebentar lagi dia pasti akan menelepon Mas Fatih untuk meminta klarifikasi,” dia mengudap sepotong apel dengan santai. “Klarifikasi untuk apa, Al?” saya masih juga tak mengerti. Dia hanya tersenyum-senyum dan meninggalkan saya di meja makan sendiri. Sementara dia membersihkan sisa makan malam kami dan membawanya ke dapur. Karena penasaran, saya segera masuk kamar dan mengecek ponsel. Ah, mendadak saya kecewa. Memang ada beberapa panggilan tak terjawab, tapi bukan dari Sapna. Saya lalu memanggil salah satu nomor, milik Manager Cabang. Saya pikir pasti ada yang penting, mengingat panggilan beliau yang paling banyak di antara semua panggilan yang ada di daftar panggilan saya. Saya bahkan mengabaikan panggilan dari mama atau Rana yang sepertinya sudah mulai curiga karena saya dan Sapna belum mengunjungi mereka sejak hari pernikahan. Selain itu saya memang menghindari pembicaraan lama dengan anggota keluarga saya maupun Sapna. Takut keceplosan sesuatu yang tidak seharusnya saya katakan. Selama lebih dari setengah jam saya berbicara dengan Manager Cabang, membicarakan tentang pekerjaaan cukup membuat saya mampu melupakan Sapna sejenak. Ya, hanya sejenak. Karena begitu sambungan  telepon terputus, saya kembali mengingat wanita itu. Sampai pagi saya tidur bergelung dengan ponsel. Menunggu-nunggu, siapa tahu Sapna menelepon saya di tengah malam. Tapi sampai saya bangun, tidak ada panggilan masuk dari Sapna. Alma terheran-heran saat melihat saya sarapan dengan muka lesu. “Kenapa, Mas? Semalam kurang tidur?” tanyanya. Saya menggeleng. “Bohong kamu, katanya Sapna pasti nelepon saya, mana? Saya tungguin sampai ketiduran juga nggak nelepon-nelepon, tuh.” saya mengerang tertahan. Pembicaraan macam apa sih, ini? “Kan Alma bilang sebentar lagi, Alma nggak bilang tepatnya kapan, kan?” dia terkikik. Astaga, seharusnya saya sadar sedang berbicara dengan siapa. Alma, atau siapa pun perempuan, tidak pernah jelas ketika mengatakan orientasi batas waktu atau pun jarak. Entah karena dia memang nggak tahu batas waktu dikatakan sebentar itu seperti apa, atau memang dia sedang ingin mempermainkan saya. Atau perpaduan dua-duanya? “Mas, sabar dong. Orang sabar disayang Sapna,” imbuhnya lagi sebelum dia sendiri terkikik-kiki geli. Kalau dia Rani atau Rana, mungkin saya sudah melemparkan serbet makan di depan saya ini ke mukanya. Sayang, saya tidak mungkin melakukan itu pada sahabat Sapna. Bisa-bisa dia menyuruh Sapna untuk tidak kembali bersama saya. “Kalau hari ini dia nggak nelepon Mas Fatih, itu tandanya dia sudah lebih bisa mengendalikan dirinya dan bersabar. Lagian, kalian berdua ini udah kangen berat atau gimana sih? Baru juga pisah dua minggu.” “Alma, dua minggu itu waktu yang sangat lama untuk pasangan pengantin baru,” keluh saya. “Lah, Alma kan juga masih baru,” balasnya. “Ya, tapi kamu sama Gino kan beda sama kami, Al.” “Beda gimana?” Tidak mungkin saya akan mengatakan pada Alma kalau kami belum pernah berhubungan suami istri, bisa-bisa dia mengorek info lebih dalam lagi.  Apa saja yang kami lakukan selama malam-malam pertama pernikahan kami? Astaghfirullah, membayangkan menjelaskan hal itu pada Alma saja sudah membuat saya malu sendiri. “Ya, beda aja. Kamu sama Gino kan emang sebelumnya udah pacaran,” tukas saya akhirnya. “Sedangkan kami baru aja kenal beberapa minggu sebelum menikah.” “Ya, terus? Ada gitu pengaruhnya antara perbedaan waktu kenal dengan kemampuan bertahan?” dia terus saja mencerca saya dengan pertanyaanpertanyaan yang menurut saya nggak penting, tapi jadi penting ketika itu menyangkut soal Sapna. “Gini ya, Mas,” lanjutnya. “Alma nggak tahu apa aja yang udah terjadi sama kalian. Tapi yang Alma lihat, kalian memang saling mencintai. Cobalah bertahan sebentar lagi, sebesar apa cinta kalian, sekuat apa kalian mampu diuji. Kan kehidupan pernikahan nggak melulu senang, bahagia dan selalu bersama. Ada kalanya kalian memang harus berpisah untuk sebuah alasan. Nah, kalau sejak awal aja kalian udah nggak sanggup berpisah seperti ini, gimana kalau nanti suatu saat Mas Fatih dimutasi ke daerah lain sementara Sapna nggak bisa meninggalkan pekerjaannya di sini? Otomatis kan kalian pisah juga.” Tangan saya refleks memijit pelipis. Kepala saya terasa nyut-nyutan mendengar Alma bicara dengan kecepatan seratus kata per menit. Belum lagi kalimat itu panjang sekali sampai tidak jelas di mana titik, di mana koma. Pantas saja kalau Sapna mengeluh capek mendengar Alma ngoceh pada waktu resepsi. Dan saya malah mengatainya cari perhatian. Duhh... apa sih yang sudah saya lakukan dengan benar selama menikah dengan Sapna? Kata orang, kita akan tahu betapa berharganya seseorang ketika kita berada jauh darinya. Dan saya mengamininya. Siapa pun yang mencetuskan ungkapan itu untuk pertama kali, patut diacungi jempol. Setidaknya sebagai pengganti penderitaannya selama ini. Penderitaan yang membuatnya jadi mengerti tentang bagaimana rasanya jauh dari orang yang kita cintai. Penderitaan yang membuatnya mengucapkan ungkapan yang sampai saat ini sering diucapkan orang. Saya ini ngomong apa sih? Saya sudah pernah bilang sebelumnya kan, kalau saya suka melantur begitu membicarakan Sapna? Nah, terjadi lagi  pagi ini. Pikiran saya melantur ke mana-mana. “Mas Fatih kenapa?” tanya Alma ketika melihat saya tidak menanggapi penjelasannya dan malah bengong melamun. Sebuah cengiran terlepas begitu saja tanpa bisa saya tahan. “Nggak apaapa kok, Al. Kamu tadi ngomong apa?” “Mas Fatiiihhh…” dia histeris seraya melemparkan serbet makan ke arah saya dengan sebal. “Jadi, sejak tadi Alma ngomong sendiri? Mas Fatih nyebelin!” Saya meringis. Ah, sudah lama rasanya saya tidak mendengar ada yang menyebut saya menyebalkan. Sapna, masihkah kamu menganggap saya menyebalkan? Saya ingin dengar kamu mengatakan itu lagi pada saya.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices