
by Titikoma

Prolog
Kulihat Annisa tengah duduk di sebuah batu besar di pinggir sungai bersama seorang anak laki-laki. Itukah yang bernama Rasya, anak kecil yang menjadi pengemis di Mesir? Ternyata dia sudah dipulangkan ke Indonesia, seperti yang pernah diceritakan Annisa padaku. Annisa tampak asyik mengobrol dengan Rasya. Melihat senyumnya yang manis, mengingatkan aku pada Marsya. Setali tiga uang, aku mencintai keduanya. Cukup lama aku berdiri mematung sembari memperhatikan Annisa dari kejauhan. Sepertinya Annisa belum menyadari keberadaanku. “Ehem...” aku bergumam. Spontan Annisa dan Rasya menoleh. “Sandy? Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku ada di sini?” “Aku sudah menduganya kamu pasti akan datang kemari.” “Ada perlu apa sampai kamu menyusulku?” tanya Annisa sedikit ketus. Sepertinya dia tidak suka dengan kehadiranku. “Aku ingin ngomong sesuatu sama kamu. Ada satu hal yang perlu kita bicarakan.” “Hal apa? Bukankah sekarang ingatanmu sudah kembali. Lalu hal apa lagi yang kamu maksud?” entah mengapa, sikap Annisa padaku sekarang berubah dingin. “Ayo, Sya… kita ke rumah. Permisi,” Annisa menggandeng Rasya dan berjalan melewatiku. “Tentang perjodohan itu.” Annisa menghentikan langkahnya. Ia menghela napas berat. “Rasya, kamu pulang dulu ya, nanti Kakak nyusul. Kakak mau bicara sama Kak Sandy.” “Kakak tidak apa-apa ditinggal sendiri?” “Tidak apa-apa, Rasya. Sudah sana!” “Kalau begitu, Rasya pergi dulu ya, Kak. Assalamualaikum,” kata Rasya sambil mencium tangan Annisa. “Waalaikum salam,” sahut Annisa. “Waalaikum salam,” aku juga menjawab salam Rasya walau dengan suara pelan. “Aku sudah mendengar semua pembicaraanmu dengan Abah dan aku sudah tahu jawabannya. Sekarang tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Ari Sandiago Revan?” tatapan Annisa begitu nanar. Kata-kata Annisa yang memanggilku dengan nama lengkap seolah menekankan bahwa dia menyimpan sesuatu dalam hatinya. Entah apa yang sedang dipikirkannya tentangku saat ini. “Apa kamu marah padaku karena aku menolak perjodohan itu?” “Kenapa aku harus marah? Maaf, aku harus pergi. Assalamualaikum,” Annisa buru-buru pergi. Tanpa menjawab salamnya, aku langsung menyambar lengannya yang terbungkus baju hijabnya. “Akù suka kamu,” akhirnya tiga kata itu terlontar dari mulutku. Waktu seolah berjalan lambat. Aku masih mencengkeram lengan Annisa. Dia bahkan tidak berusaha untuk melepaskan atau menghindar ketika bersentuhan dengan lawan jenisnya. “Kalau boleh aku meminta, lebih baik Allah membiarkan aku hilang ingatan untuk selamanya supaya aku bisa tetap bersamamu. Tapi Allah berkehendak lain, ingatanku telah kembali.” “Kalau ingatanmu sudah kembali, lalu apa hubungannya denganku?” Annisa bertanya sinis. “Tapi aku suka kamu Annisa. Kamu adalah salah satu orang terpenting dalam hidupku. Kamu yang membawa aku pada Tuhanku. Kamu yang mengenalkan aku pada Islam. Kamu juga yang mengajari aku mengaji, sehingga aku bisa seperti sekarang ini. Kenapa waktu itu kamu menangis saat mengetahui aku menolak perjodohan itu? Apa karena ada perempuan lain di masa laluku? Atau jangan-jangan kamu juga suka padaku?” aku langsung menancapkan pertanyaan di relung hatinya. Membuat Annisa mematung seketika. “Kenapa kamu diam?” “Lepaskan tanganku!” seru Annisa. Aku melepaskan cengkeramanku. “Kamu belum jawab pertanyaanku,” aku masih bersikukuh sampai mendapatkan jawaban langsung dari mulut Annisa. “Maaf aku tak bisa menjawab pertanyaanmu. Bukankah kamu bilang masih mencintai perempuan itu? Maka lupakan saja aku. Anggap saja kita tidak pernah bertemu. Assalamualaikum,” pamit Annisa tanpa menoleh. “Tunggu Annisa!” seruku, tapi Annisa tetap berlalu.