Kelabu

Reads
60
Votes
0
Parts
6
Vote
by Titikoma

Pulang

Sudah pukul tiga dini hari, tapi mata ini tak juga terpejam usai merayakan pergantian tahun. Peluh keringat membasahi seluruh tubuh ketika aku dan pasanganku memburu nafsu, memompa adrenalin. Tetap saja, aku tak merasakan kantuk atau keinginan untuk segera memeluk guling. Aku turun dari ranjang dan berjalan menuju jendela kamar. Kusigap tirai sedikit. Tampak langit masih berwarna kusam. Sekusam hatiku yang tak menentu. Hujan yang terus mengguyur terasa getir. Aku melirik pasanganku. Dia menggeliat di balik selimutnya. Bayang-bayang masa lalu kembali memenuhi otakku. Waktu telah mengubahku menjadi seperti ini. Apa yang terjadi denganku?  “Jadi Mama menyalahkanku karena aku tidak becus mengurus keluarga, begitu? Lalu bagaimana dengan Mama sendiri? Jarang di rumah! Kalau ditanya, alasannya cuma kerja dan kerja!” sindir Papa sambil menyeret kursi rodanya menuju kamar. “Apa maksud Papa bicara seperti itu? Papa tahu sendiri pekerjaan Mama banyak. Butik Mama juga ada di luar kota!” Sejenak Papa menghentikan kursi roda. “Anak buah Mama banyak. Suruh saja mereka! Atau jangan-jangan itu hanya alasan Mama supaya bisa bersenang-senang dengan pria lain?” sungut Papa tanpa menoleh kepada Mama. “Maksud Papa apa? Papa nuduh Mama selingkuh?” “Papa tidak bilang kalau Mama selingkuh. Mama sendiri yang ngomong selingkuh.” “Lalu maksud Papa ngomong bersenang-senang dengan pria lain itu apa kalau bukan nuduh Mama selingkuh? Sudah deh, Pa. Mama capek! Mau istirahat!” kata mama mengakhiri pembicaraan lalu nyelonong masuk kamar. “Ma, Papa belum selesai ngomong,” Papa menyusul Mama ke kamar dengan memutar roda kursi. Pintu kamar dibanting. Keadaan semakin memanas. Keributan terus berlanjut di dalam kamar. Semenjak usaha Papa bangkrut, perselisihan di keluargaku sering terjadi. Dari hal kecil saja dapat memicu pertengkaran di antara kedua orang tuaku. Papa yang sudah tidak bisa menafkahi kami lagi, membuatnya depresi. Emosinya tidak stabil. Papa mudah tersinggung. Masalah kecil bisa menjadi besar saat Papa sudah mulai marah. Aku tidak menyalahkannya, sebab Mama yang keterlaluan. Mentang-mentang Mama lebih sukses dari Papa, seenaknya saja bertindak sesuka hati. Sebagai seorang istri, seharusnya Mama mendukung Papa, menyemangatinya agar bangkit lagi. Dengan kondisi Papa yang sedang sakit, seharusnya Mama lebih sabar dalam menghadapinya. Dulu Papa adalah pengusaha yang bergerak di bidang perkebunan, khususnya kelapa sawit, di Blitar. Usahanya cukup maju. Ia merintis usahanya sejak berusia dua puluh tiga tahun. Bisa dibilang, Papa adalah pengusaha muda paling sukses di Blitar. Namun, usahanya bangkrut lantaran ditipu oleh rekan bisnisnya sendiri. Sementara, Mama hanyalah seorang ibu rumah tangga. Berkat hobinya mendesain baju, akhirnya Mama bisa menjadi seorang desainer. Namun, itu tak berarti apa-apa kalau tidak mendapat dukungan dari Papa baik dari segi motivasi maupun finansial. Ketika masih sukses, Papa membangun butik untuk menunjang karier Mama sebagai desainer. Sampai akhirnya butik Mama berkembang. Mama mulai membuka cabang di Surabaya, kemudian melebarkan sayap ke Jakarta. Yang terbaru membuka cabang di Medan, tempat kelahirannya. Mama yang dulu hanya seorang ibu rumah tangga, kini telah menjelma menjadi seorang wanita karier yang sukses berkat Papa. Tapi, sekarang Mama telah berubah. Kesuksesannya telah membuat Mama lupa akan kodratnya sebagai seorang istri sekaligus seorang ibu. Aku benci Mama. Aku benci wanita. Wanita hanya mau madu laki-laki dan kalau sudah habis, tinggal segenggam empedu yang tersisa, wanita meninggalkan laki-laki seolah laki-laki tak berarti sama sekali dalam hidupnya. Sebuah sentuhan lembut membuyarkan lamunanku. Aku menoleh. Ada Samuel di belakangku. “Kenapa, Ri? Apa kamu menyesal sudah melakukannya?” “Tidak. Aku tidak menyesal melakukannya. Aku sedang kepikiran Papa. Aku khawatir dengan kondisinya. Kata Bi Ina, Papa masuk rumah sakit lagi.” Ya, Papa sakit. Sudah dua kali opname. Tapi belum sekali pun aku menjenguknya. Anak macam apa aku ini? Semenjak pertengkaran MamaPapa waktu itu, aku tidak tinggal di rumah. Bahkan, aku juga memutuskan berhenti kuliah dan pergi keluar kota karena tidak tahan dengan kondisi keluargaku yang sudah tidak harmonis lagi. “Ya sudah, besok kita ke Blitar sama-sama. Sekarang kita tidur lagi, ya,” ajak Samuel yang kemudian memapahku ke ranjang. Aku menurut saja.  Kudengar suara tirai ditarik. Mataku terbuka perlahan. Cahaya matahari yang menembus kaca jendela kamar sangat menyilaukan. “Pagi, Sayang,” seseorang dengan suara lembut menyapaku di pagi yang cerah ini. Aku tersenyum tipis. “Tumben sudah bangun?” jawabku agak malas. Semalam aku tidak bisa tidur. Akibatnya, sekarang tubuhku terasa pegalpegal. Bikin malas turun ranjang. “Katanya mau ke Blitar jenguk Papa kamu. Ayo cepat bangun!” “Nanti saja, ya. Masih ngantuk. Lagi pula jam berapa sekarang?” aku menarik tubuhku ke atas dan bersandar di sisi dinding ranjang. “Ini sudah jam tujuh, Ari? Ayo bangun!” Samuel menarik selimut sehingga tubuhku yang setengah telanjang terlihat. “Mandi, terus berangkat biar nggak kesiangan!” pintanya lagi. Aku bergeming. “Ayo, Ri! Apa perlu aku mandikan?” kali ini Samuel menarik lenganku sampai membuatku terduduk di tepi ranjang. “Iya bawel!” dengan malasnya aku bangkit lalu berjalan gontai menuju kamar mandi.  “Sam, terima kasih ya. Kamu baik sekali padaku. Aku tidak tahu apa jadinya kalau tidak ada kamu,” aku menatap Samuel yang tengah menyetir mobil. Samuel memang baik. Hatiku selalu bergetar ketika menerima kebaikannya. Samuel diam. Dia hanya tersenyum sambil tetap konsentrasi menyetir. Dia memang selalu begitu. Tidak pernah membahas apa yang sudah dilakukannya dan orangnya tidak perhitungan. Kadang aku merasa sungkan. Pernah aku bertanya padanya mengapa dia baik dan perhatian padaku. Jawabnya sederhana. Karena cinta. Kadang aku berpikir apa perasaanku pada Samuel juga dinamakan cinta? Aku bingung dengan perasaan Ini. Definisi tentang cinta itu banyak. Sulit untuk mendeskripsikannya. Yang jelas, saat ini aku merasa nyaman jika berada di dekat Samuel. Perjalanan dari Surabaya menuju Blitar membutuhkan waktu yang cukup lama. Kira-kira lima sampai enam jam. Aku tidak sabar ingin cepat menjenguk Papa dan menghiburnya. Papa suka sekali bercanda dan beliau orangnya kocak. Perjalanan yang cukup jauh memang sangat melelahkan. Kulihat di tepi jalan banyak penjual buah. Aku sempatkan untuk membeli buah kesukaan Papa, apel. Sekalian mau mengisi perut karena dari tadi sudah keroncongan. Wajah Samuel tampak lelah. Sepanjang perjalanan, dia yang menyetir mobil. Membuatku merasa kasihan. “Nanti aku saja yang menyetir, kelihatannya kamu kecapean,” aku berujar di sela-sela makan. “Tidak perlu, Ari. Biar aku saja,” tolaknya lembut. “Tidak apa-apa, Sam. Biar aku saja yang menyetir. Sudah, jangan protes!” Dia melakukan semua itu karena cintanya yang begitu besar padaku. Tapi, justru itu yang membuatku merasa tidak enak. Aku malah semakin terkurung dalam perasaanku sendiri. Jujur, terkadang ada rasa bosan yang menyelimuti. Aku ingin bebas. Cukup lama aku menjalani hubungan ini. Tak sekalipun kutemukan sesuatu yang membuatku benar-benar bisa memahami apa itu mencinta dan dicinta. “Ya sudah, terserah kamu,” akhirnya Samuel meloloskan tawaranku. Sekitar pukul satu siang kami sampai di Blitar. Sepuluh kilometer lagi, dengan menuruni lereng gunung dan melewati perkebunan kelapa sawit, kami akan sampai rumah. Ketika sampai di kaki gunung, Samuel memintaku berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan di sana. Kurasakan udara segar saat pintu mobil terbuka. Hembusan angin yang lembut, membawaku pada masa lalu. Suasana seperti ini sangat kurindukan. “Ini daerah tempat tinggalmu, Ri? Keren sekali pemandangannya!” ucap Samuel takjub. “Ya, rumahku memang di daerah pegunungan. Lihatlah ke arah sana! Itu kampung halamanku,” aku menunjuk sebuah perkampungan di kaki gunung. Bangunan-bangunan yang tertata rapi dengan berbagai macam tipe dan dikelilingi banyak pepohonan tampak sangat memesona. “Pemandangan sebagus ini dan kamu tidak pernah mengajakku kemari? Luar biasa,” Samuel menyindir. Aku meringis. Benar sekali. Ini kali pertama dia datang ke tempat ini. Aku selalu mencari alasan tiap kali Samuel mengajakku pulang ke Blitar. “Kamu tahu, dulu perkebunan kelapa sawit yang kamu lihat itu adalah milik Papaku. Tapi sekarang....” aku memotong kata-kataku sendiri karena rasanya terlalu menyesakkan untuk diteruskan. Mengingat karena masalah itu keluargaku menjadi hancur. “Sabar, ya,” hibur Samuel. Setelah puas menikmati pemandangan, kami kembali melanjutkan perjalanan. “Nanti kalau sampai rumah, sikapmu biasa saja. Jangan panggil sayangsayangan lagi. Oke?” aku mengingatkan. Samuel mengangguk. “Siap bos!”  “Ari, banyak orang di rumahmu,” Samuel memberi tahu melalui gerak matanya. Perasaanku menjadi tidak enak. Sepertinya terjadi sesuatu di rumah. Jangan-jangan Papa…. Aku langsung lari tunggang langgang menuju rumah. Sampai di depan pintu, kulihat Papa tengah terbujur kaku dengan kain batik yang membungkus dirinya. “Papa!” aku menjerit sembari melesat ke arah jenazah Papa yang terbaring di ruang tengah. Kubuka penutup kepalanya. Wajahnya pucat. Tak ada senyuman di sana. Senyuman yang membuatku bahagia. Tak ada. Yang tersisa hanyalah wajah beku tanpa ekspresi. “Jangan pergi, Pa!” air mataku tumpah menyeruak. Kupeluk Papa sembari menggoyangkan tubuhnya dengan harapan Papa membuka mata. Tapi, percuma saja Papa telah pergi untuk selamanya. Ya Tuhan, mengapa Engkau memanggil Papa secepat ini? Mengapa? Samuel yang berada di belakangku mencoba menenangkan. “Papa, Sam….” aku menoleh ke arah Samuel yang merangkul pundakku. “Iya, aku tahu. Sabar, ya,” Samuel menarikku pelan-pelan dari jenazah Papa karena akan segera dimandikan dan dikafani. Aku menyesal. Mengapa aku tidak ada di samping Papa di saat-saat terakhirnya? Papa, maafkan aku. Setelah proses pemandian dan sebagainya selesai, barulah Papa diberangkatkan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Aku ikut memikul keranda Papa sampai ke liang lahat. Tak berapa lama, para pengantar jenazah tiba di area pemakaman. Papa akan dimasukkan ke dalam liang lahat. Pemandangan seperti itu benarbenar mengoyak batinku.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices