Kepingan Hati Alisa

Reads
111
Votes
0
Parts
21
Vote
by Titikoma

Harus Pulang

Sekitar lima kilometer dari rumah kontrakan sederhana yang ditempati Alisa, Taufik duduk sambil memperhatikan pergelangan tangannya. “Sudah jam berapa ini?” tanyanya pada diri sendiri, sambil memperhatikan jam di tangannya sudah menunjukan pukul 17.30. Hujan masih belum berhenti juga. Sejujurnya ia ingin segera pulang, ingin menyelesaikan perselisihan dengan istrinya yang belum selesai, gara-gara sebuah masalah, ah lebih tepatnya beberapa masalah. Baru saja ia membuka telepon genggamnya, ingin mengirim pesan pada istrinya. Ia mengetik. Assalamu’alaikum Alisa. Maafkan Mas pulang terlambat, kamu jangan khawatir, Mas baik-baik saja, hanya sedang menunggu hujan reda. Sejurus kemudian jarinya akan menekan tombol send, tiba-tiba saja terhalang panggilan masuk dari sesorang yang selalu membuat dahi Taufik mengernyit. BU METTA CALLING. Tampak foto perempuan cantik di layar ponselnya. Mengenakan kacamata, berkulit putih, rambut hitam, leher jenjang, yang tentu siapa pun akan sepakat mengatakan ia adalah wanita yang sangat menarik. Tapi tidak dengan Taufik. Beberapa minggu belakangan ini, Metta seperti teror di hidupnya. Ia ingin ke mana saja, pergi sejauh-jauhnya, asal tak ada Metta di sana. Tapi sayangnya tak ada tempat untukmu berlari, Taufik. Karena Metta satu kantor denganmu, dan parahnya lagi dia atasanmu. “Astaghfirullahal’azim, mau ngapain lagi Bu Metta, pake acara nelepon segala,” gerutu Taufik sendirian. Taufik malas mengangkat. Akhirnya ia mematikan ponselnya. Ya, sebaiknya memang dimatikan saja, agar tenang. Pada akhirnya, ia lupa untuk mengabari istrinya. Padahal istrinya sangat mengkhawatirkannya. Taufik menatap jam tangannya. Semakin sore. Belum ada tanda hujan akan berhenti. Dia menundukkan wajah, tangannya ia lipat di atas meja. Dia termenung. Samar dari kejauhan, ia melihat seorang wanita setengah lari menghampirinya. Ah, betul, ia tak salah lihat, itu Metta. Wanita itu  semakin mendekat. “Hai Mas Taufik, kamu kenapa susah sekali dihubungi. Ditelepon nggak pernah diangkat, di chat nggak pernah balas. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak, kasian banget jadi aku. Hehe. Kamu ini kenapa? Masih marah gara-gara omonganku kemarin?” Tiba-tiba saja Metta berdiri persis di depan meja Taufik, sambil menatap wajah Taufik lekat. Diperhatikannya setiap anggota wajah pria itu. Hidungnya yang mancung, matanya coklat berbinar, bibirnya tipis, alisnya lebat dengan alis kanan dan kirinya terpaut seolah tak mau diberi jarak. Ah, sempurna! pikir Metta. Taufik merasa tidak nyaman, tapi ia tidak berani berkata kasar pada atasannya tersebut. Biar bagaimana pun Metta harus dihormati. Taufik berdiri dari tempat duduknya, tanpa berkata sepatah kata pun. Metta menengadah, tentulah semakin terpesona dengan tubuh Taufik yang 15 cm lebih tinggi darinya. Bahu yang kekar, dada yang bidang, janggut yang tipis, semakin membuat Metta menelan ludah. Pahit. Pahit karena Taufik mengabaikannya. Lalu, tanpa sadar, Metta menarik tangan Taufik agar tidak segera berlalu darinya. Taufik kaget. “Maaf, Bu Metta. Saya harus pamit pulang. Hujannya sudah reda.” Taufik melepas tangan Metta hati-hati, sambil hendak berjalan meninggalkan Metta. “Tunggu dulu! berapa kali sih harus dibilangin, jangan panggil aku ‘Bu’. Panggil Metta saja kan lebih enak. Kita seumuran, ‘kan? Malah secara bulan lahir, lebih dulu kamu loh Februari, aku Mei. Jadi aku yang harus panggil kamu Mas Taufik, ‘kan?” Metta lebih terlihat seperti menggoda, daripada bertanya. Taufik mengangguk malas. “Oh iya, Mas Taufik. Aku hanya ingin memastikan perihal tawaranku kemarin, Bagaimana sudah ada jawaban?” “Emm ... itu … maaf belum bisa saya jawab, Bu, eh, Metta.” “Katanya hanya minta waktu sehari lagi?” Metta menuntut. “Tapi saya belum selesaikan pembicaraan dengan istri saya, saya tak sampai hati bilang padanya. Lagipula maaf Bu, eh, Metta, saya tidak bisa mencintai kamu.” Taufik menunduk.  “Mas, cinta bisa tumbuh dengan sendirinya, seiring waktu yang terus berjalan. Kurang apa aku, Mas? Semua laki-laki di kantor ini memperebutkanku, tapi aku tahu mereka bajingan. Hanya kamu yang paling baik, enam bulan kamu kerja di sini. Aku perhatikan kamu sangat disiplin, lemah lembut, memperlakukan wanita dengan mulia. Kamu juga bijaksana, rajin ibadah, ah pokoknya kamu bisa membuat aku percaya lagi dengan cinta, setelah pernikahanku yang dulu gagal karena suamiku brengsek. Mas, aku tidak berniat merusak rumah tangga kalian. Justru aku menawarkan kebaikan yang banyak, kamu kan pernah bilang bahwa keluargamu terbelit masalah ekonomi. Aku tawarkan solusi, nanti aku yang penuhi semua kebutuhan keluargamu, kamu juga akan naik jabatan di perusahaan ini, bahkan kamu bisa mewujudkan keinginanmu untuk melihat istrimu berhenti bekerja, karena aku yang akan memenuhi semua kebutuhan ekonomi kalian, Mas.” Metta meyakinkan. “Tapi syaratmu terlalu berat, Metta. Aku tak sampai hati pada Alisa.” “Jadi kau pikir, menikah denganku adalah syarat yang berat?” Metta menunduk. Emosinya campur aduk. Sebetulnya sebagai wanita, ia malu harus berkata sejujur itu pada Taufik, tapi perasaan cinta di dadanya, terlalu hebat sehingga menguapkan rasa malunya. Yang ia ingin sekarang hanya Taufik mau menikahinya, tak peduli ia jadi nomer dua di hati Taufik, bahkan jadi nomer sepuluh pun sepertinya ia tetap mau. “Aku masih perlu waktu, dan aku tidak bisa berjanji. Maaf, aku harus pulang!” Taufik berjalan cepat meninggalkan Metta yang masih mematung, menahan butiran hangat di matanya, yang akhirnya terjatuh, dan semakin deras saat menyadari Taufik masih belum bisa menerimanya.  Beberapa hari yang lalu. “Mas, apa Mas nggak kasihan lihat aku? Kerja setiap pagi sampai jam tiga sore, Fina aku bela-belain titip di Ibu, tapi apa yang aku dapat, bahkan aku nggak punya tabungan sepeser pun. Mas enak, hanya memikirkan biaya hidup dan transportasi Mas, sama cicilan hutang Mas yang aku aja nggak tahu itu hutang kapan selesainya. Sedangkan aku harus mikirin kontrakan, mikirin biaya makan sehari-hari, bentar lagi Fina masuk PAUD, belum lagi Ibu dan adik-adikku, bayar listrik, air ....” Belum Alisa selesai bicara, Taufik memotongnya dengan nada agak tinggi. “Apa aku bilang? Wanita itu kalau kerja, kalau punya penghasilan sendiri, pasti sombong. Merasa dirinya lebih hebat dari suami, merasa suami nggak punya kebaikan apapun. Padahal aku bayar hutang ke Pakdeku, nyicil setiap bulan selama dua tahun belakangan ini, bekas apa? Bekas biaya persalinan kamu empat tahun lalu. Puluhan juta, karena caesar. Rawat inap berminggu-minggu karna kondisi kamu yang lemah. Bukan buat aku foya-foya, Alisa. Aku malu karena sudah terlalu lama tidak membayar hutang itu, mumpung sekarang penghasilanku agak lumayan jadi aku cicil. Tolong mengertilah, Alisa!” Taufik menghela napas. Alisa menangis tersedu-sedu, air matanya menganak sungai. Ia merasa menjadi beban. Tapi ia juga terbebani. “Jadi, aku pikir kamu lebih baik berhenti bekerja, dan fokus urus Fina. Mungkin dengan begitu, kamu bisa lebih menghargaiku sebagai suami, tanpa selalu membanding-bandingkan gaji.” Taufik melanjutkan pembicaraan dengan hati-hati. “Kalau aku berhenti bekerja, lalu bagaimana dengan kebutuhan keluarga yang biasanya terpenuhi oleh hasil gajiku, kamu jangan egois. Pikirkan solusinya!” jawab Alisa emosi. “Nanti aku pikirkan, yang penting kamu menuruti dulu keinginanku. Itu saja.” Taufik membuat keputusan. “Tidak bisa, rasanya lebih baik aku kehilangan kamu, daripada kehilangan pekerjaan.” Alisa menatap suaminya tajam, lalu pergi, menuju rumah Ibu untuk menjemput Fina. Hingga akhirnya, Alisa meminta dukungan Ibu dalam hal perceraian ini. Namun, seperti yang sudah diceritakan, Ibu tak pernah setuju tentang perceraian ini.  Malam ini, malam yang terasa sangat panjang, Alisa sulit sekali memejamkan matanya, begitu juga dengan Taufik. Mereka tidur saling membelakangi, ah lebih tepatnya pura-pura tidur. Walaupun aura dingin menyergap kedua tubuh di sisa hujan sore tadi, mereka tetap bergeming, gengsi untuk memulai lebih dulu. Padahal, sebetulnya rindu mereka saling berkejaran di dada. Malam tadi, sepulang dari tempat kerja, Taufik sudah menceritakan semua tentang Metta kepada Alisa, membuat Alisa semakin yakin dengan keputusannya untuk berpisah saja. Masalah rumah tangga mereka semakin rumit, complicated. Sebetulnya, pada mulanya, masalah mereka hanya urusan ekonomi dan pekerjaan Alisa. Ditambah dengan sedikit ego masing-masing yang membuat runyam. Alisa selalu meminta pengakuan dari Taufik, meminta sekedar penghargaan dari Taufik bahwa Alisalah yang banyak berperan dalam ekonomi keluarga. Gajinya sebagai Kepala Tata Usaha di sebuah sekolah terpadu sedikit lebih tinggi dari Taufik yang sering berpindah-pindah tempat kerja. Terakhir Taufik kerja di perusahaan ekspedisi yang mana Metta berposisi sebagai GM di sana. Baru enam bulan Taufik kerja di sana. Sedangkan Alisa sudah hampir tujuh tahun bekerja sebagai kepala TU. Setiap kali Alisa menginginkan punya tabungan sendiri dari hasil kerjanya, Alisa pasti menyampaikan pada suaminya, dan meminta suaminya bekerja lebih keras agar bisa mencukupi kebutuhan keluarga, semuanya. Alisa hanya ingin membantu yang kecil-kecil saja, karena ia masih harus menanggung kebutuhan Ibu dan adik-adiknya. Tapi setiap Alisa menyampaikan masalah itu baik-baik, selalu cekcoklah ujung-ujungnya. Selalu saja Taufik merasa posisinya sebagai suami dihinakan. Padahal sama sekali, Alisa tak bermaksud begitu. “Alisa, Sayang ….” Taufik membalikkan badannya, sehingga ia menyentuh punggung istrinya dari belakang. Tak ada jawaban. Alisa masih pura-pura tidur. “Maafkan aku sering menyakitimu. Tapi jujur, aku tidak pernah mencintai Metta. Aku hanya cinta sama kamu.” Taufik berbisik sambil memeluk Alisa dari belakang. “Bohong!” Alisa tak tahan untuk menjawab.  “Tuh kan, kamu pura-pura tidur ya? He-he-he.” Taufik menggoda. “Mas bohong! Mas mau kan menikah sama Metta? Karena dia kaya, dia bisa menjadi solusi, nggak kayak aku, cuma jadi beban saja.” Kali ini mata Alisa terasa panas dan berair. “Ssssttttt … itu nggak benar. Mas nggak pernah kepikiran nerima tawaran dia, kok. Mas nggak mau menduakan kamu.” “Oke, janji ya?” pinta Alisa. “Iya, Sayang. Kamu jangan minta pisah lagi ya, aku nggak sanggup mendengar itu lagi.” “Iya, tapi awas ya, kalau kamu mau menikahi Metta. Aku nggak akan kompromi lagi, aku langsung ke pengadilan, gugat cerai!” ancam Alisa. “Iya, iya.” Taufik mengeratkan pelukannya. Alisa menggeliat. Kali ini ia mulai terlena, lupa dengan pertengkaran-pertengkaran kemarin, ia terbawa dalam pelukan hangat suaminya. Alisa membalikkan badannya, wajahnya tepat berhadapan dengan suaminya. Napasnya hangat. Taufik membelai rambut Alisa, mengecup kening Alisa lembut, lalu pipinya, lalu bibirnya. Kali ini lebih lama, lebih dalam. Alisa menikmati setiap jengkal sentuhan suaminya, lalu malam itu mereka menuntaskan kerinduannya, Alisa merasa terbang ke langit ke tujuh. Sejenak, mereka pun lupa dengan kalimat perceraian.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices