Kepingan Hati Alisa

Reads
108
Votes
0
Parts
21
Vote
by Titikoma

Mawar Berguguran

“Alisa, aku sungguh-sungguh minta maaf, kemarin itu aku hanya emosi. Tidak ada maksud menuduhmu yang tidak-tidak.” Taufik meraih tangan Alisa, digenggamnya erat-erat, ia berharap Alisa mau membukakan pintu maafnya. Alisa tidak bergeming. Tatapannya hanya lurus ke depan, kosong, bukan menatap Taufik. Taufik tahu luka yang ia berikan menancap terlalu dalam di dasar hatinya. Bagaimana mungkin bisa disembuhkan dalam sekejap mata. “Alisa, tolong jawab aku. Aku ingin sekali menarik kata-kataku yang menyakiti hatimu kemarin, tapi sayangnya tak bisa. Semua sudah terlanjur. Sungguh, aku percaya padamu, Alisa. Aku percaya di dalam rahimmu ada anak kita, benihku, buah cinta kita.” Taufik mengguncangkan bahu Alisa sekilas, ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja. Jujur saat ini hati Taufik meradang, ingin rasanya ia putar kembali waktu. Ia sangat-sangat merasa bersalah. Ia ingin marah pada dirinya sendiri. Haruskah rasa cemburunya mengacaukan semuanya. Bagaimana mungkin mulutnya ini lepas kontrol sedemikian rupa, sampai ia mengatakan tidak yakin anak yang ada di dalam kandungan Alisa adalah anaknya. Itu sama saja ia menuduh Alisa berbuat nista. Tuhan, aku ini kenapa, Taufik membatin dalam hatinya. “Alisa, jawab aku! Sampai kapan kamu diam begitu? Aku tidak akan tenang sebelum kamu memaafkanku. Kamu masih menghargai aku sebagai suamimu, ‘kan?” “Hargai? Hargai kamu bilang!” Akhirnya Alisa membuka suaranya. “Bisakah aku menghargai orang yang tak bisa menghargai diriku, bahkan tak bisa menghargai dirinya sendiri!” Lanjut Alisa dengan kata-kata yang menusuk. Taufik hanya bisa pasrah apapun kemarahan yang akan diledakkan oleh Alisa. “Aku hanya tak ingin terjadi apa-apa denganmu, juga dengan anak kita. Kamu jangan terlalu banyak pikiran. Kandunganmu rentan.” Taufik mengelus pipi Alisa yang mulai basah dengan tangisan. Taufik ingin memberikannya kecupan, untuk sedikit saja menenangkannya. Ia betulbetul kehabisan cara untuk meminta maaf. Tapi, Alisa mendorongnya,  sepertinya ia begitu marah, sampai-sampai tidak mau disentuh oleh Taufik. “Ke mana saja kamu, baru bisa berkata begitu sekarang! Temui saja istri mudamu! Bukankah hanya dia yang bisa kau percaya?” Alisa masuk kamar. Dia membanting pintu. Sekejap Taufik bisa mendengar tangis Alisa meledak di balik pintu. Reyhan menyambut kedatanganku bagai menyambut kedatangan bidadari. Kulihat ia betul-betul menyiapkan rumahnya ini. Ia memasak, membersihkan rumah dan mempersiapkan semuanya seorang diri. Asisten rumah tangganya sedang izin mudik karena akan menghadiri pernikahan kerabatnya. Aku melihat Reyhan lebih tampan dari biasanya. Memakai baju kasual yang berwarna cerah, kulihat dia seperti aku melihatnya delapan tahun lalu, di kampus kami, sebagai seorang mahasiswa yang sedang samasama berebut beasiswa, juga sama-sama menjanjikan setia. Aduh, aku hampir tak berkedip memandanginya, Aldo menyikutku dari samping. Aku menunduk. “Jadi, begitulah ceritanya, Alisa.” Reyhan menghela napas berat. Aku memandang nanar sekelilingku, seperti memikirkan sesuatu yang berat. “Kak, dijawab, dong! Jangan bengong terus!” Aldo mengagetkanku, dia memang jadi tokoh utama terdamparnya aku di rumah Reyhan saat ini. “Aku bingung harus menjawab apa, Reyhan,” jawabku singkat. “Aku tidak ingin mengecewakan keluargaku, terutama Wa Asep, Kakak kandung almarhumah Ibuku, yang sangat mempedulikanku, dia seperti pengganti orang tuaku yang sudah tiada. Tapi aku juga ingin memastikan dulu padamu, Alisa. Jika memang sudah tak ada harapan itu untukku, aku akan pulang ke Bandung, memenuhi permintaan mereka.” Reyhan menatapku, seperti tak ingin kehilangan waktu sedetik pun. “Hmmm ... aku bingung, sangat bingung, Reyhan. Aku tidak ingin menjadi penghalang rencana keluargamu.” Aku memalingkan wajah sebisanya. “Bukan penghalang, sama sekali bukan. Keluargaku sudah tahu semuanya tentangmu, aku sudah menceritakannya. Justru mereka merasa kasihan terhadapku jika aku terus menunggu sesuatu yang tidak pasti. Tapi jika kamu mau kembali padaku, percayalah, mereka akan menerimamu. Biarkan Fatma memilih jalannya sendiri.” Reyhan menjelaskan. Fatma adalah sepupu Reyhan, gadis bungsu Wa Asep. Dia bersedia menikah dengan Reyhan jika aku sudah tak bisa diharapkan lagi. “Tapi aku masih menjadi istri Mas Taufik. Aku juga sedang hamil anak kedua kami,” ucapku pelan. Kebingunganku memuncak, aku tahu ini  pasti terakhir kalinya Reyhan memintaku. Aku harus segera memutuskan, menerima atau mengikhlaskan. “Aku tahu semua penderitaanmu saat ini, Aldo sudah cerita semua padaku. Aku tidak rela, Alisa. Aku sakit jika kamu sakit. Aku menderita jika kamu menderita. Sampai saat ini, aku tidak habis pikir kenapa Mas Taufik yang dulunya baik dan santun, tega memfitnah kita melakukan pengkhianatan.” Aku kaget. Aku menduga Aldo saat itu menguping pembicaraanku dengan suamiku. Ah, anak ini! “Mereka menunggu keputusanku. Keputusan kita.” Reyhan menegaskan. Aku kebingungan. Otakku buntu memikirkan ini. Aku meminta waktu berpikir sendirian saja, aku merenung di halaman belakang rumah Reyhan yang indah. Aku berjalan-jalan kecil mengelilingi sudut-sudut taman. Aku mencium harum bunga-bunga yang bermekaran. Ah, Reyhan memang luar biasa. Dia adalah pria penyayang, bukan hanya pada manusia, tapi juga pada setiap bunga-bunga yang ia rawat. Kupetik satu bunga mawar, kucium wanginya dalam-dalam, aku berkata lirih dalam hati. Mawarku, bantu aku memutuskan ini! Mawar menatapku seperti tersenyum, seakan ia ingin mengatakan ‘Ambil lah peluang ini, Alisa. Kamu berhak bahagia.’ “Mawarnya indah ya, Alisa?” Suara lembut itu cukup mengagetkanku. “Reyhan, maaf aku memetiknya satu.” Aku menunduk malu. Aku grogi. Jantungku berdetak keras. Bagaimana tidak, Aldo tidak ada di sini, dia entah ke mana, pastilah sengaja dia ingin membiarkanku berdua saja dengan si Aa Reyhan yang ia idolakan ini. Lagi-lagi anak itu! “Silahkan, Alisa. Ambillah sebanyak yang kamu mau, jangankan mawar ini, jika kamu mau, hatiku juga boleh kamu ambil. Bawa pulang, jangan sampai ia berkeliaran lagi tanpa tujuan.” Reyhan tersenyum semanis yang ia bisa. Aku tak sanggup menatapnya. Aku takut tak bisa menahan perasaan ini. Biar bagaimanapun, aku masih menjadi istri orang lain. Aku mengandung anak suamiku. Aku juga tiba-tiba teringat Ibu. Aku ingin tetap menjalankan amanatnya agar aku tak bercerai dalam kondisi hamil seperti ini. Sepedih apapun, sekuat yang aku bisa, aku harus bertahan. Dari sisi lain, aku tak mau membiarkan Reyhan hanya menjadi pelarian cintaku. Aku pernah mencintainya dengan tulus. Aku ingin jika aku menerimanya adalah semata karena ketulusan cintaku, bukan karena menyerahnya aku pada kepahitan hidup yang kujalani. Aku tak ingin Reyhan harus mendapat ampas kehidupanku. “Reyhan, aku minta maaf,” ucapku pilu. “Kenapa Alisa?” “Aku sudah memutuskan.” Kuhela napas yang berat dan tersengal. Aku melihat wajahnya menegang. “Aku mengikhlaskanmu, nikahilah Fatma. Semoga Allah meridhoi kalian.” Mawar di tanganku terjatuh. Berguguran. Senyum mawar itu hilang. Langit meredup. Awan bergerak menjauh, membawa segenap rasa yang tertahan, membawa sekeping hati yang teriris, dan dia merenggut sebuah harapan. Senyum Reyhan padam. Ia mengangguk lemah.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices