Sinopsis
Tertulis kisah ini dengan melafazkan nama-Mu juga terbingkailah namanya. Berharap mega tak menutup pandangannya, menatap seseorang dalam saujana. Ada janji, ada setia, ada cemburu, ada ambisi yang terlebur menjadi satu cinta dalam arung kehidupan. Setiap jangkah kakinya terlukis harapan, uraian tentang sebuah cita. Namun, cinta harus ditinggalkannya, bersabar hingga restu dan jodoh itu ada. Dalam janjinya, ucap tanpa paksa pada diri gadis bernalam setia. “Aku menunggumu, janjimu, juga harapan kita.” dia berimajinasi dan bemonolog terhadap bayang semu setiap sepertiga malam yang sunyi. Berharap hujan datang September nanti, takkan melepaskannya lagi dalam ikatan suci. Dan dari sinilah kisah itu bermula… --Vara Isnaini Fauziah-- @Bukit Golf Mustika Raya Awan masih menyelimuti senja ini, jingga tertutup kelabu, tetesan hujan masih saja menyejukkan hati sejak September lalu. Mulanya, hanya gerimis yang membasahi pelataran, namun kini hujan sederas rindunya. Sekarang Amri yang mengusik pikirannya, bukan lagi Imran yang melukainya. Vara sadar, hujan yang telah menyatukan mereka. Walau belum pernah bertemu, namun ia tahu cinta sedang disemaikan oleh rintik hujan yang menemaninya saat ini. Edelweiss keabadian yang akan berbicara soal takdir, sebagaimana yang telah Dia gariskan. Walaupun kasih itu berbatas jarak sekali pun, cinta akan tetap bersemi, bersemayam di bilik hati. ‘Subhanaallah, kutemukan kamu atas restu-Nya, hingga saat ini.’ Gumam hati itu memantapkan setiap langkah kakinya menghapus kenangan Imran yang telah ia lalui. ‘Aku tak membenci senja, namun hujan yang menyapaku September lalu membuatku sadar apa arti cinta yang sesungguhnya. Bukan di mata manusia kita akan dianggap pantas dicintai, namun di hadapan-Nya-lah takdir telah menanti.’ Vara memejamkan mata, menghirup wangi petrichor yang menebar sejuk khas sisa hujan membasahi rerumputan di sekelilingnya. ‘Jadilah kamu udara yang selalu kuhirup hingga nanti aku kembali pada-Nya.’ --Muhammad Amri Fadillah-- @Kompleks Sabilul Hidayah, Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin. Amri mencintai senja, sebagaimana bumi mencintai langit-Nya. Namun, senja memudar berganti malam, haruskah dia meragu untuk memilikinya? Bidadari Nirmala. Hujan Desember kali ini, menyemai cinta gelitik hati, atau renjana berubah menjadi racun mematikan tersebab jarak yang memisahkan? Langit senja masih menyihir netra khayalnya bersama rintik hujan yang hadir seiring langkah kakinya menuju pesantren. Tatapannya mengarah pada langit merah saga, mengurai harapan yang ingin direngkuhnya. Wisuda tahun ini. ‘Aku janji, setelah wisuda nanti akan menemuimu di Blora sana, seperti ucapku tempo hari, Vara.’ Gumam hatinya seraya senyum terulas manis di bibirnya. Ada lembaran kertas yang bertebaran di mejanya. Bait-bait romantis yang ia ciptakan ketika rindu itu serupa racun yang bisa saja merengkuh napas terakhirnya. Seperti saat ini pun, untaian cintanya hanya bisa tertuang di secarik kertas yang ia sembunyikan dari teman-temannya. ‘Hanya aku dan Allah yang tahu bahwa aku menyimpanmu di hatiku. Ada banyak kata yang ingin terucap. Namun kurasa sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk itu, aku masih harus memenuhi kewajibanku di sini. Menjadi imammu, satu janjiku yang sekarang malah membuatku takut untuk melangkah, takut di kemudian hari menyakitimu. Takut untuk merefleksikan cinta secara salah. Biarlah aku memantaskan diri di hadapan-Nya. Karena aku mencintaimu karena dan atas takdir-Nya.’ Kembali hati itu bermonolog dengan bahasa cinta yang ingin diungkapkan pada seseorang yang jauh darinya. ‘Aku yakin, Tuhan sedang merencanakan hal indah untuk rasa ini.’ Munajat sunyi bersama ayat-ayat rindu terlantun manis di keheningan malam. Meretas ridha-Nya memiliki rasa yang bernama ‘Cinta’.