
by Titikoma

Merah Padam
Penawaran rumah dari Metta ditolak secara baik-baik oleh Alisa. Alisa memilih untuk tetap tinggal di rumah peninggalan orang tuanya. Ia tidak tahu lagi caranya menikmati hidup di tengah kegundahannya saat ini, selain tetap berada di tengah keluarganya, yaitu anaknya dan adik-adiknya yang sangat membutuhkannya. “Kak, Aldo mau tanya sesuatu, boleh?” Aldo menggeser duduknya sedikit lebih dekat kepada Alisa. Alisa tidak terlalu bergeming, rupanya ia sedang asyik nonton acara masak di televisi. “Ih, Kakak! Aldo mau tanya serius!” Aldo sedikit teriak. “Hemmmm … ada apa, Aldo. Kakak lagi serius, nih,” jawab Alisa sambil matanya tetap serius ke depan. “Itu, Kak. Tentang Aa Reyhan.” Aldo sedikit ragu-ragu. Ia sangat berhatihati sekali membicarakan hal ini. Ia memang mulai dekat dengan Reyhan belakangan ini. Aldo sangat menyukai sifat Reyhan yang rendah hati tapi tetap berwibawa. Aldo juga ingin bersahabat dengan Reyhan, karena ia sudah lama merindukan figur laki-laki setelah kepergian ayahnya, adapun Taufik, kakak iparnya itu, jarang sekali memiliki waktu untuk berbicara dengannya. “Apa, Aldo? Kamu panggil Reyhan, Aa? Lucu sekali.” Alisa tersenyum renyah. “Ya. Karena dia orang Bandung, katanya daripada dipanggil Mas atau Abang, dia lebih senang dipanggil Aa.” “Uhm … kamu kenapa tiba-tiba tanya tentang dia?” Selidik Alisa. “Kemarin dia datang ke sekolahku, Kak.” “Ngapaiiiinnn?” Kedua Alis Alisa terangkat. Heran. “Aa Reyhan pengen ngobrol sama aku. Dia cerita banyak tentang caranya mencapai kesuksesan. Dia juga ceritain pengalaman-pengalamannya dari kecil, sampai bisa ke Malaysia seperti apa. Berdarah-darah katanya, Kak. Hehehe.” Aldo tersenyum. Alisa ikut tersenyum dalam hatinya. Betapa tidak, dia sudah lama mengenal Reyhan. Sosok lelaki cerdas yang gigih memperjuangkan masa depan. Janjinya pada Alisa bahwa dia akan berani melamar Alisa hanya jika dia sudah kembali lagi ke Indonesia dalam keadaan sukses. Janji itu dibuktikannya. Selama bertahun-tahun tinggal di Malaysia, Reyhan tak pernah tergoda oleh lain hati. Dia tetap setia pada Alisa, bahkan sampai kini ketika Alisa sudah menikah, lalu sudah … ah, dipoligami! “Iya, Aldo. Dia memang pejuang kesuksesan. Sikapnya perlu kamu contoh, sebentar lagi kamu lulus sekolah, lanjutkan kuliah, lalu kejar impianmu, sampai jadi orang!” Alisa menasihati adiknya. “Emangnya sekarang Aldo bukan orang?” “Bukan, sekarang kamu masih orang-orangan sawah.” Alisa tertawa geli. “Ishhh, Kakak. Aldo ngefans sama Aa Reyhan. Udah cakep, pinter, baik hati dan tidak sombong. Satu lagi, dia pantang menyerah.” Aldo tersenyum penuh arti. “Termasuk dalam hal cinta!” Lanjut Aldo mendelik ke arah kakaknya. Alisa kaget sekaligus malu. Pipinya memerah. Ia tahu Aldo menyindirnya “Eh .…” Alisa mencubit Aldo “Kenapa Kakak nggak mau balik ke Aa Reyhan?” Aldo mulai memasang wajah serius “Kamu ini bicara apa? Kakak udah punya suami.” Alisa menjawab dengan ragu. “Aku tahu Kakak menyembunyikan perasaan Kakak. Sudahlah, Kak. Kesempatan tidak datang dua kali. Suamimu telah berubah, bukan lagi Mas Taufik yang dulu. Dia sudah membagi cintanya, bahkan terlihat tidak adil!” Alisa tersentak kaget. Berani sekali Aldo berkata begitu. Bukannya dia masih anak kecil? “Jangan pikir aku masih kecil, Kak. Aku sudah mengerti tentang hal itu,” kata Aldo seolah membaca apa yang dipikirkan kakaknya. “Sudahlah, Aldo. Kamu belajar saja yang serius, ya. Jangan pikirkan tentang Kakak. Kakak bisa memilih jalan hidup Kakak sendiri,” kata Alisa tegas. “Sesekali kita harus mendengarkan pendapat orang lain untuk keseimbangan hidup, sekalipun pendapat itu keluar dari mulut anak kecil!” Aldo berbicara penuh makna. Alisa termenung. Diam-diam Reyhan melintas dalam bayangannya. Sangat dekat. Sikap Taufik berubah drastis semenjak ia menyaksikan Reyhan bersama Alisa sore itu. Cemburu buta membuatnya tidak bisa bijaksana. Ia mulai menyiksa batin Alisa dengan ketidakadilan. Jatah waktunya untuk Alisa sering ia langgar. Bahkan Metta seperti mengambil peluang, memanasmanasi Taufik agar cemburunya semakin liar. Alisa merasakan perubahan itu. Namun, ia tak terlalu peduli. Sekarang ia lebih memilih berdamai dengan keadaan. Ia sibukkan diri dengan pekerjaannya, juga tulisan-tulisannya. Ia senang sudah ada penerbit yang mau melirik karyanya. “Kenapa kamu nggak minta antar saja sama si Reyhan itu? Bukannya dia perhatian sekali padamu?” Kata Taufik kecut. “Astaghfirullah! berapa kali aku harus bilang, Mas? aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Reyhan. Sebatas teman!” “Teman tapi mesra. Setiap sore dijemput. Berduaan. Apa itu namanya teman?” Taufik semakin tidak karuan. “Tidak, Mas. Jangan fitnah aku!” “Bukan fitnah, tapi fakta. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri” Taufik menunjuk matanya. Alisa mencoba mengingat kejadian sore itu. “Oh, sore itu. Hanya satu kali, Mas. Itupun kebetulan saja. Reyhan melihatku menunggu angkot, lalu dia mengajak bareng. Spontan saja itu, Mas.” Alisa menjawab tudingan dengan sejujujur-jujurnya. “Aku tidak percaya. Pasti ada yang kamu sembunyikan dari aku.” Alisa menunduk, bukan karena dugaan Taufik itu benar, tapi karena ia kecewa Taufik menuduhnya membabi buta seperti ini. Kristal bening mengisi sudut matanya. “Tidak, Mas. Aku selalu menjaga harga diriku sebagai istrimu.” Taufik menggeleng, penuh amarah dan kecurigaan. Rupanya api cemburu membakar akal sehatnya. “Baiklah, Mas. Kalau kamu tidak mau mengantarku periksa kandungan bulan ini, tidak apa-apa, aku sendiri saja. Tapi dari sini aku bisa menyimpulkan, rupanya kamu sudah tidak peduli lagi dengan anakmu ini.” Alisa mengelus perutnya yang masih kecil, karena kandungannya baru memasuki usia tiga bulan. “Anakku? Aku tidak yakin!” seru Taufik seperti meledakkan tangis istri pertamanya itu. “Allahu Akbar! Tega kamu menuduhku. Demi Allah aku berani bersumpah, aku tidak serendah yang kamu kira!” Alisa menghujankan tangis dari kedua matanya. Kata-kata suaminya menghunjam jantungnya. Alisa tak menyangka Taufik berani berkata demikian. Oh, Ibu, aku rindu, aku tak tahu harus bertahan sampai titik mana, menjalankan wasiatmu ini sungguh berat, Ibu. Alisa membatin. Taufik mematung di hadapannya. Bicara apa aku tadi, astaghfirullah. Batin Taufik bergejolak, ia menelungkupkan kedua tangan di wajahnya yang merah padam karena amarah.