Kepingan Hati Alisa

Reads
117
Votes
0
Parts
21
Vote
by Titikoma

Inikah Cemburu?

Di Bandara Soekarno-Hatta, Taufik dan Metta berjalan bergandengan dengan mesra. Mereka baru saja pulang dari honeymoon di Pulau Dewata Bali. Langit sore terlihat mendung, Taufik segera memesan mobil taksi untuk mengantar mereka pulang. “Honey, malam ini aku giliran ke rumah Alisa, jadi kamu di rumah berdua sama Bi Tinah dulu, ya?” Bi Tinah adalah asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumah Metta. Taufik menatap istri mudanya itu dengan penuh harap-harap cemas, takutnya Metta merajuk dan tidak menerima. Betul saja, Metta tidak lekas menjawab. Ia malah mengerucutkan bibirnya, membuang pandangannya ke kaca mobil yang mulai buram dengan butiran-butiran gerimis di sepanjang perjalanan. “Tapi aku ini kan lagi kurang enak badan, Mas. Masa ditinggal, sih!” Metta membuka suaranya. “Sebetulnya aku juga tidak ingin meninggalkanmu, Honey. Tapi kita sudah melewati batas perjanjian, kan kita sudah sepakat dengan Alisa, bahwa aku gantian menemani kalian. Seminggu bersamamu, dan seminggu bersama Alisa. Ini kita sudah sembilan hari loh, aku nggak enak sama Alisa.” Taufik menjabarkan secara hati-hati. “Hmmmm, ya sudah!” jawab Metta singkat. Raut kecewa tidak bisa disembunyikan dari wajahnya. “Kamu tambah cantik kalau lagi cemberut. Hati-hati, nanti banyak yang naksir loh.” Taufik menggodanya. “Sudah sejak lama, Masku sayang. Baru sadar ya?” Metta tertawa renyah. Pipinya tentu sudah kemerahan. “Jangan. Jangan terlalu cantik ah, aku nggak siap kamu diambil orang.” Taufik mengikuti tawa Metta, sejurus kemudian meremas tangan Metta di bangku belakang mobil itu, mereka bertatapan, Taufik hendak mengecup bibir Metta. Metta menahan bibir Taufik dengan telunjuknya. “Sssttt jangan diterusin. Kasian abang supir, takutnya dia jomblo.” Metta tertawa. Supir yang dari tadi asyik menyetir mobilnya, tiba-tiba menengok ke belakang sambil tersenyum simpul. “Pasti pengantin baru.” bisiknya sambil tertawa kecil.  Alisa mencoba menenangkan dirinya, menahan jantungnya yang sedari tadi berdebar tak keruan. Sore tadi Taufik mengabarinya via telepon bahwa malam ini ia akan pulang. Seharusnya Alisa marah karena Taufik sudah bablas tidak menepati pembagian waktunya dengan Metta. Dia sudah menunggu sejak dua hari kemarin, tapi sayangnya yang ditunggu malah keasyikan berbulan madu. Uh! Alisa kesal dengan perasaannya sendiri. Antara benci dan rindu menyergapnya. Harusnya ia tak usah menyambut Taufik, tapi apalah dayanya yang juga seorang wanita biasa, sudah dua bulan ia tidur sendirian semenjak ia memutuskan kembali ke rumah almarhumah Ibu di sini, dan Taufik tetap tinggal di kontrakannya. Sekarang rumah kontrakan itu sudah tidak disewa lagi. Alisa tinggal seterusnya di rumah Ibu bersama anaknya dan kedua adiknya, dan Taufik pulang secara bergiliran ke rumah Metta atau ke rumah ini. Alisa mematutkan penampilannya di cermin. Ia sedikit memoles wajahnya dengan bedak tipis. Biar bagaimanapun, naluri biologisnya mengharapkan Taufik akan memperlakukannya sama seperti perlakuannya terhadap Metta di malam-malam kemarin, atau kalau bisa lebih dari itu. Ah, kenapa aku jadi kacau begini? Bentak Alisa dalam hati Kamu harusnya marah, Alisa! Marah dong! Taufik pasti tidak bisa adil, dia pasti lebih mencintai istri mudanya, jangan kasih dia hati. Kamu sudah habiskan air matamu secara sia-sia seminggu kemarin, masa sekarang tiba-tiba jinak. Kamu harus jutekin dia malam ini. Jual mahal lagi lah sedikit! Ceracaunya dalam hati. Tiba-tiba terdengar teriakan bahagia dari Fina di ruang tamu. “Horeeee, Ayah pulang!” Alisa bergegas keluar kamar, dilihatnya Taufik betul-betul sudah datang. Suaminya itu sedang menggendong Fina, putri kecilnya, sambil menenteng oleh-oleh mainan yang begitu banyak. Tampaknya Taufik betul-betul memenuhi janjinya untuk tidak membuat Fina menjadi ‘yatim’. Taufik hari ini sangat berbeda. Terpancar dari sorot matanya, ketulusan dan kasih sayangnya kepada Fina. Saat melihat Alisa keluar kamar, dilepaskannya Fina dari pangkuannya, Taufik mendekat ke arah Alisa. “Assalamu’alaikum, Alisa sayang.” Taufik menatapnya, sejurus kemudian mengecup kening dan kedua pipinya. Memeluknya dengan erat, tangannya naik turun di punggung Alisa, mengelus-elusnya. Sejenak getaran hebat itu merasuki tubuh Alisa. Bagaimana mungkin dia akan pura-pura jutek, sedangkan tubuhnya tak bisa menyembunyikan keinginannya. Rasa benci dan rindu kembali berdesakan di kepalanya. Tumben Mas Taufik agresif begini! Batinnya. Pasti dapat ilmu baru dari Metta. Huh “Kok malah diam? Salamku nggak dijawab, nih?” Taufik menatap dua bola mata Alisa yang berkaca-kaca. “Eh iya, wa’alaikumssalam, Mas,” jawab Alisa. Taufik tersenyum manis, tanpa rasa bersalah sama sekali. Ajaib. Dia terlihat sangat cool dan tampan. Malam ini Alisa semakin merasakan pesona magis dari suaminya. Laki-laki ini memang begitu membahayakan wanita. Pantas Metta dibuat tergila-gila olehnya. Duhai angin malam yang berembus berirama, sisakan gerimis untukku, aku ingin membasuh tubuhku yang telah kepayahan karena cintanya, ia kembali memikatku, aku tak akan pernah bisa menahan napas yang bergejolak ini, aku kembali jatuh cinta padanya.  “Aku tak pernah menyangka takdir akhirnya membawa kita ke sini, Sayang.” Taufik mengeratkan pelukannya di tubuh Alisa. Di atas tempat tidur di rumah Ibu ini, dulu mereka pernah menjadi sepasang pengantin baru. Kenangan indah melintas di ingatan keduanya. “Mana pernah ada di dalam anganku harus membagi cinta seperti ini, Sayangku.” Taufik menekan-nekan dadanya. Ia melanjutkan kata-katanya. “Di sini, di dada ini selalu ada cinta yang begitu besar untukmu. Tahukah, ketika dulu kamu selalu menyebut-nyebut kata cerai, dada ini terasa perih, aku tak siap dan tak akan pernah siap berpisah darimu.” Taufik mengelus punggung Alisa, desiran hangat Alisa rasakan membuatnya ingin terbang ke atas awan. “Ketika kamu meninggalkanku seorang diri di rumah kontrakan kita, setiap malam aku tersiksa, merindukanmu, saat itu aku sama sekali belum berpikir akan menikahi Metta, yang kupikirkan hanya kamu.” “Mas, apakah sekarang kamu sudah mencintai Metta?” Tiba-tiba pertanyaan Alisa seperti suara petir di siang bolong, Taufik menggombal, Alisa malah menyelidik. “Aku berusaha mencintainya, karena sekarang dia juga istriku.” Taufik menghela napas. “Tapi tak akan pernah sama, kamu cinta pertamaku, Alisa.” “Iya, Mas. Sudah kubilang, adil itu tidak harus sama.” Alisa tersenyum. Taufik menghujani Alisa dengan ciuman hangat. Berlanjut pada sentuhan-sentuhan sensual. Ah, akhirnya mereka saling menuntaskan kerinduannya malam itu.  Perjanjian waktu masing-masing seminggu itu terasa bias, karena Metta tetap bisa bertemu dengan Taufik di tempat kerja, kadang mereka tetap menghabiskan waktu berduaan walaupun di jam kerja, Metta menang banyak dalam hal ini. Alisa tidak terlalu ambil pusing, ia selalu mencoba berbaik sangka pada keadaan. Ia percayakan cintanya pada suaminya. Setiap kali ia merindukan suaminya, ia mengelus-elus perutnya, ada buah cinta mereka di sana. Alisa sekarang sudah sedikit lebih santai, seorang asisten rumah tangga dikirimkan Metta untuk Alisa, namanya Mbok Darmi. Sebetulnya Metta inginnya mengabulkan keinginan Taufik agar Alisa resign dari tempat kerjanya, sesuai janjinya Metta mencukupi segala kebutuhan Alisa dan keluarganya. Tapi ternyata Alisa tidak mau berhenti bekerja, ia tetap kukuh pada pendiriannya. Baginya pekerjaan itu sudah menjadi jiwanya, lagipula dia bukan tipe orang yang senang ongkang-ongkang kaki. Dia pekerja keras. Di sela-sela waktu istirahatnya juga, Alisa meluangkan waktu untuk menulis. Ya, baginya menulis itu mengabadikan pemikiran. Dia senang dengan hobinya itu. Sore itu, hujan mengguyur kota Jakarta, Alisa pulang kerja sudah lewat dari jam lima sore, karena tadi ada sedikit urusan mendadak dengan stafnya. Baru saja dia keluar gerbang sekolah, berniat segera mencari kendaraan umum untuk pulang, tiba-tiba suara klakson mobil menghentikannya. Kaca mobil diturunkan perlahan, tampak wajah yang tak asing bagi Alisa. “Reyhan?” Alisa bergumam pelan. “Alisa, ayo pulang bersamaku! Hujan terlalu besar, jangan naik kendaraan umum, kebetulan tujuanku searah dengan rumahmu.” Reyhan sedikit berteriak, agar suaranya tak kalah oleh derasnya hujan. Reyhan membuka pintu mobilnya, ia turun dan meraih payung yang dipakai Alisa. Alisa tak kuasa menolak, lagipula hujan sudah sangat deras, dan angkot belum terlihat ada yang lewat. Alisa mengangguk. “Terima kasih, Reyhan,” kata Alisa menerima tawaran baik Reyhan. Lalu Reyhan membimbing Alisa menuju mobilnya. Dari kejauhan, ada dua pasang mata yang sedang mengamati mereka. Dialah Taufik dan Metta, yang tadinya hendak menjemput Alisa, mereka akan membicarakan perihal rumah baru yang dibeli Metta untuk Alisa. Taufik berdecak kesal. Memandang tajam ke arah Alisa dan Reyhan, amarahnya memuncak. Dipukulnya dengan keras setir mobil yang ada di depannya. Kali ini, untuk sebuah alasan yang tidak begitu jelas, entah kepada siapa dan untuk hal apa, Taufik merasa marah, sangat marah.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices