
by Titikoma

Kehilangan Tiga Cinta
Sekitar pukul sembilan malam, Alisa sadarkan diri. Saat ia membuka matanya, sekelilingnya berwarna putih. “Di mana ini?” Ia bergumam pelan. “Tenang Kak, ini di rumah sakit. Kakak sudah mendapatkan perawatan terbaik,” jawab Aldo. “Ya Allah ... apa yang terjadi denganku?” Alisa mengingat sesuatu. Tergambar jelas dalam pikirannya kejadian sore tadi. Saat ia menelepon suaminya, ia ingin mengabarkan tentang kondisi kesehatannya yang menurun. Semenjak pulang dari rumah Reyhan dengan kondisi hujan-hujanan, Alisa jatuh sakit. Demam menggigil ia rasakan setiap malam. Kadang-kadang dibarengi dengan perutnya yang tiba-tiba sakit. Belum lagi, sakit pikiran yang ia rasakan. Perhatian suaminya yang seolah sudah menghilang perlahan-lahan. Entah apa yang diinginkan Taufik saat ini. Sekali waktu ia bisa menjadi sosok jahat yang mengerikan, menjelma jadi laki-laki yang sering mengumpat dan berkata kasar, tapi lain waktunya ia memohon-mohon untuk dimaafkan, lalu bersikap lemah lembut lagi seperti orang kasmaran. Alisa bingung dengan kondisi ini. Pertanyaan besar di benaknya, apakah poligami harus membuat laki-laki kehilangan jati dirinya seperti itu? Assalamu’alaikum, Mas. Bagaimana keadaanmu? Apa sudah hilang keinginanmu untuk mengetahui kondisiku? Aku tiga hari ini sakit demam, Mas. Belum lagi perutku yang sering sakit. Boleh aku minta waktumu besok pagi? Antar aku ke dokter, aku mau periksa kandungan. Chat sore itu tidak berbalas. Alisa penasaran. Dengan gemetar, ia tekan nomor ponsel suaminya, terdengar nada tunggu. Tidak diangkat. Diulangnya lagi, sampai tiga kali, tetap tidak diangkat. Ia tidak menyerah. Air matanya mulai menggenang. Apakah begini rasanya tidak diharapkan. Alisa kembali menghubungi nomor ponsel suaminya. Mungkin kali ini untuk terakhir kalinya ia menelepon. Kalau tidak diangkat juga, dia tidak akan mencoba lagi. Akhirnya diangkat. “Maaf, Mas Taufik sedang sibuk. Sedang ada rapat direksi. Tolong jangan mengganggu!” Klik. Sambungan dimatikan. Suara wanita itu terngiang-ngiang di telinga Alisa. Ia hafal suara itu dengan jelas. Ya, itu suara Metta. Pedih menelisik jiwanya. Sekeping hati yang kembali terluka. Ia merasa tidak berguna lagi. Emosinya hancur berantakan. Ia kepalkan tangan, dipukulnya berkali-kali bantal-bantal yang ada di tempat tidurnya, ia tak tahu harus bagaimana lagi meluapkan setiap amarahnya. Apa hanya kamu yang boleh cemburu, Mas? Alisa berteriak memandangi potret pernikahannya yang terpajang manis di dinding kamarnya. Ia mengambil bangku lalu dinaikinya, ia hendak menurunkan potret pernikahannya itu, sedetik kemudian ia kehilangan keseimbangan. Bangkunya terguling. Ia ambruk. Perutnya sakit. Darah mengucur dari rahimnya. Ia meminta bantuan. “Aldoooo Aldoooo ….” suaranya melemah. Aldo segera masuk kamar, dan mendapati kakaknya tak sadarkan diri. “Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, Bu. Padahal kami sudah berusaha maksimal, tapi Allah berkehendak lain.” Dokter cantik berhijab itu mengelus-elus punggung Alisa. “Ya, Dok. Saya ikhlas.” Alisa tidak kuasa menahan tangisnya. Ia menghambur ke pelukan sang dokter. Kesedihannya terasa maksimal. Di waktu bersamaan ia kehilangan tiga cintanya, cinta dari Reyhan sang cinta pertamanya, cinta dari Taufik suaminya, dan juga dari … janin yang dikandungnya, calon anak kedua yang kini mendahuluinya ke surga. Di sebuah desa kecil di Bandung, kedatangan Reyhan disambut keluarganya dengan begitu gembira. “Akhirnya, kamu kembali, Nak!” Seru Wa Asep sambil menepuk-nepuk punggung Reyhan, ia tertawa sumringah. “Segera mup on atuh, Aa. Jangan mikirin si itu terus. Dia mah udah punya suami. Tuh liat Teh Fatma jauh lebih cantik, pinter lagi. Kembang desa lah dia mah. Moal hanjakal [1], Aa nikah sama dia mah,” kata Adit dengan logat sundanya yang khas. Move on aja jadi mup on. Reyhan membalas dengan senyuman. Fatma menyambut di depannya. Ia menyalami Reyhan, calon suaminya. “Aa Reyhan sehat, ‘kan? Kelihatannya cape pisan.” Fatma memperhatikan wajah calon suaminya yang nampak layu. Walaupun secara struktur kekeluargaan, Reyhan adalah adik sepupu Fatma, tapi dari kecil Fatma sudah terbiasa menyebut Aa karena perbedaan usia, Reyhan empat tahun lebih tua darinya. Reyhan juga terbiasa memanggil Fatma dengan panggilan khusus ‘Neng’. “Alhamdulillah, Aa baik-baik saja, Neng.” Fatma tersenyum manis sekali. “Alhamdulillah, Aa.” Reyhan duduk dengan santun. Wa Asep dan Fatma kini berada di hadapannya. “Neng Fatma, kamu sudah siap, ‘kan?” Reyhan menatap Fatma dengan lebih serius. “Siap apa, Aa?” “Minggu depan kita menikah,” jawab Reyhan yakin. Fatma tersipu malu. Ia mengangguk penuh arti. Wa Asep memeluk Reyhan, dihujaninya ia dengan ucapan hamdallah, ucapan terima kasih kepada Allah yang Maha membolak-balikkan hati. “Semoga kamu segera mencintai anak kami sepenuh hati, Reyhan,” bisik Wa Lilis, ibunda Fatma yang sedari tadi berdiri di belakang Reyhan. “Insya Allah,” jawab Reyhan. Bunga-bunga mawar di halaman belakang rumahnya di Jakarta tiba-tiba seperti berjatuhan di rumah ini. Bunga yang indah menggambarkan kebahagiaan menuju pernikahan. Namun, ada satu bunga yang tampak layu di antara bunga yang lain, dan bunga itu adalah bunga mawar milik … Alisa. Taufik baru menghidupkan ponselnya sekitar setengah dua belas malam. Aktifitas hari ini begitu padat, semenjak naik jabatan, ia betul-betul kewalahan mengatur waktu. Belum lagi, membagi waktu untuk kedua istrinya dengan adil, itu sangat sulit dilakukannya. Ia sangat kaget saat membuka pesan-pesan yang berebutan masuk. “Ya Allah,” gumamnya sendiri. Suami macam apa dia, yang tak pedulikan istrinya yang sedang berjuang dalam kondisi kritis. Taufik memandangi wajahnya di cermin. Masih pantaskah aku disebut lelaki, Alisa? Batinnya perih. “Mas, sedang apa?” tanya Metta tiba-tiba. “Hmmm itu, Alisa keguguran. Aku baru aktifkan handphone ku, ternyata banyak pesan masuk dari Alisa dan Aldo. Aku sedih sekali, belakangan ini aku merasa begitu jahat pada Alisa. Aku jarang sekali mempedulikannya. Sekarang aku kehilangan calon anak keduaku,” jawab Taufik sambil tak bisa menyembunyikan kesedihannya. “Ya ampun, kasihan sekali Alisa. Bagaimana kondisinya sekarang? Tadi sore dia memang menelepon ke handphonemu, tapi kita sedang rapat direksi. Jadi aku nggak bilang sama kamu, Mas.” “Ya, semua sudah terjadi. Kita tidak bisa membalikkan keadaan. Sekarang kita ke rumah sakit,” ucap Taufik. “Sekarang? Hampir tengah malam begini? Nggak akan boleh masuk sama security, Mas. Besok pagi saja ya sebelum kita ke kantor. Sekarang biar aku telepon Alisa untuk menjelaskan.” Taufik mengangguk pasrah. Wibawanya seolah hancur dan menguap entah kemana. Ia sendiri tidak tahu pasti, mengapa semenjak menikah dengan Metta ia menjadi lelaki yang sulit menentukan sikap. Metta selalu mendominasi. Dilihatnya Metta menekan nomer ponsel Alisa, ia berbicara sesuatu, Taufik tak lagi tertarik memperhatikan. Ia berbaring di tempat tidur, dibenamkannya wajahnya di bawah bantal. Ia berpikir keras. Janur kuning melambai di perempatan jalan menuju kediaman keluarga Reyhan. Di rumah yang sederhana itu, acara sakral yang bernama pernikahan akan segera digelar. Waktu satu minggu terasa sangat singkat untuk mempersiapkan semuanya. Fatma, gadis cantik yang akan menempati singgasana hati Reyhan. Menyembuhkan luka Reyhan dari kehilangan cinta pertamanya. Fatma tahu itu tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Ia tahu Reyhan mencintai Alisa sudah sejak lama. Fatma akan berusaha sabar menyikapinya. Ia akan menjalankan peran sebagai ratu di kerajaan hati Reyhan, tanpa syarat apapun. Hanya berbekal hati yang tulus, mencintai Reyhan tanpa berharap balasan yang sama. Melihat Reyhan tersenyum saja, Fatma sudah sangat bahagia. Ijab qabul berjalan lancar. Sah sudah mereka menikah. Pernikahan yang sederhana di tempat yang sederhana, pun diiringi kebahagiaan dan rasa cinta yang sederhana. Alisa, berkat doamu semua berjalan lancar. Terima kasih atas segalanya. Kamu mengajarkanku betapa berartinya pengorbanan. Kadang apa yang kita anggap baik, belum tentu baik di mata Allah. Juga sebaliknya, apa yang menurut kita buruk, bisa jadi itulah yang terbaik. Aku akan berusaha memperbaiki kepingan hati yang berceceran ini, lalu mengumpulkannya menjadi utuh, demi istriku, istri sahku. Seperti kamu, aku akan belajar mencintai pasangan halalku tanpa pamrih, apapun yang terjadi nantinya. Selamat berbahagia dengan setiap takdir kita, Alisa. Pesan itu dikirimkan Reyhan sebagai pesan perpisahan. Tak pernah dibalas Alisa. Tapi Reyhan tahu Alisa pasti membacanya. Jauh di sudut rumah di Jakarta sana, seorang wanita yang sedang sakit pasca keguguran, membaca pesan itu dengan terisak-isak. Tangisnya tak lagi terbendung. Bukan karena ia menyesali keputusannya, sama sekali bukan. Tapi isaknya adalah kebahagiaan melihat orang yang dicintainya kini bisa berbahagia. Dua bulan berlalu, tragedi keguguran kandungan yang dialami Alisa rupanya membawa banyak hikmah. Titik terang dari masalahnya kini tiba sudah. Alisa percaya semua ujian yang ia hadapi adalah jalan baginya untuk bertambah dewasa dan siap menghadapi kehidupan yang lebih berat ke depannya. Alisa berjalan tegak, tak tampak lagi urat-urat kesedihan yang kemarin-kemarin menghiasi wajahnya. Kini senyumnya berkembang. Laki-laki yang sedari tadi berjalan beriringan di sebelahnya, perlahan mencoba membuka suara. “Aku sadar, Alisa. Aku masih terlalu bodoh untuk bisa berlaku adil.” Suaranya terdengar parau. “Tidak usah dibahas lagi, Mas. Yang lalu biarlah berlalu. Kini kita harus siap menyongsong masa depan yang jauh lebih baik.” Alisa berkata dengan penuh percaya diri. Dipeganginya dengan erat, sebuah surat sakti yang akhirnya ia raih : akta cerai. Langkahnya semakin tegak, meninggalkan gedung yang bernama Pengadilan Agama ini. “Maafkan jika selama menjadi suamimu, aku banyak berbuat kesalahan,” ucap Taufik. “Sama-sama, Mas. Kesalahanku pun sudah tak terhitung jumlahnya. Saat ini, bukan masalah berapa banyak kita berbuat kesalahan, tapi berapa kuat usaha kita memperbaikinya.” Alisa menghela napas sejenak. Ia melanjutkan. “Mari saling mendoakan, semoga kehidupan kita yang baru akan menjadi jauh lebih baik dari hari-hari kemarin. Sampaikan salamku pada Metta, semoga ia bisa menjadi pendamping hidupmu yang jauh lebih baik daripada diriku.” Taufik mempercepat langkah, mengambil posisi berhadapan dengan Alisa. “Alisa, boleh aku menatapmu sebentar lagi, mungkin nanti aku akan kehilangan hal itu untuk selamanya.” “Ha-ha-ha. Mas ada-ada aja, aku masih ada di bumi, kok. Belum meninggal. Kamu masih bisa melihatku kapan pun. Sesekali datanglah ke rumah, ajak Fina bermain. Itu pun kalau kamu masih mau.” Alisa menahan tawa sebisanya. Seolah menertawakan tingkah mantan suaminya. Baru aja cerai, udah nyesel aja kayaknya, batin Alisa sambil tertawa. “He-he. Ya tentu saja, aku mau. Fina anakku, aku ayahnya. Tidak ada mantan ayah, bukan?” Taufik menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal. Kali ini Alisa mengangguk. Ia memandangnya lekat, laki-laki yang pernah bersamanya ini kini menjadi orang lain. Wajahnya yang tampan memang tidak pernah berubah, tapi sikapnya telah banyak berubah, berubah oleh keadaan. Astaghfirullah. Alisa menunduk. Ia sadar, status mereka telah berubah. Tak boleh ada rasa yang kembali menyelinap di hatinya. Aku harus move on! teriaknya dalam hati. Jika Tuhan menghilangkan sesuatu darimu, maka Dia tengah mempersiapkan yang jauh lebih baik sebagai penggantinya. Tuhan tahu mana yang akan lebih membahagiakan hatimu.
[1] Gak akan menyesal