
by Titikoma

Allah Maha Adil
Memandangi gelas kosong itu, pikiran Alisa menari-nari ke sana ke mari, kian bebas dan berekspresi. Tiba-tiba ia teringat dengan perempuan yang ia lihat di Stasiun Bogor tadi siang. Saat itu, Alisa bimbang antara menyapa perempuan itu atau tidak. Prasangka berlarut-larut mengisi hatinya. Ditunggunya sampai ia menyelesaikan salatnya. “Assalamualaikum Warohmatullah ...” Ia membaca salam, lalu menengok ke kanan dan kiri. Kemudian, pandangan mereka bertemu. Perempuan itu salah tingkah. Ia memalingkan wajahnya, lalu meraih cadarnya. Alisa berusaha mendekat, dan bicara pelan-pelan agar tidak mengganggu orang lain. “Metta .…” “Bukan, saya bukan Metta.” Wanita itu hendak bangkit dan menjauh. Alisa segera mencegahnya. “Jangan bohong! Aku mengenalimu!” Alisa menaikkan nada bicara menjadi sedikit membentak. Perempuan itu menggeleng. “Bukan!” “Bersumpahlah jika kamu tidak berbohong!” Alisa sedikit mengancam. Seketika perempuan itu menangis kencang. Menghamburkan pelukan di dada Alisa. “Maafkan aku, Alisa. Maafkan. Allah telah menghukum Metta yang yang zalim ini.” Alisa turut meneteskan air mata. Tanda tanya di benaknya semakin bertambah. “Ceritakan padaku apa yang telah terjadi, Metta.” Metta melepas kain cadarnya perlahan. Tampaklah wajah yang dulunya sangat cantik itu, kini telah berubah. Luka bakar sudah merampas kesempurnaan wajahnya. “Malam itu, rumahku kebakaran. Mas Taufik sedang ada meeting di luar kota. Aku berada di rumah bersama pembantuku. Aku tidak terlalu tahu cerita detailnya, yang pasti aku kehilangan kesadaran, dan saat terbangun aku sudah di rumah sakit dengan kondisi wajahku yang seperti ini, sebagian tangan dan kakiku juga kena.” Metta menghela napas berat. Ia terisak. “Ya Allah ….” Alisa ikut bersedih. Diusapnya punggung wanita yang pernah menjadi madunya itu. “Surat-surat berharga perusahaan yang kami simpan di rumah hancur terbakar. Mas Taufik disalahkan oleh perusahaan, dia dipecat. CEO perusahaan kami memang otoriter. Sedikit saja kesalahan, hancur semua kebaikan, tidak ada yang dianggap sama sekali. Aku yang sudah berposisi General Manager pun ikut kena imbas. Apalagi dengan kondisi wajahku yang seperti ini, perusahaan tidak lagi berpihak padaku. Mereka membuatku tidak betah, seperti di neraka. Aku memutuskan mengundurkan diri, dan mereka menyambutnya dengan gembira. Aku yang tadinya berposisi tinggi, berhak menentukan kebijakan perusahaan, kini didepak tanpa ampun. Mana ada yang lebih menyakitkan dari saat itu, saat semua jerih payah kita pada perusahaan tidak dianggap sama sekali, bahkan kehadiran kita pun tak diharapkan.” Metta menyeka air matanya sejenak. Ia menatap ke arah Alisa yang terlihat masih kebingungan. “Kapan itu terjadi, Metta?” tanya Alisa spontan. “Tiga bulan yang lalu,” jawab Metta. Dipakainya lagi kain cadar yang berwarna hitam itu. “Terakhir Mas Taufik ke rumahku untuk mengunjungi Fina sekitar tiga bulan yang lalu, pantas setelah itu dia tidak pernah berkabar lagi,” ucap Alisa. “Deritaku saat itu belum selesai. Mas Taufik tidak bisa berdamai dengan ujian itu. Ia meninggalkanku. Ia kembali ke rumah orang tuanya. Entah mencari kerja di mana. Mungkin kejadian itu membuatnya semakin yakin untuk meninggalkanku. Aku pun sadar, mana ada laki-laki yang mau punya istri buruk rupa dan mandul sepertiku.” “Maksudmu man …,” Alisa belum selesai bicara, Metta memotongnya. “Ya, rahimku infertilitas. Sulit atau mungkin tak bisa punya keturunan,” kata Metta. “Ya Allah.” Alisa sangat kaget. Ia ikut terpukul. Seharusnya bukankah ia senang jika orang-orang yang pernah menyakitinya kini telah mendapatkan balasan? Tapi nyatanya tidak, Alisa justru merasakan hatinya ikut sakit bagai dicabik-cabik. Ia tak habis pikir, kenapa Taufik bisa setega itu. Di mana hati nuraninya, di mana upaya balas budinya, padahal Metta pernah begitu baik padanya. “Mas Taufik menceraikanmu? Sekarang kamu tinggal di mana?” “Aku ditinggalkannya, tanpa pernah ada kata talak diucapkan. Di saatsaat sulit itu, Alhamdulillah Allah mengirimkan seseorang yang sangat baik padaku. Namanya Ustazah Inayah. Dia adalah tetanggaku yang juga kepala sekolah di sebuah sekolah Islam di Bogor ini. Dia merangkulku. Dia menenangkanku. Dia mengajakku mengajar di sekolahnya. Aku menerima tawarannya, sekarang aku jadi guru matematika sekaligus pendamping asrama putri. Aku tinggal di Bogor. Tak mengapa gajiku jauh lebih kecil dari sebelumnya, yang penting aku merasa jauh lebih nyaman berada di sini. Mungkin, berada di lingkungan yang baik seperti ini juga merupakan jalan hidayah untukku.” Alisa serius mendengarkan. Metta melanjutkan ceritanya. “Selama ini, aku berhijab tapi hatiku masih sering jahat. Sekarang aku memperbaikinya. Aku mencoba berdamai dengan takdir Allah. Semua pasti ada hikmahnya. Sekarang aku berniqab lillahita’ala, bukan untuk menutupi wajahku, tapi untuk memperbaiki diriku. Percayalah, sekarang wajahku sudah membaik. Dulu, awal terkena musibah itu, wajahku hampir tak berupa jauh lebih parah dari ini.” Alisa terus meneteskan air matanya. Kali ini, kesedihan bercampur baur dengan rasa haru dan takjub. Metta betul-betul sudah bermetamorfosa. Seharusnya Taufik bangga memiliki istri sepertinya, bukan malah meninggalkannya. Semua cerita dari Metta berlanjut begitu saja, mengalir bagai air. Metta sudah membuang rasa canggungnya. Alisa dan Metta kini terlihat seperti dua orang sahabat yang sudah lama tak berjumpa. Mereka melepas rindu. “Allah Maha Adil. Allah Maha Adil.” Metta berulang-ulang mengucapkan kalimat itu. “Kak Alisa, sudah makan?” Alisa tersentak mendengar suara Aziza. Ia menepis lamunannya tentang Metta dan perjalanan hidupnya. Menyaksikan Metta dan Aziza dalam pekat bayang-bayang, ia semakin bersyukur, betapa Allah maha baik padanya. “Eh, Ya. Alhamdulillah sudah. Tadi setelah salat zuhur, aku makan dulu di kantin dekat stasiun,” jawab Alisa. “Syukurlah. Tubuhku bahkan sudah dua hari ini sulit masuk makanan. Semua yang aku makan pasti dimuntahkan,” kata Aziza dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan kesedihan atas penderitaannya ini. “Sabar, Aziza sayang. Semoga Allah menjadikan sakitmu ini sebagai penggugur dosa.” Alisa menguatkan sambil digenggamnya tangan Aziza yang tinggal tulang berbalut kulit itu. Kurus sekali. Aziza mengangguk. Ia memalingkan wajahnya, membiarkan air matanya menetes ke arah yang berlawanan dengan posisi Alisa. Tiba-tiba suara pintu dibuka perlahan oleh seseorang. “Assalamu’alaikum.” Terdengar suara laki-laki mengucap salam. Jantung Alisa berdetak sangat keras. Ia tidak berani menoleh. Ia memandangi wajah Aziza dengan lekat. Tangannya yang gemetar dan dingin ini terus menggenggam tangan Aziza. Ada perasaan aneh menggelayuti hatinya saat mendengar suara itu. “Wa‘alaikumussalam, Aa.” Aziza menjawab salam suaminya. “Eh, ada tamu, kenapa Neng nggak bilang kalau kita bakal kedatangan tamu, tahu gitu tadi Aa sekalian beli minuman. Jadi nggak enak kan nggak dijamu apa-apa tamunya.” Lelaki itu berjalan perlahan. Alisa tetap tidak menoleh. Ada canggung menyelinap di hatinya, kali ini ia ingat pemilik suara itu. Lelaki itu memperhatikan Alisa dari belakang. Diperhatikannya pakaian yang dikenakan Alisa. Gamis motif bunga berwarna kuning cerah dengan kerudung panjang berwarna senada. Rasanya ia dejavu. Ini pakaian yang kau kenakan saat terakhir bertemu denganku. Batinnya mengingat sesuatu. Tapi ia tak yakin. “Aa, sini. Duduk di sebelah Kak Alisa,” ucap Aziza. Alisa terpaksa memutar pandangan ke arah suami Aziza. “A-lisa?” Laki-laki itu begitu gugup. Ia berkali mengedipkan kedua matanya untuk meyakinkan diri sendiri, bahwa perempuan yang dilihatnya sekarang betul-betul adalah Alisa, gadis yang pernah dicintai sepenuh hati, gadis yang pernah menjadi alasan atas semangatnya yang tinggi mengejar citacita. Ya, gadis itu … cinta pertamanya. “Ehmm … Rey-han, apa kabar?” Alisa mencoba menyembunyikan perasaan kagetnya. Ia mencoba mencairkan suasana. “Aku nggak nyangka ternyata suami Aziza itu kamu. Ke mana aja kamu menghilang, lupa sama sahabat sendiri. He-he,” Alisa sedikit tertawa dipaksakan. Ia semata tidak ingin pertemuan ini menjadi dramatis di hadapan Aziza. “Alhamdulillah kabarku baik. Oh iya, kamu sudah kenal istriku?” Reyhan bicara agak menunduk. Ia berusaha mengendalikan hatinya. Aziza tersenyum mengerti. “Alisa ini adalah teman pondokku yang pernah aku ceritakan. Aku sengaja tidak memberitahu namanya, biar Aa nggak curiga. Aku tahu kok tentang kalian. Sudah lama aku tahu. Itulah mengapa aku mengundang Alisa datang ke sini, untuk kembali bertemu Aa.” “Hmmm ... aku sebetulnya masih bingung, bukannya calon istrimu saat itu bernama Fatma? Apa yang terjadi padanya sehingga kalian batal menikah?” tanya Alisa. “He-he. Kami tidak batal menikah. Aziza itu Fatma. Fatma itu Aziza. Apa kamu nggak ingat, nama lengkapku Aziza Fatimatuzzahra. Di mana pun aku sekolah, selalu guruku memanggilku dengan nama depan: Aziza. Sedangkan di rumah, keluargaku dari kecil memanggilku Fatma, panggilan kesayangan mereka, termasuk Aa Reyhan, sepupuku sekaligus suamiku yang paling baik sedunia ini memanggilku Neng Fatma.” Seketika Alisa memandangi wajah Aziza yang berubah menjadi berseriseri. Sepertinya ia sangat mencintai dan mengagumi Reyhan. Jika ada yang tanya apa alasan Aziza mampu bertahan dengan kondisi kritis seperti ini, pastilah Reyhan jawabannya. “Allah ... kariim ... Maha suci Allah ... ternyata dunia ini begitu sempit, sungguh aku tak pernah menyangka.” Alisa menjawab dengan hati-hati. Betapa pun senang hatinya saat ini, tetaplah perasaan Aziza harus dijaga. Alisa tahu rindu yang selama ini dipendamnya seorang diri, rasa yang menggebu di dadanya yang tak pernah ia ungkapkan pada siapa pun, kini terobati dengan hanya melihat orang yang dirindukannya itu tersenyum manis di hadapannya. Bunga-bunga mawar yang dulu berjatuhan, seolah berkumpul kembali ke atas genggamannya. Inikah buah dari kesabarannya. “Aa, jangan diam saja. Sepertinya aku harus mengingatkanmu, ini Alisamu, gadismu yang begitu kau rindukan. Sekarang ia telah siap menjadi bidadari di hatimu, menggantikan segala posisiku, aku sadar aku sudah tak bisa menemanimu lebih lama lagi,” Aziza tersenyum menahan kesedihan. Reyhan memeluknya. Wajah Aziza yang semakin tirus itu dihujani ciuman bertubi-tubi. “Tidak, Sayang. Kamu akan tetap di sini, tidak boleh ke mana-mana.” Reyhan mengeratkan pelukannya. Air mata Aziza meleleh. Alisa meresapi kalimat Reyhan itu dengan seksama. Ditangkapnya sebuah cinta yang tulus, cinta seorang suami kepada istrinya. Alisa merasa ikut senang mendengarnya, tetapi batinnya kini bergejolak. Mungkinkah Reyhan sudah lama membunuh perasaannya yang salah terhadap Alisa. Mungkinkah saat ini hanya Aziza yang ada di hatinya. Lihat saja, Reyhan tak tabu memperlihatkan rasa cinta itu. Ya, di sini. Di hadapan Alisa. Alisa mundur. “Maaf, Aziza. Aku izin ke musala, aku mau menunggu asar di sana.” Bibir Aziza terbuka seolah akan mengatakan sesuatu. Mungkin ingin menahan Alisa untuk jangan dulu keluar. Tapi Alisa segera berkata lagi. “Tenang, Aziza. Aku nggak akan lama. Nanti setelah salat aku ke sini lagi, ya.” Reyhan menunduk. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa dan mengatakan apa. Alisa berjalan ke luar ruangan. Pintu ditutup kembali rapat. Alisa setengah berlari. Tangisannya mengalir deras. Ia terus berlari. Tak peduli lagi betapa banyak orang yang melihatnya dengan tatapan begitu iba. Ya Allah, ampuni aku, aku belum siap patah hati lagi. Sayup dari kejauhan terdengar suara azan yang begitu merdu. Angin sore berembus membawa aroma harapan. Disekanya air mata yang keluar tanpa permisi itu. Alisa menjerit harap dalam hati. Harapan yang bahkan ia sendiri tak mampu mengungkapkannya. Ia melukis perasaan dalam jiwa. Perasaan yang bahkan ia sendiri bimbang untuk mendefinisikannya.