
by Titikoma

Epilog
Siang hari yang cerah di halaman rumah sederhana ini, seorang anak lakilaki berlari mengejar kakak perempuannya dengan penuh tawa bahagia. “Kak Fina, tangkap yaaa!” Bola itu dilemparkannya dengan penuh tenaga. “Aduh, kena kepala Abi nih bolanya. Hati-hati ya Fathan.” Abinya tertawa kecil. Sang Bunda yang sedang menyuapi adik bayi yang lucu itu pun ikut menertawakan tingkah konyol mereka, ia tersenyum bahagia. Sepasang suami istri menghampiri mereka. “Kak Fina, ayo kita siap-siap. Sesuai rencana, mulai sekarang, kamu tinggal sama Ayah dan Mama Metta, ya. Percayalah, Nak. Melanjutkan sekolah di pesantren adalah suatu hal yang sangat mulia.” Sang istri yang mengenakan cadar itu tersenyum sumringah. Fina mengangguk dan membalas senyumannya. “Mama Metta sayang sekali sama Fina, selamat ya udah jadi juara kelas terus sampai kelas enam, nanti Mama kasih hadiah.” Sebuah kecupan mendarat di kening Fina. Kecupan seorang ibu tiri berhati mulia. Mobil itu melesat membawa Fina dengan segenap cita-citanya. Alisa dan Reyhan memandanginya dengan penuh doa dan harapan. Rumah mereka memang telah sedikit sepi karena kepergian Alan untuk kuliah di Semarang. Kini akan semakin sepi dengan berkurangnya satu anggota lagi, yaitu Fina. Belum lagi minggu depan, Aldo juga akan keluar dari rumah ini, bersamaan dengan perubahan status di KTP menjadi menikah. Dia akan menikahi Rania seorang dosen cantik berhijab yang usianya enam tahun di atas Aldo. Ya, kalian tidak salah dengar. Aldo yang sering melihat perjuangan hidup Alisa ini jadi terobsesi menikahi wanita yang seumuran kakaknya itu. Ia sangat jatuh cinta dengan Rania yang hampir sebagian perjuangannya mirip dengan Alisa. Langit mulai meneduh. Tak lama kemudian, azan asar berkumandang. Alisa dan Reyhan membawa anak-anaknya masuk ke dalam rumah. Selanjutnya mereka berwudu. Alisa menggelar sajadah di dalam kamarnya seorang diri. Reyhan mengajak Fathan yang sedang lucu-lucunya ini untuk salat ke masjid. Kebiasaan berdisiplin dan taat beragama ini selalu mereka tanamkan sejak dini. Alisa dan Reyhan meyakini, segala bentuk ketaatan dan pengorbanan mereka dalam mendidik anak ini tentu tidak ada apa-apanya dibanding segala nikmat dan anugerah yang telah Allah berikan kepada mereka. Kebahagiaan yang mereka rasakan ini sudah sangat lebih dari cukup. “Abi, Fathan sayang Abi. Jangan pernah tinggalin Fathan, ya,” kata Fathan seusai salat berjamaah di masjid. “Tentu saja, Fathan. Abi akan selalu bersama Fathan.” Reyhan memeluk putranya itu. Matanya seketika dipenuhi bulir-bulir bening, teringat nasibnya di masa kecil dulu yang harus kehilangan ayahnya. Ia pernah merasa terpuruk. Menjadi yatim di usia masih sangat kecil tentu bukanlah hal yang menyenangkan. Disusul oleh kepergian ibunya saat ia menempuh pendidikan di negeri seberang. Semua ujian itu cukup berat dan terpaksa menjadikannya sebatang kara di usia yang belum mapan. Untunglah masih ada sanak saudaranya yang mau peduli. Kini ia berjanji dalam hatinya, ia akan terus membahagiakan anak-anak dan istrinya sepenuh jiwanya, semampu yang ia bisa. Mendidik mereka dengan segenap ilmu agama dan menjadi suri tauladan bagi mereka. Kalaupun nanti pada akhirnya takdir akan memisahkan mereka, tetapi sejatinya mereka akan berkumpul kembali dalam keabadian surga yang Allah janjikan. “Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatiinaa qurrota a’yun. Waj’alnaa lilmuttaqiinaa imaamaa.” “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Furqon : 74) Bogor, Juli 2018 / Syawwal 1439