
by Titikoma

Coban Rondo
“Wow.” Hanya satu kata yang berhasil keluar dari mulutku. Mataku nggak berkedip lagi melihat pemandangan yang ada di depan mata. Subhanallah, indah banget. Coban Rondo jauh lebih indah aslinya daripada di foto. Sejenak aku tersadar dari lamunan, aku ke sini kan untuk meliput Coban Rondo bukan untuk bengong doing? Aku jadi bingung sendiri mau menulis tentang Coban Rondo bagian yang mana. Menurut informasi yang kuperoleh dari Ivana. Coban Rondo memiliki ketinggian sekitar 84 m dan berada di ketinggian 1.135 meter dari permukaan laut. Airnya berasal dari sumber di Cemoro Dudo, lereng Gunung Kawi dengan debit 150 liter per detik pada musim hujan dan 90 liter per detik di musim kemarau. Curah hujan rata-rata 1.721 mm/ th, dengan bulan basah pada bulan Nopember sampai bulan Maret dan bulan kering pada bulan April sampai dengan Oktober dengan suhu ratarata +/- 22°C. Informasi yang diberikan Ivana itu kan sangat minim. Kalau sedikit gitu mending nggak usah dating ke sini. Aku rasanya pernah dengar tentang Coban deh waktu sekolah dulu, oh iya dulu waktu SMP, pelajarannya bahasa Indonesia pernah membahas tentang Coban rondo. Kata guru bahasa Indonesia-ku Coban Rondo itu memiliki legenda sendiri dan ada sesuatu yang unik tentang tempat ini. Sayang, aku lupa cerita tentang legenda Coban Rondo itu gimana. Aku mencoba mengamati orang-orang yang ada di Coban Rondo. Siapa tahu salah 1 dari mereka tahu tentang legenda Coban Rondo atau paling tidak ada yang bisa memberikan informasi tentang Coban Rondo. Aku mewawancarai siapa ya? Pengunjung Coban Rondo banyak banget, mulai dari anak-anak, remaja, bapak-bapak bahkan ibu-ibu semua ada. Aduh, jadi bingun memilihnya. Tiba-tiba pandangan mataku menangkap sosok yang aku cari. Sosok tersebut adalah seorang kakek-kakek lagi duduk santai di bawah pohon. Wah, kebetulan banget. Semoga kakek itu asli orang sekitar Coban Rondo, jadi beliau pasti tahu tentang legenda Coban Rondo. Sebelum mendekati kakek itu, aku terlebih dahulu membuka tas. Aku ingin mengambil perlatan wawancara seperti buku dan bolpen. Biar enak, begitu sampai di depan kakek itu tinggal mencatat doing. Begitu tas terbuka aku panic, buku dan bolpoin nggak ada dalam tas. Perasaan tadi sudah kubawa deh, kok sekarang hilang? Aku mencoba mengobok-obok isi tas sekali lagi berharap ketemu. Namun nyatanya tetap nggak ada di ta. Aduh, mampus aku! Aku nggak bakal bisa wawancara tanpa alat-alat itu. “Dev, lo nyari apaan sih? Wajah lo kayak orang kebakaran jenggot gitu,” tegur Dimas di sebelahku. “Dim, gue lagi nyari buku dan bolpoin buat wawancara kakek itu!” tangan kiriku mennjuk seorang kakek yang lagi duduk di bawah pohon. “Yaelah, gitu aja kok repot. Gue kira tadi lo kehilangan duit 1M.” “Gitu aja? Eh, Dim tanpa buku dan bolpoin gue nggak bisa wawancara.” “Kalau soal itu mah kecil.” “Kecil gimana?” “Lo punya android kan? Nah, hasil wawancaranya lo ketik aja di android lo atau lo rekam deh pembicaraan lo sama kakek itu. Kayak gitu jauh lebih cepat daripada mencatat di buku.” Android? Aku menepuk jidat sendiri. Astaga, kenapa nggak kepikiran dari tadi? Aku kan punya android yang ada aplikasi ms.word pula. Untung Dimas mengingatkan hal itu. Aku kembali membuka tas. Syukurlah, android tercinta ada di tas. Kuammbil benda tersebut. Alat untuk wawancara sudah ada di tangan, jadi tinggal mendekati kakek itu. Tap…Tap… Tap! Terdengar suara langkah kakiku. Hanya dalam waktu kurang dari 5 menit, aku sudah berada di depan kakek tua. “Selamat Siang, Kek!” ujarku menyapa kakek tersebut. “Siang juga.” “Apakah kakek asli orang sekitar Coban Rondo?” “Iya, rumah saya dekat sini kok.” “Kek, saya Devi. Saya wartawan dari majalah Arsha, saya dating ke tempat ini ingin meliput tentang Coban Rondo bolehkah saya wawancara dengan anda?” “Wawancara apa?” “Gini Kek, saya dengar-dengar Coban Rondo punya legenda juga ya? Kakek tahu nggak cerita legenda tersebut?” “Jelas tahu lah. Orang asli sini masa nggak tahu legenda Coban Rondo?” “Kek, bisa diceritakan nggak legenda tersebut ke saya?” Sebelum beliau bercerita aku klik tombol perekam di androidku. “Bermula dari sepasang pengantin yang baru saja melangsungkan pernikahan. Mempelai wanita bernama Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi, sedangkan mempelai pria bernama Raden Baron Kusumo dari Gunung Anjasmoro. Setelah usia pernikahan mereka menginjak usia 36 hari atau disebut dengan Selapan (bahasa jawa). Dewi Anjarwati mengajak suaminya berkunjung ke Gunung Anjasmoro, yang merupakan asal dari suami. Namun orang tua Anjarwati melarang kedua mempelai pergi karena usia pernikahan mereka baru berusia 36 hari atau disebut selapan. Namun kedua mempelai tersebut bersikeras pergi dengan resiko apapun yang terjadi di perjalanan.” Kakek tersebut bernapas sejenak, lalu beliau kembali melanjutkan cerita. “Ketika di tengah perjalanan keduanya dikejutkan dengan hadirnya Joko Lelono, yang tidak jelas asal-usulnya. Nampaknya Joko Lelono terpikat dengan kecantikan Dewi Anjarwati, dan berusaha merebutnya. Akibatnya perkelahian antara Joko Lelono dengan Raden Baron Kusumo tidak terhindarkan. Kepada para pembantunya atau disebut juga puno kawan yang menyertai kedua mempelai tersebut, Raden Baron Kusumo berpesan agar Dewi Anjarwati disembunyikan di suatu tempat yang terdapat di Coban atau air terjun. Perkelahian antara Raden Baron Kusumo dengan Joko Lelono berlangsung seru dan mereka berdua gugur. Akibatnya Dewi Anjarwati menjadi seorang janda yang dalam bahasa jawa disebut Rondo. Sejak saat itulah Coban atau air terjun tempat bersembunyi Dewi Anjarwati dikenal dengan Coban Rondo. Konon di bawah air terjun terdapat gua tempat tinggal tempat persembunyian Dewi Anjarwati dan batu besar di bawah air terjun merupakan tempat duduk sang putri yang merenungi nasibnya.” Aku manggut-manggut mendengarkan cerita kakek itu. Wah, legendanya lumayan menarik. Bisa nih kapan-kapan aku tulis jadi buku anak. Aku bertanya lagi sama kakek itu, “Kek, apa lagi yang anda ketahui tentang Coban Rondo?” “Sebelum menjadi Coban Rondo, sebetulnya di atasnya ada air terjun kembar yang disebut Coban Manten. Mengalir ke bawah, air terjun itu menyatu menjadi Coban Dudo. Uniknya, Coban Dudo tersebut mengalir ke bawah menjadi Coban Rondo. Sumber air dari tiga air terjun tersebut berada di Kepundan, satu dataran yang tanpa pohon satu pun berada di atas Coban Manten. Mereka yang ingin melihatnya, selain harus berhatihati juga perlu ekstratenaga. Sebab, selain jalan licin, juga cukup jauh antara 3-4 km.” Kurasa sudah berhasil mendapatkan info tentang Coban Rondo cukup banyak. Lebih segera kuakhiri aja wawancaranya. Namun sebelumnya aku mengajukan pertanyaan terakhir sama kakek itu. “Kek, di sekitar sini ada penginapan nggak? Kalau ada kira-kira tempatnya dimana dan harganya berapa?” “Untuk yang mencari tempat penginapan dapat diperoleh di daerah wisata Songgoriti, sekitar 5-8 km dari lokasi Air Terjun Coban Rondo. Harga penginapan di daerah itu berkisar antara Rp. 50.000 hingga Rp. 150.000 per malam.” “Oke, Kek. Terima kasih ya atas informasi yang kakek berikan kepada saya,” ujarku menutup wawancara. Nggak lupa, aku memberikan uang sekitar 100 ribuan pada kakek itu sebagai rasa terima kasih karena telah membantuku menulis artikel tentang Coban Rondo. Awalnya sih beliau menolak pemberianku tapi aku terus membujuk beliau. Akhirnya beliau luluh juga dan mau menerima pemberianku. Aduh, Dimas mana sih daritadi aku cariin malah nggak nongol. Tadi sebelum aku wawancara sama kakek, Dimas bilang “Aku mau ambil fotofoto pemandangan Coban Rondo dulu. Kalau ada apa-apa telpon aku aja.” Nah, sekarang gilirian aku memerlukan bantuan dia, dia malah nggak ada. Setiap aku nelpon dia pasti yang jawab operator, Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada jangkauan. Silakan coba beberapa saat lagi! Nyebelin banget kan? Aku mengepal tangan, “Awas ntar kalau Dimas nongol di depanku bakal aku jitak plus jambak-jambak. Biar tahu rasa.” Sebenarnya nggak penting-penting amat sih. Aku Cuma memerlukan dia karena aku ingin berfoto-foto di dekat air terjun. Masa ke Coban Rondo nggak foto-foto? Berhubung nggak ada Dimas, mending aku foto-foto sendiri aja kali ya? Nah, di depanku ada batu besar. Mungkin kalau aku berdiri di batu itu bisa bikin hasil foto jauh lebih bagus. Biar air terjun di belakang kelihatan. Kuinjak batu besar itu, sial menghampiriku. Kakiku tergelincir, aku lupa melepas sepatu dulu. Mana hari ini aku memakai sepatu berhak tinggi. Tubuhku terhuyung ke belakang, “Arrrgghh!” teriakku sekencangkencangnya. Aku memejamkan mata. Sekarang hanya bisa pasrah. Paling kalau jatuh Cuma baju basah kusup, badan pegel-pegel atau paling parah patah tulang. Hap! Aku merasa tubuh ditangkap oleh seseorang. Aku berharap yang menangkap tubuhku itu cowok ganteng, lebih baik lagi Adipati Dolken. Dalam situasi seperti ini, tetap yang ada di otakku Adipati Dolken. Pelanpelan kubuka mata, penasaran siapa sih orang yang menangkap tubuhku? Dalam hitungan ketiga mataku sudah terbuka lebar. Ya, doaku terkabul orang menangkap tubuhku itu cowok masih muda. Seketika mataku dan matanya saling bertatapan dengan jarak dekat, mungkin nggak sampai 5 cm. Ya, ampun tatapan mata cowok ini tajam banget. Saking tajamnya tatapan matanya bisa menembus relung hatiku terdalam. “Hmmm… ternyata si Dimas kalau dilihat dari dekat manis juga,” batinku. Yang tadinya aku mau marah sama Dimas malah nggak jadi. Abis aku terhipnotis oleh tatapan matanya. Ups, aku lupa ngasih tahu kalau orang yang menangkap tubuhku itu Dimas. Pokoknya so sweat banget kayak si netron-sinetron gitu. Dag…Dig… Dug Ntah mengapa tiba-tiba jantungku berdebar-debar. Debarannya itu lain dari biasanya. Bahkan saat aku bersama Rifky nggak pernah ada debaran seperti ini. Ya, Tuhan apakah ini yang namanya debaran cinta? Aku menggelengkan kepala berusaha menolak hal itu terjadi. Pokoknya nggak boleh jatuh cinta sama Dimas. Aku kan sudah resmi jadi pacarnya Revando masa jatuh cinta sama cowok lain? Hancur donng repurtasiku. Bisa-bisa ntar aku dijuluki playgirl. Idih, amit-amit jabang bayi. “Dev, lo segitunya ngeliatin gue. Lo terpesona sama kegantengan gue ya?” ujar Dimas membuyarkan seluruh lamunanku. Rasanya mau muntah mendengar ucapan Dimas barusan. Penyakit narsisnya itu lho makin hari makin parah. Aku mencoba berdiri. Ya, berhasil. Langsung aja deh aku jitak kepala Dimas, “Pede gile lo Dim, gue liatin lo kayak gitu Cuma mau memastikan aja lo beneran Dimas atau bukan. Kalau Dimas gue langsung jitak kepala lo,” ucapku berbohong. Gengsi dong mengaku ke Dimas tadi sempat terpesona sama tatapan matanya. “Dev, lo itu kenapa sih dari awal ketemu suka banget menjitak kepala gue?” “Itu karena lo bandel plus pede gile.” “Gue bandel? Bandel kenapa coba?” “Lo lupa, tadi sebelum gue wawancara sama kakek lo bilang mau fotofoto kalau gue memerlukan lo, gue disuruh nelpon lo aja tapi nyatanya begitu gue nelpon lo malah nggak aktif.” “Ya, elah lo kayak nggak tahu air terjun aja! Di air terjun mana ada sinyal. Sebagai permintaan maaf dari gue, sekarang kita makan yuk! Gue yang bayar, lo boleh makan apa aja.” Mataku berbinar-binar. Tawaran Dimas pas banget. Perutku sudah keroncongan daritadi. Aku mengangguk kecil pertanda menyetujui ajakannya. “Eh, tapi sebelum makan tolong fotoin aku dulu dong! Tadi kan aku nelpon kamu karena ingin minta tolong buat memotretku.” “Oke, Dev lo gaya yang cantik ya,” ujar Dimas siap membidik kameranya. Aku memasang gaya ala orang Korea-Korea. Itu lho gaya mengacungkan angka 2 di depan pipi. Aku juga menyunggingkan senyuman paling manis di dunia. 1…2…3… Jebret! Blitz keluar dari kamera Dimas. Itu artinya foto sudah tersimpan di kamera. Dimas memperlihatkan hasil foto itu. Kami tertawa terbahakbahak melihat hasil fotonya. Aku berterima kasih sama Tuhan. Karena beliau telah memberikan kebahagiaan untukku hari ini. Kebahagiaan yang pertama adalah aku masih dijinkan melihat pemandangan yang sangat indah. Sedangkan kebahagiaan yang kedua itu Tuhan telah mengirimkan pahlawan di hidupku. Pahlawannya itu si Dimas. Memang sih yang dilakukan Dimas hal kecil hanya menangkap tubuhku. Tapi kalau nggak ada Dimas mungkin sekarang aku sudah masuk rumah sakit atau bahkan lebih parah lagi sudah masuk liang kubur. Ih, jadi merinding membayangkannya. Sekali lagi thank to Allah.