
by Titikoma

Tugas Akhir
Suasana kelas 11 IPA SMA Kartini, Jakarta senin pagi cukup kondusif. Berhubung ada rapat dewan guru, jam pertama mereka digunakan untuk berbagai urusan. Beberapa anak terlihat sibuk membolak-balik buku pelajaran, beberapa mengobrol, bercanda, dan beberapa lainnya sibuk memainkan ponsel. Di antara kesibukan kelas itu dengan aktivitasnya masing-masing, adalah Kara satu-satunya orang yang tertidur. Siswi yang terkenal rajin dan punya perilaku paling lurus satu sekolah itu kelelahan akibat perjalanan jauh yang baru saja dia tempuh. Ya, subuh tadi dia baru tiba dari Surabaya untuk menghadiri pesta pernikahan kakak sepupunya. Beruntung bagi Kara karena pagi itu dewan guru sedang rapat, jadi rasa kantuknya bisa dituntaskan di dalam kelas. Bebas dari guru bukan berarti bebas dari dua orang jahil di kelas itu. Robert, tengah membuat semacam kode untuk Venus—kawan jahilnya yang lain. Robert menunjuk-nunjuk Kara sambil membuat isyarat agar Venus yang tengah duduk di meja guru bisa mengagetkan Kara. Venus mengerti, dia pun bersiap untuk melancarkan aksi jahilnya, sambil membuat kode ‘oke’. “KARA …!” Siswi itu terlonjak kaget. “Maaf Pak Alam saya lupa bawa buku tugas, baru sampai di Jakarta subuh tadi, bahkan saya tidak mandi hari ini dan lu … pa … sa … ra …,” Kara ragu melanjutkan ucapannya. Lengang seketika. “ … pan.” Potongan kata itu akhirnya selesai juga Kara ucapkan. Gemuruh sorak-sorai dari anak-anak sekelas membahana seketika. Ada yang tersenyum, ada yang tertawa, bahkan ada yang sampai terpingkalpingkal terbahak dan memukul-mukul meja. Wajah gadis yang rambutnya selalu dikuncir ke belakang itu kemudian bersemu merah, menahan malu. Dia tahu, itu adalah hari terburuknya. Hari yang mungkin tidak pernah dia lupakan. Citranya hancur sudah. Dua jam berlalu. Bu Olive guru Biologi sudah masuk kelas. Jam belajar hari itu mudur ke belakang, lantaran ada rapat dewan guru yang mendadak. Karena guru Fisika mereka masih mengurus sesuatu bersama kepala sekolah, maka Bu Olive yang mengisi jam kosongnya. Selain itu ada hal lain pula yang ingin disampaikan beliau pada murid-muridnya. Seperti biasa, suasana kelas tenang kalau guru Biologi itu mengajar. Mereka duduk takzim di tempat mereka masing-masing sambil memperhatikan apa yang tengah dijelaskan. Namun, beberapa anak kadang masih tersenyum-senyum geli, mengingat kejadian tadi pagi. Siswi paling teladan satu sekolah mereka membuat malu dirinya sendiri. Membuat citra yang melekat padanya goyah seketika. Beberapa anak juga masih berbisik-bisik di tengah penjelasan Bu Olive, terutama yang berada persis dibelakang tempat duduk Kara, suaranya terdengar jelas oleh gadis itu. Tentu saja, Kara merutuk dalam hati. Kenapa harus ada hari ini? Keluhnya. “Baik, kali ini Ibu akan jelaskan tugas akhir kalian di kelas sebelas ini,” Bu Olive mulai berbicara. “Karena terakhir kita membahas flora dan fauna endemik Indonesia, maka tugas akhir kalian juga akan mengenai itu. Kita akan berangkat ke Jambi untuk meneliti dan membuat laporan tentang Pitta Schneideri,” Bu Olive menjelaskan. Kelas terasa lengang. Murid-muridnya diam, mencoba mengerti nama asing yang baru saja disebutkan. Kara juga sama bingungnya, juara umum tidak berarti dia tahu segala hal. Apalagi yang barusan diucapkan oleh gurunya. Apa katanya tadi? Pitta seineri? Pitta She-neri? Pitta She-nedri? Kara mencoba melafal dalam hati dua suku kata itu. “Pitta Schneideri ini adalah sejenis burung. Untuk tahu lebih lengkapnya silakan lihat di buku atau portal online!” Lagi, Olive menjelaskan. Pitta Seledri? Kara frustrasi mengeja nama burung endemik Jambi itu. “Kita akan berangkat dua minggu dari sekarang. Siapkan fisik kalian, sebab perjalanan nanti bukan perjalanan yang mudah. Ibu rasa sudah paham semua. Kelas kita hari ini berakhir, selamat siang.” Satu kelas serempak menjawab, “Selamat siang!” Kara masih mencoret-coret bukunya, mencoba menulis dan melafalkan nama burung tadi. Sampai dirinya tidak sadar, saat ini mata-mata itu menatapnya dengan pandangan kasihan, dengan pandangan mengolok dan dengan pandangan puas. Venus berjalan ke arah meja Kara. Siswa bermata bulat dengan warna cokelat, berkulit putih, serta rambutnya pirang itu berhenti persis di samping Kara. “Gilak! Cewek teladan kita ternyata jarang mandi,” ucapnya mengolok. Yang lain tertawa. “Pantes tiap hari gue kayak nyium bau apa, gitu? Ternyata tanpa dicari tahu siapa pelakunya, dia ngaku sendiri.” Robert ikut menimpali. Lebih parah, siswa dengan kulit hitam dan berambut keriting khas orang timur itu bahkan tertawa terpingkal-pingkal. Sial! Sungut Kara dalam hati. Ternyata olok-olokan itu masih berlaku untuknya. Siswi itu kemudian segera merapikan catatannya ke dalam tas tanpa mempedulikan ucapan teman sekelasnya yang tidak berhenti-berhenti. Kara keluar kelas sambil menggendong tasnya dengan perasaan kesal. Beberapa mata mengekor gadis itu keluar kelas, ada yang tertawa, ada juga yang menatap prihatin. Kara tahu ini tidak akan berakhir segera. Paling tidak begitu jika menilik pengalaman teman lainnya yang pernah bernasib sama dengan dia beberapa bulan lalu. Venus dan Robert tidak akan berhenti. Kara mengayuh sepedanya, pulang. Kara Swandara, 16 tahun, seorang siswi kelas 11 IPA SMA Kartini, Jakarta, yang selalu menguncir kuda rambutnya. Siswi cerdas itu datang dari keluarga berada. Ayahnya manajer sebuah perusahaan retail terkenal, sementara ibunya adalah seorang dokter umum di rumah sakit swasta terkenal di Jakarta. Kebutuhannya selalu terpenuhi. Orang tuanya selalu memanjakan, terlebih si anak membalas dengan prestasi cemerlang di sekolah. Hanya satu yang membuat hidupnya selangkah tak sempurna. Ya, sepi. Sebagai anak tunggal, Kara hanya berteman sepi. Dia pribadi yang tertutup. Lebih buruk, di sekolah maupun di tempat les dia tidak punya teman akrab. Kebanyakan hanya menganggapnya ada, tidak lebih. Maka temannya hanyalah buku pelajaran juga buku harian bersampul cokelat yang selalu ia bawa-bawa. Reputasinya di sekolah sebagai anak baik-baik luruh tadi pagi. Walaupun tidak diketahui oleh pihak sekolah, tapi teman-temannya? Oh, Kara terus merutuki nasibnya hari itu. Habislah dua halaman dia menulis kisah memalukannya tadi pagi. Menjadi orang tanpa teman saja sudah berat buatnya. Sekarang? Ketambahan olok-olok. Sungguh, sangat menyesakkan. Andai waktu bisa terulang, rutuknya dalam hati. Tangannya gemetar, gemas. Terakhir, pulpennya terlempar. Pulpen itu terpental ke papan ketik komputer, menyentuhnya hingga layar komputer aktif karena sebelumnya mode sleep telah diterapkan. Mata Kara mengerling, melihat monitor. Layar komputer itu telah sepenuhnya mengalihkan fokus Kara. Dia teringat tentang sesuatu “Pitta Seledri!” Tanpa ba-bi-bu, Kara langsung beranjak dari tempat tidur ke meja belajar, di mana komputer dengan layar lebar tersusun rapi di sana bersama deretan buku pelajaran, novel, komik, serta buku-buku lainnya. Jari-jari lentiknya sigap menggeser mouse, kemudian mengetik kata kunci dan meng-klik artikel yang menurutnya menyajikan banyak informasi tentang apa yang dicari. Mata bulat Kara menari-nari, bersinergi mengikuti gerak kursor yang digerakkan tangannya melalui mouse. Apa yang dibacanya benar-benar di luar dugaan. Profil fauna yang akan mereka teliti nyatanya jenis fauna langka yang diduga pernah punah 100 tahun lalu. “100 tahun?” Kara bergumam tak percaya. Matanya masih menari-nari indah, membaca artikel sampai habis. Tulisan dalam artike itu benar-benar menarik buatnya, mungkin juga untuk teman-teman lainnya yang barang kali membaca tulisan yang sama. Setelah mengetahui sedikit tentang burung itu, Kara berpikir tugas ini amat mustahil bagi mereka. Tapi, walau begitu dia juga percaya bahwa guru Biologinya itu sudah mempertimbangkan masak-masak tentang apa yang akan murid-muridnya teliti. “Aku harus menemukan kau, Pitta Schneideri,” ucap Kara penuh keyakinan. Dan kali ini, ia melafalkan nama burung itu dengan benar.