Kucing Emas

Reads
94
Votes
0
Parts
14
Vote
by Titikoma

Jambi

Waktu berjalan lebih cepat dari seharusnya, begitulah pikir Kara Swandara. Pagi-pagi sekali dia sudah dibangunkan Ibunya. Menyuruh lekas mandi dan berganti pakaian. Di lantai dasar, Ayahnya tengah menunggu, sambil menyibakkan halaman koran terbitan kemarin, ditemani teh hangat yang dibuatkan istrinya. Setengah jam kemudian Kara benar-benar siap untuk sarapan bersama dengan Ayah dan Ibunya. Hari itu adalah hari keberangkatan Kara ke Jambi untuk keperluan penelitian mata pelajaran Biologi. Karena hal itu jugalah kemudian, orang tuanya menyempatkan diri untuk setidaknya mengantar anak semata wayangnya itu ke sekolah. Mereka menyempatkan sarapan bersama terlebih dahulu sebelum pergi. Dua potong roti isi keju habis dilahap Kara untuk memenuhi perutnya pagi itu. Setelahnya dia kembali ke kamar untuk mengambil ransel ukuran besar berisi baju salin dan perlengkapan lain yang sudah sejak semalam ia siapkan. Pukul 06.20 WIB Daihatsu Terios Ayahnya membelah jalan Ibu Kota yang sudah bergeliat menapaki aktivitas. Adalah 10 menit mobil itu menggerus jalan, untuk sampai di sekolah Kara. Setelah berpamitan dan mencium punggung tangan kedua orang tuanya, Kara lantas bergabung dengan 24 teman lainnya yang sudah terlihat berkumpul. Sosok Bu Olive ada di antara mereka. Setelannya kali ini lebih santai. Kaus hitam dibalut dengan kemeja kotak-kotak, dipadu dengan celana jins biru dan sepatu kets yang senada dengan kaus hitamnya. Dengan ditemani empat orang lainnya, dia tengah sibuk mencatat dan mengarahkan muridnya untuk memasukkan barang bawaan ke dalam bagasi bus. 20 menit kemudian bus yang membawa mereka berangkat dari sekolah menuju Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Segala sesuatu mengenai administrasi sudah diurus dengan baik oleh Bu Olive dan kawan-kawannya. Maka pukul 07.10 WIB mereka sudah menunggu di boarding room terminal 2F, Bandara Soekarno-Hatta,  menunggu jam keberangkatan yang rencananya akan dilakukan pada pukul 07.30 WIB. Dari sudut boarding room, Venus terlihat memerhatikan gadis yang berada beberapa kursi di depannya yang sedang asik membaca novel. Seminggu terakhir ini dia memikirkan kejadian jam istirahat waktu itu. Dia ingin menanyakan mengenai luka—kini menyisakan garis putih tipis— itu tidak pernah tersampaikan. Maka hanyalah penyesalan yang selama seminggu ini menggelayuti perasaannya. Maafin gue, Ra! Rapal Venus dalam hati. Tepat pukul 07.30 WIB pesawat yang membawa mereka dari Jakarta mulai terbang membelah sepersekian persen dari total luas langit Indonesia. Adalah 1 Jam dan 50 Menit waktu yang ditempuh dari Jakarta menuju Padang. Walaupun tujuan mereka adalah Jambi, tidak kemudian mereka mendarat di Bandara Internasional Sultan Thaha. Guru mereka—Bu Olive—rupanya sudah memperhitungkan, untuk mencapai Kerinci, waktu tempuh mereka akan jauh lebih singkat jika mereka mengambil penerbangan Jakarta-Padang. Selain itu, pemandangan nan menawan, dan juga langsung tiba di desa terakhir sebelum pintu pendakian ke Gunung Kerinci menjadi pertimbangan selanjutnya. Matahari mulai meninggi, pada pukul 09.20 WIB pesawat mendarat mulus di Bandara Internasional Minangkabau, Padang. Enam atap runcing khas rumah padang terlihat menyembul dari bangunan utama bandara, seolah menyambut mereka yang barus saja datang. Rombongan Siswa kelas 11 IPA SMA Kartini, Jakarta itu kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan bus travel yang juga sudah disiapkan. Waktu tempuh mereka kali ini jauh lebih lama. Sekitar 7 jam mereka harus habiskan di dalam bus untuk sampai di Kersik Tuo, desa terakhir sebelum pendakian. Tepat pukul 10.00 WIB, setelah persiapan dirasa sudah oke, rombongan berisikan 25 murid, 4 pembimbing dan satu orang guru itu kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Bus yang membawa mereka mulai melaju, menggerus jalan meninggalkan Bandara Internasional Minangkabau. Dari Padang mereka ke Jambi. Kara melirik dari jendela, atap bandara yang melengkung itu mulai menjauh, kemudian menghilang dari pandangan, terpaut oleh jarak. Di dalam bus, Kara duduk bersebelahan dengan Key, cewek tomboy dengan rambut sebahu. Garis wajahnya lebih tegas dibanding perempuan pada umumnya. Untunglah, karena siswi itu tak acuh terhadap apapun, Kara jadi bisa tenang membaca buku. Mungkin berbeda keadaannya jika dia duduk bersebelahan dengan siswi yang lain—yang dia tahu pasti akan sangat menyebalkan. Akan sangat mengganggu. Satu tahun bersama mereka, Kara sudah paham betul tabiat kawan-kawan wanitanya. Mereka sok asik—khusus padanya—bertanya ini-itu, namun dalam lain kesempatan akan menggunjingkan. Tepat di sebelahnya, di posisi yang sama-sama di pojok dekat jendela, Venus sesekali memerhatikannya. Dengan sweater biru gelap dan topi kupluk yang membungkus kepalanya, Venus bersandar pada sisi kaca mobil. Sengaja dia menutup telinganya dengan headset, supaya Robert di sebelahnya tidak bertanya ini-itu. Hanya matanyalah yang sesekali mengekor pada sosok gadis di seberang kursinya. Terbang jauh dari Jakarta ke Jambi, perasaan tidak enaknya belum juga menguap. Dia tahu, dia harus minta maaf. Perjalanan tujuh jam mereka tidak benar-benar sepi. Sepanjang perjalanan Bu Olive dan teman-temannya—yang ternyata pegiat pencinta alam dan mahasiswa Biologi—tak henti-hentinya menghibur dengan gitar dan suara indah mereka. Satu mahasiswa bernama Geo pandai memetik gitar, sementara satu mahasiswa cantik bernama Rega pandai menyanyi. Maka meriahlah perjalanan mereka sepanjang jalan Padang menuju Kerinci. Suasana bus baru terlihat lengang masuk di jam keempat perjalanan. Siswa-siswi itu sudah terlihat pulas dalam mimpi-mimpi mereka masingmasing. Begitu pula dengan Kara, dia pun tertidur setelah puluhan halaman novel yang berhasil dibacanya. Dia ingat, terakhir tokoh utama dalam novel tersebut tiba-tiba jatuh hati dengan tokoh yang selama ini menjadi  rivalnya. Langit kerinci sudah mulai gelap ketika mereka sampai di Kersik Tuo, sebuah desa terakir sebelum pendakian ke Gunung Kerinci. Sejauh mata memandang, hamparan kebun teh membentang, seolah menjadi karpet untuk si gunung yang berdiri gagah. Berhubung sudah sore, mereka tidak bisa membedakan mana hamparan kebun teh dan mana gunung, semuanya sama, berwarna biru gelap karena hampir ditimpa malam. Hawa dingin khas pegunungan langsung menyapa tatkala mereka keluar dari Bus. Kara dan beberapa siswa lain memandang takjub pemandangan di depan mereka, walau keindahannya akan dua kali lipat jika dilihat pada hari cerah. Bu Olive dan empat teman mahasiswanya membantu untuk membagi kelompok dan membagi home stay untuk mereka perkelompok. Karena penginapan sudah full oleh mereka yang mengadakan pendakian ke puncak Kerinci, maka mereka terpaksa menumpang di rumah warga di sekitar Kersik Tuo. Agar memudahkan komunikasi, mereka ditempatkan di rumah-rumah yang berdekatan. “Oke, kelompok sudah dibagi. Pesan Ibu hanyalah untuk selalu menjaga etika. Kita sedang menumpang. Mengerti?” Bu Olive mengingatkan di akhir briefing-nya. Bagai kelompok choir, 25 siswa–siswi kelas 11 IPA SMA Kartini, Jakarta itu menjawab kompak. Mereka kemudian berpencar mengikuti pembimbing kelompok mereka masing-masing. Sial bagi Kara, dia justru satu kelompok dengan salah satu orang yang paling enggan dia temui—Venus. Siswa bule bermata cokelat itu ada dalam daftar orang paling dibenci Kara. Selain Venus, ada juga tiga orang lain yang masuk dalam daftar kelompoknya, yakni Key si cewek tomboy, Faris dan Iqbal yang dalam tingkat kepopuleran, mereka ada ditingkat paling biasa saja. Tidak paling cupu, juga tidak paling populer. Ya, mereka ada di tingkat itu. Ditemani Rega—mahasiswi jurusan Biologi tingkat akhir—mereka menyusuri jalan untuk menemui Ki Eten, seorang kakek tua yang menyewakan sebagian tempat tinggalnya untuk kelompok mereka  beristirahat. Butuh waktu beberapa menit untuk sampai di kediaman Ki Eten. Mereka beberapa kali melewati toko-toko sederhana yang menjual aneka makanan dan perlengkapan tambahan untuk para pendaki seperti gas kaleng dan yang lainnya. Ada juga toko penjual cenderamata khas dari Gunung Kerinci seperti aneka aksesori, tas dan kaos berlatar Gunung Kerinci. Mereka sampai di sebuah Rumah Panjang—rumah adat Provinsi Jambi. Rumah ini terlihat mencolok dari rumah-rumah sekitar yang bangunannya sudah semi permanen dan beberapa penginapan dengan bangunan permanen. Nampak dari luar, semua bangunan terbuat dari kayu dengan anak tangga menjulang dari tanah menuju bagian rumah di atasnya. Kara memandang takjub rumah di hadapannya. Sampai-sampai dia hampir jatuh saat jalan setapak yang diinjaknya tidak rata. Tas tangannya hampir terjatuh. “Sini gue bantu,” Venus yang menawarkan diri sambil mengulurkan tangan kanannya. Kara memandangnya sesaat namun tidak menghiraukan bantuan si bule bermata cokelat itu. Shit! Venus merutuk dalam hati. Tepat di bawah anak tangga, di dalam keremangan malam yang mulai menggantung, mereka sudah disambut oleh pasangan suami istri yang dari kisaran umurnya sudah barang tentu lebih dari separuh abad. Merekalah yang dimaksud Rega. Ki Eten dan istrinya. Pasangan suami istri itu tersenyum semringah, ketika menyambut rombongan tamunya yang sudah datang jauh-jauh dari Jakarta. Apalagi saat kembali melihat Rega, seperti melihat kawan lama yang sudah lama dinanti kedatangannya. Ya, Rega memang sosok tidak asing untuk mereka. Ki Etenlah yang menjadi tour guide-nya selama meneliti flora dan fauna setahun lalu, di sini. “Apo Kabo?[1]” Sambut lelaki tua itu. Ki Eten senang saat kawan lamanya itu datang justru tidak sendiri, melainkan membawa serta kader-kader yang ia yakini akan ikut melestarikan Kerinci.  “Sihat[2], Ki. ” Rega menjawab dengan logat yang sama dengan Ki Eten. Rega kadang merasa aneh jika memanggil lelaki tua itu dengan sebutan ‘Ki’. Tiap kali ditanya mengapa, dia akan selalu menjawab ‘Panggil saja Ki Eten. Biar akrab. Orang tuaku juga dari pulau Jawa.’ “Mana Bu Olive?” tanya pria tua itu saat menjabat tangan Rega. “Menginap di tetua kampung,” jawab Rega. “Bu Olive juga membawa serta anak yang lain. Semuanya ini muridnya,” Rega menambahkan. Ki Eten tersenyum semakin semringah. “Aki dan Nini bagaimana kabarnya, sehat?” “Kabar baik,” istrinya yang kali ini menjawab. Setelah bercakap-cakap dan memperkenalkan diri singkat, mereka semua diajak ke dalam rumah, untuk beristirahat. Mereka menaiki anak tangga yang menjulang tinggi. Di dalam rumah, kelima murid kelas 11 IPA SMA Kartini, Jakarta itu semakin takjub. Mereka tidak menyangka rumah itu tertata begitu rapi. Tidak seperti Rumah Panjang pada umumnya, rumah ini sudah dimodifikasi sedemikian rupa mengikuti jaman. Ruang tengah begitu luas, karena ruangan ini biasa dipakai untuk banyak hal. Kemudian ada sekat yang membatasi kamar, ada dua kamar tidur berukuran luas dalam ruangan itu. Tak lama setelah itu Ki Eten memberitahu jika kamar mandi ada di bagian belakang, harus kembali turun dari rumah. Setelah membagi kamar, Venus menyempatkan bertanya ketika Ki Eten dan istrinya sudah undur diri, hendak menyiapkan makan malam. “Kak, kalau dua kamar di rumah ini kita pakai, Ki Eten dan istrinya tidur di mana?” tanyanya pada Rega. Gadis itu tersenyum sesaat. “Mungkin mereka punya kamar lain di rumah ini. Siapa yang tahu,” jawabnya kemudian sambil mengedikkan bahu di akhir kalimatnya. Venus terdiam sejenak mendengar jawaban Rega.  “Yasudah, kalian silahkan membersihkan diri dulu. Kita akan kumpul bersama yang lainnya di sini. Jadi pastikan kalian sudah bersih sebelum Bu Olive dan yang lainnya datang. Kalian mengerti?” Kelimanya mengangguk. Maka terakhir mereka meninggalkan ruang tengah, menuju kamar masing-masing. Seperti yang bilang Ki Eten sebelumnya, rumah ini berisi dua kamar yang sengaja disewakan untuk mereka yang istirahat sebelum melanjutkan pendakian ke Gunung Kerinci, atau mereka yang hendak meneliti seperti yang dilakukan Kara dan kawan-kawan sekarang. Karena mereka berenam, maka satu kamar ditempati tiga orang. Kara, Key dan Rega menempati kamar depan. Sedangkan Venus, Iqbal dan Faris menempati kamar di bagian belakang. Sesuai jadwal, malam itu mereka berkumpul untuk makan malam di Rumah Panjang tempat Kara dan kelompoknya menginap. Ki Eten, Istrinya dan beberapa orang lain hilir mudik menyiapkan menu. Sesekali Bu Olive dan teman mahasiswanya telihat membantu membawakan lauk, air dan hidangan lainnya. Setelah makan malam, Bu Olive melanjutkan untuk mengisi obrolan singkat mengenai Kerinci, apa-apa saja yang akan mereka lakukan selama di sana, dan menjelaskan teknik menelitian yang akan mereka lakukan. Rencananya mereka akan memulai penelitian lusa. Besok akan dihabiskan untuk bersantai, dan masih dalam rangka persiapan mendaki Kerinci. Walau tidak mendaki sampai puncak, Olive rupanya paham, bahwa keselamatan adalah yang paling penting. Terlebih ketika masih di sekitaran kaki gunung, lembah kerinci adalah hutan tropis yang rapat. Jadi membuat persiapan yang matang menjadi prioritas. Untuk itu, besok mereka akan memulainya menjajaki area kerinci dengan menyusuri kebun teh yang terbentang luas di kaki gunung. Malam itu ditutup dengan doa agar segala sesuatu yang telah direncanakan dan segera dilaksanakan akan berjalan sesuai dan lancar. Setelahnya mereka kembali ke home stay masing-masing. Beruntunglah Kara, Key, Venus, Faris serta Iqbal. Mereka tidak perlu berjalan jauh lagi untuk bisa langsung tidur. Cukup melangkah sedikit, mereka sudah disuguhi kasur dengan selimut tebal yang membuat siapa  saja ingin terbaling pulas. Mereka tertidur. [1] Apa kabar [2] Sehat


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices